M Arief Pranoto, Pemerhati Masalah Internasional dari Global Future Institute (GFI)
Tergulingnya Presiden Ben Ali di Tunisia, seperti menginspirasi berbagai negeri tetangga, meniru dan mencoba berbuat sama melalui pergerakan massa mengatasnamakan rakyat. Tercatat beberapa negara di sekitarnya tersapu “Tsunami Tunisia”. Yang mencolok di Yaman, badai unjuk rasa mahasiswa menyerukan agar diakhiri kekuasaan Ali Abdullah Saleh (22/01/2011) bertema “Belajarlah dari Revolusi Jasmin” yang merujuk pada kesuksesan model dan tata cara gerakan rakyat Tunisia dalam mengusir pemimpinnya, Ben Ali.
Uniknya –atau secara kebetulan- sebelum marak gelombang protes, ada kunjungan Menlu Amerika Serikat (AS) Hillary Clinton yang dianggap tidak biasa ke Yaman (VOA, 11/01), karena pejabat AS terakhir yang ke Yaman adalah Dick Cheney tahun 2002-an sewaktu menjabat Wapres. Hillary datang berkenaan kepentingan kedua negara guna mengalahkan afiliasi Al- Qaeda yang mencoba menyerang kepentingan AS. Ya, Yaman akan membentuk dan menempatkan pasukan anti-teroris di Shabwa, Hadramut dan Marib guna memerangi Al-Qaeda di Jazirah Arab.
Bila menelusuri maraknya Al Qaeda di Yaman, maka harus diawali dari tertangkapnya teroris asal Nigeria atas nama Umar Farouk Abdulmutallab yang “gagal” meledakkan pesawat penumpang AS Northwest Flight 253 menuju Detroit, 25 Desember 2009. Hasil dari pengembangan penyelidikan terhadap teroris gagal tadi diperoleh informasi bahwa Umar Farouk dilatih dan mendapat bahan peledaknya dari Yaman. Disitulah titik awal. Entah kelanjutannya adalah stigma Kongres AS bahwa banyak warga Amerika keturunan Arab pergi ke Yaman, atau entah terjadi nego antara Presiden Ali Abdullah dengan Mike Mullen yang berakhir dengan “penyerahan” otoritas Pulau Socotra kepada AS, dan lainnya. Entahlah.
Hipotesanya ialah : Mengapa ada bahan peledak bisa naik ke pesawat sedang peralatan canggih dan pemeriksaan di bandar-bandar udara AS sangat keras lagi ketat; atau mengapa Senat AS menyatakan bahwa banyak warga muslim di negaranya bepergian ke Yaman? Kedua retorika tidak perlu dibahas dalam tulisan ini. Let them think let them decide. Silahkan anda berpikir sendiri.
Agaknya Tsunami Tunisia menerjang ke negara-negara di sekitarnya bukan omong kosong. Di Aljazair — ada tiga warga dalam lima hari terakhir protes terhadap kebijakan pemerintah dengan cara membakar diri. Juga di Mesir pun terkena dampak dengan methode dan pola sama via pergerakan massa (rakyat). Itulah Tsunami Tunisia, gelombang pergerakan massa guna menjatuhkan kepemimpinan nasional di setiap negara.
Jika cermat melihat dinamika politik global, seharusnya fokus perhatian dunia adalah peperangan di Iraq dan Afghanistan yang telah berjalan 10-an tahun (2001 – sekarang) namun tak kunjung usai. Iraq memang telah dianggap usai meski militer AS masih bercokol dengan alasan pelatihan dan pemulihan keamanan. Afghanistan menjadi fokus garapan. Beberapa pertanyaan menggelitik : Ada apa sesungguhnya di kedua negara; benarkah koalisi 42 negara (NATO dan International Security Assestance Force/ISAF) tidak mampu mengalahkan Taliban (pesantren dalam istilah Indonesia) sekelas gerombolan atau pemberontak berbekal senjata seadanya; bagaimana mitos kecanggihan teknologi perang AS dan sekutunya?
Menyimak petualangan AS dan sekutu di dunia memang tak jauh dari perebutan Jalur Sutra dan sekitarnya, yaitu jalur ekonomi dan militer yang melegenda sejak abad ketiga. Ia membentang dari Cina (Xinjiang) – Kyrgystan – (via Afghansitan, Iran dan Iraq) – Suriah – dan seterusnya hingga ke Moroko. Jalur Sutra membedah antara dunia Barat dan Timur. Bahkan kini meluas pada perairan terutama jalur Lautan Hindia. Hal ini sejalan dengan mantra sakti leluhur yang terus dikembangkan oleh militer Amerika : Barangsiapa merajai Lautan India maka ia bakal menjadi kunci percaturan di dunia internasional (Alfred Mahan). Inilah kunci atau password dinamika perebutan hegemoni di dunia.
Dan membaca Tsunami Tunisia yang menggulung negara sekitar Jalur Sutra, sepertinya terjadi perubahan metode dan pola dalam dinamika perebutan hegemoni di atas. Katakanlah, kegagalan pola invasi militer –terutama di Iraq dan Afghanistan– karena membutuhkan banyak biaya dan dukungan internasional, membuat AS kembali menggunakan cara lama tahun 1970-an yakni Provincial Reconstruction Team/PRT (Lebih detail soal PRT di www.theglobal-review/ tanggal 19/01/2001).
Hay, jangan-jangan Tsunami Tunisia yang menggulung berbagai negara di sekitar Jalur Sutra, adalah gelombang PRT buatan AS dan sekutunya? Ah, entahlah! Ini cuma sebuah wacana bukan analisa.