Trump, Narasi serta Senjata

Bagikan artikel ini

Washington, musim panas 2025. Matahari belum sepenuhnya naik ketika Donald John Trump menapakkan langkah ke depan mimbar Gedung Putih, mengenakan jas biru yang terlalu ketat di bagian perut, dengan dasi merah mencolok—warna yang belakangan diidentikkan bukan hanya dengan partai Republik, tapi juga dengan darah Timur Tengah.

“Kami telah memukul mereka tepat di jantungnya. Iran harus menyerah sekarang juga, atau menghadapi konsekuensi yang lebih menghancurkan,” ujar Trump kepada wartawan di Gedung Putih.

Kalimat itu meluncur bukan seperti pengumuman presiden kepada rakyatnya. Ia terdengar seperti deklarasi pribadi seorang ‘pedagang senjata’ kepada dunia, dengan kepercayaan diri yang mendesis seperti kepala kobra.

Hari itu, tiga situs nuklir Iran—Fordow, Natanz, dan Isfahan—hancur dihantam rudal jenis Tomahawk dan bom bunker-buster yang diluncurkan dari pesawat tempur pembom siluman B 2 dari kapal induk USS Gerald R. Ford di Teluk Persia. Dunia terhenyak. Pasar saham global terpeleset. Di Teheran, sirene pertahanan sipil meraung—sementara dinding-dinding beton laboratorium uranium roboh, mengubur catatan riset dan tubuh-tubuh.

Namun tak ada yang terkejut. Karena Donald Trump adalah produk dari zaman yang tak lagi mengenal malu. Sebuah zaman ketika kepala negara bukan lagi negarawan, melainkan aktor utama dalam sandiwara populisme bersenjata.

Iran dan Amerika Serikat adalah dua negara yang telah menari di atas bara selama lebih dari empat dekade. Namun tarian itu, selama ini, lebih sering menjadi simbol ketegangan ketimbang ledakan nyata. Trump mengubah semuanya.

Ketika ia kembali menduduki Gedung Putih untuk periode keduanya setelah Pemilu 2024—dengan kemenangan yang didorong retorika “kekerasan perlu untuk perdamaian”—banyak pihak berharap ia akan mengulangi manuver-manuver kerasnya seperti saat membunuh Jenderal Qasem Soleimani tahun 2020.

Tapi tidak ada yang menduga bahwa ia akan benar-benar menyerang langsung situs nuklir Iran.

Pada minggu kedua Mei 2025, sebuah laporan rahasia dari Mossad—badan intelijen Israel—mendarat di meja resolusi keamanan Trump. Laporan itu menyebutkan bahwa Iran sedang dalam fase akhir pengembangan senjata nuklir, dengan simulasi ledakan bawah tanah di sebuah fasilitas di luar Yazd.

Trump dikenal sering mengabaikan laporan CIA dan NSA, justru memberi bobot lebih pada data dari Mossad. Baginya, intelijen Israel “lebih bisa dipercaya”—bahkan ketika laporan itu belum diverifikasi oleh agensi negeri Paman Sam sendiri.

Dalam ruang rapat Gedung Putih, para penasihat militer dan intelijen menggunakan berbagai istilah SIGINT (Signal Intelligence), IMINT (Imagery Intelligence), HUMINT (Human Intelligence). Namun hanya satu istilah yang benar-benar didengar Trump dominasi udara.

Maka keputusan dibuat bukan berdasarkan keseimbangan politik, bukan kalkulasi strategis, melainkan satu hal, yakni ego.

Dalam dunia Trump, narasi adalah senjata. Ia tahu bahwa perang tidak hanya dimulai dengan bom, tapi juga dengan kata-kata. Ia menyebut serangan ke Iran sebagai “preemptive self-defense”, bukan “act of war”. Dengan permainan istilah itu, ia menghindari kewajiban konstitusional untuk meminta persetujuan Kongres.

Kata-kata seperti “pengepungan,” “serangan presisi,” dan “bukti tak terbantahkan” menjadi selimut bagi tindakan yang pada dasarnya adalah pelanggaran hukum internasional. Publik Amerika, yang dilanda kejenuhan berita, seperti mengangguk pasrah. Namun di belahan bumi lain, api menyala.

