Transaksi Janggal: Kemerosotan Birokrasi atau Kegagalan Institusi?

Bagikan artikel ini

Akhir-akhir ini, berita ratusan triliun transaksi janggal yang melibatkan satu atau dua unit kerja di kementerian strategis menghebohkan publik. Sebagai lembaga kajian strategis non-pemerintah, rasanya kita perlu mengkaji persoalan ini dari sudut pandang kerangka yang diterima secara umum. Artikel ini mengeksplorasi konsep kemerosotan birokrasi dan kegagalan institusional, serta penyebab dan hubungan antara keduanya.

Kemerosotan birokrasi mengacu pada melambatnya atau menurunnya kinerja birokrasi dari waktu ke waktu, yang dapat terwujud dalam penurunan efisiensi dan efektivitas dalam memberikan pelayanan publik, merajalelanya korupsi dan nepotisme, keterlambatan inovasi dan pengembangan organisasi, serta kurangnya akuntabilitas dan transparansi dalam pengambilan keputusan. Penyebab kemerosotan birokrasi antara lain kurangnya dukungan politik dan anggaran, tidak ada insentif untuk meningkatkan kinerja, kurangnya keterlibatan masyarakat, aturan dan prosedur yang kaku dan tidak tanggap, serta kurangnya kompetensi dan keterampilan jajaran staf/aparatur terkait.

Pertanyaan: Manakah di antara indikasi dan penyebab yang terlihat dari “kasus janggal transaksi trilunan” di Kementerian tersebut?

Kegagalan kelembagaan terjadi ketika suatu lembaga atau organisasi tidak mampu mencapai tujuan atau fungsi utamanya, yang dapat diindikasikan dengan maraknya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, kurangnya akuntabilitas dan transparansi, penurunan kinerja dan efektivitas dalam memberikan pelayanan publik, dan ketidakmampuan untuk memecahkan masalah atau menghadapi tantangan. Penyebab kegagalan institusi antara lain kurangnya dukungan politik dan anggaran, tidak ada insentif untuk meningkatkan kinerja, aturan dan prosedur yang kaku dan tidak responsif, kurangnya keterlibatan masyarakat, dan keterbatasan sumber daya manusia dan teknologi.

Pertanyaan: Manakah di antara indikasi dan penyebab yang terlihat dari “kasus janggal transaksi trilunan” di Kementerian tersebut?

Kemerosotan birokrasi dan kegagalan kelembagaan sangat erat kaitannya, karena keduanya berkontribusi terhadap kinerja lembaga dalam memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Kemerosotan birokrasi dapat menjadi penyebab utama kegagalan kelembagaan dalam mencapai tujuannya, karena birokrasi yang tidak efektif kehilangan kepercayaan dan dukungan masyarakat. Kegagalan kelembagaan juga dapat menyebabkan kebobrokan birokrasi, karena kurangnya dukungan politik dan anggaran membuat birokrasi sulit untuk memperbaiki kinerjanya.

Pertanyaan: Sejauh mana telah terjadi “kemerosotan birokrasi” dan “kegagalan institusi” di lembaga eksekutif itu?

Beberapa teori sosiologi menjelaskan kemerosotan birokrasi dan kegagalan kelembagaan. Teori konflik mengaitkannya dengan konflik kepentingan antara kelompok dan individu dalam masyarakat, dengan kelompok kuat yang mengendalikan birokrasi dan institusi lain, yang mengarah pada korupsi dan nepotisme. Teori kelembagaan menunjuk pada perubahan lingkungan sosial dan politik yang tidak diimbangi dengan perubahan struktur dan budaya organisasi. Teori struktural-fungsional melihat ketidakseimbangan antara struktur dan fungsi dalam organisasi sebagai penyebabnya. Teori rasionalisasi menyalahkan rasionalisasi yang berlebihan, yang dapat membuat birokrasi atau institusi menjadi terlalu formalistik dan kurang tanggap terhadap perubahan lingkungan.

Teori mana yang kira-kira dapat menjelaskan“kemerosotan birokrasi” dan “kegagalan institusi” yang terjadi di lembaga eksekutif itu?

Pemimpin memainkan peran kunci dalam mencegah atau menyebabkan kerusakan dan kegagalan birokrasi dan kelembagaan. Kepemimpinan yang lemah dapat menyebabkan penurunan kinerja dan kualitas kerja, serta menimbulkan ketidakpuasan di kalangan karyawan. Kurangnya pengawasan dapat menyebabkan perilaku tidak etis atau bahkan pelanggaran hukum oleh karyawan, merusak reputasi organisasi atau pemerintah dan mengakibatkan kerugian finansial. Korupsi dan nepotisme yang dilakukan pemimpin dapat merugikan kepentingan publik dan menimbulkan ketidakpercayaan. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dapat menyebabkan kebijakan yang tidak sesuai dengan kepentingan publik, menyebabkan ketidakpuasan dan merusak reputasi organisasi atau pemerintah. Pemimpin harus memastikan berfungsinya organisasi atau pemerintahan secara efektif dan efisien, memperhatikan transparansi dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan, menghindari praktik korupsi dan nepotisme, serta memberikan pengawasan yang efektif terhadap staf dan Aparat Sipil Negara yang berada di bawah pimpinan beliau.

Pertanyaan: Sejauh mana peran eselon pimpinan dalam munculnya indikasi “kemerosotan birokrasi” dan “kegagalan institusi” di lembaga eksekutif itu?

Pertanyaan besarnya: “Apa yang harus dan dapat dilakukan oleh berbagai “aktor sosial” (individu dan organisasi) sebagai upaya mengurangi dampak dan mencoba mengusulkan (bahkan “mendesakkan”) perbaikan yang perlu?

Rahim Jabar, pemerhati sosial-ekonomi dan budaya dari Pusat Pengkajian Strategis Nusantara (PPSN)

Sumber rujukan:
Clifton D. Bryant, Dennis L. Peck, “21st century sociology: A reference handbook”, Vol.2, Specialty Fields, Sage Publications Ltd. London, 2007
Edgar F. Borgatta, Rhonda J. V. Montgomery, “Encyclopaedia of Sociology, Second Edition”, MacMillan Reference, USA, New York, 2000
Jonathan H. Turner University of California, “Theoretical Sociology, A Concise Introduction to Twelve Sociological Theories, SAGE Publications Ltd., London, 2012

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com