Apakah ini awal dari Perang Dunia Ketiga?

Media mulai menggunakan frasa itu dengan berani. Beberapa analis geopolitik berbicara tentang “fase liminal”—di mana dunia berada di ambang perang global tanpa benar-benar jatuh ke jurang.

Namun banyak juga yang percaya dunia terlalu saling terhubung untuk perang global, terlalu takut untuk menekan tombol nuklir, terlalu pragmatis untuk mati demi ideologi.

Untuk saat ini, dunia berdiri di ujung pisau. Dan Trump, dengan retorika pedas dan senyum sinisnya, sedang bermain sirkus di atasnya. Tidak ada perang yang terjadi tanpa narasi. Dan narasi paling efektif selalu dibungkus dalam aura kebenaran yang dibocorkan perlahan oleh lembaga-lembaga yang tak bersuara—intelijen.

Bagi Donald Trump, lembaga-lembaga seperti CIA atau NSA tidak lebih dari sekumpulan birokrat gelap yang suka membantah garis politiknya. Maka saat Mossad—intelijen luar negeri Israel—mengajukan laporan bahwa Iran siap menguji coba peledak nuklir tak kurang dari tiga bulan ke depan, Trump menyambarnya seperti umpan.

Informasiya, dalam laporan setebal 117 halaman yang bocor di media internasional, Mossad menggunakan kombinasi SIGINT (Signal Intelligence) dan IMINT (Imagery Intelligence), lengkap dengan gambar satelit fasilitas Natanz yang tengah memuat silinder uranium ke dalam reaktor bawah tanah.

Konon, CIA pada saat itu tengah menyusun laporan kontradiktif. Mereka menyebut bahwa aktivitas di Natanz kemungkinan besar hanya “rotasi teknis reaktor” bukan tahap akhir pembangunan senjata nuklir. NSA—yang memantau lalu lintas komunikasi digital Iran—tidak menemukan istilah seperti ghazal-e-azam (kode operasi militer Iran) dalam transkrip pengawasan.

Namun laporan CIA tidak pernah naik ke meja Trump. Yang naik ke meja Presiden hanyalah “yang akan memicu tindakan.” Maka narasi Mossad pun tampil sebagai satu-satunya fakta.

Trump bukanlah presiden data-driven, melainkan ego-driven. Salah satu contoh: ketika diberi opsi menunda serangan agar tim IAEA bisa menginspeksi situs Natanz, Trump menolak.
Dalam dunia yang penuh sandi, informasi, dan teknologi, Trump memilih percaya pada satu hal: loyalitas.

Maka keputusan untuk menyerang Iran bukan berdasarkan kalkulasi militer objektif. Ia adalah ritual politik, strategi kampanye, dan permainan kekuasaan yang dibungkus citra nasionalisme.

Trump tidak sedang mencari perdamaian. Ia sedang mencari kekekalan. Perang Dunia III mungkin belum terjadi. Dunia, dengan segala kebodohan dan keberuntungannya, berhasil berjalan di atas kawat tipis antara konflik dan kehancuran total.

Tapi trauma itu nyata. Dunia kini tahu bahwa sistem global rapuh. Bahwa satu pria dengan keinginan akan keabadian bisa melempar umat manusia ke jurang. Dan bahwa demokrasi, jika tak diawasi, bisa menjadi senjata makan tuan.

Iran kini kembali membangun. Israel tetap siaga. China menunggu. Rusia menyusun. Amerika Serikat—terbelah.

Tapi dunia belajar. Bahwa dalam era nuklir, satu kesombongan bisa menelan satu benua. Bahwa dalam demokrasi, suara rakyat bukan hanya hak, tapi tanggung jawab. Dan bahwa dalam sejarah, kadang—pemimpin terburuklah yang mengajar paling banyak.

Donald Trump mungkin telah menyalakan bara. Tapi bukan dia yang akan menulis akhir dari cerita ini.

Sukarjito, Jurnalis

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com