Turki Kembali Mempolitisasi Islam dan Isu Tatar Untuk Kepentingan Ukraina

Bagikan artikel ini

Manuver pemerintah Turki mempolitisasi isu etnis Tatar Crimea nampaknya terus berlanjut. Secara diam-diam Turki melalui kementeriuan luar negeri menjalin kontak dengan beberapa beberapa orang Tatar binaan Kiev, Ukraina, termasuk Mufti dari Kiev, Aidar Rustamov dan Ketua Ulama Sulaiman Hairullaev.

Mereka ini meskipun mengaku sebagai anggota  the Mejlis of the Crimean Tatar People dan organisasi Islam, namun sejatinya merupakan agen-agen binaan Kiev yang diperalat oleh Ukraina agar Crimea yang beberapa waktu lalu bergabung dengan Rusia berdasarkan hasil referendum, bisa memisahkan diri kembali dari Rusia, dan kembali bergabung dengan Ukraina.
Maka pada perkembangannya kemudian, etnis Tatar dijadikan alat politik Turki maupun Ukraina untuk mempolitisasi Islam seraya memecah-belah kekompakan umat Islam di pelbagai belahan dunia. Salah satunya melalui forum Organisasi Kerjasama Islam. Celakanya, Turki yang hakikinya termasuk negara berpenduduk mayoritas Islam, justru menjadi ujung tombak dari kepentingan Ukraina agar the Mejlis of the Crimean Tatar People bisa diterima sebagai anggota OKI.
Bahkan dalam bulan Ramadhan (puasa) pada bulan ini, Turki menurut beberapa informasi telah memberikan jaminan dukungan kepada agen-agen binaan Kiev yang seolah-olah mewakili Organisasi Islam dan the Mejlis of the Crimean Tatar People seperti Mufti dari Kiev, Aidar Rustamov dan Ketua Ulama Sulaiman Hairullaev.
Dalam manuver sebelumnya, pemerintah Turki berusaha untuk mempolitisasi soal Tatar melalui forum Pertemuan Para Ketua Parlemen negara-negara yang tergabung dalam OKI pada Oktober 2016 lalu. Melalui pertemuan Para Ketua Parlemen negara-negara OKI tersebut, Turki mendesak OKI agar mengtakui dan menerima keanggotaan the Mejlis of the Crimean Tatar People di forum OKI. Padahal. oleh Rusia organisasi ini dipandang sebagai organisasi ekstrimis yang mengklaim dirinya sebagai organisasi Islam.
Operasi senyap Turki mendukung etnis Tatar yang sejatinya merupakan agen-agen binaan Kiev, pada perkembangannya bisa memecah-belah kekompakan negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI. Sehingga OKI pada perkembangannya tidak lagi dipandang sebagai organisasi negara-negara Islam yang mandiri dan independen.
Kalau kita cermati kasus etnis Tatar ini, tidak bisa dilepaskan dari perkembangan pada 2014 lalu, ketika melalui sebuah referendum, Crimea secara resmi meminta bergabung dengan Rusia. Namun, Ukraina setelah berada dalam kekuasaan pemerintaan Presiden Petro Poroshenko yang pro Amerika Serikat dan Uni Eropa menolak hasil referendum bergabungnya Criema dengan Rusia, dan menuduh Rusia telah menganeksasi semenanjung Crimea.
Inilah yang kemudian melibatkan Turki dalam ikut mempolitisasi isuTatar ke forum Pertemuan Para Ketua Parlemen OKI. dengan mendesak diakuinya the Mejlis of the Crimean Tatar People untuk mewakili Tatar di forum OKI. Alhasil, ulah Turki tersebut pada perkembangannya justru menyeret dan melibatkan forum OKI agar mendukung Gerakan Separatisme berbasis agama.
Sehingga OKI akan menciptakan preseden buruk di masa depan. Bahwa negara manapun akan dibenarkan untuk melibatkan dan menyeret forum OKI untuk membela dan membenarkan Gerakan Separatisme, dalam arti membela kelompok tertentu yang mengatasnamakan atau mengklaim dirinya sebagai kelolmpok Islam yang ingin memisahkan diri dari negara induknya, untuk mendapatkan dukungan politis dan moral dari forum OKI.
Terkait dengan peran agen-agen binaan Kiev yaitu Mufti Kiev Aidar Rustamov dan Ketua Ulama Sulaiman Hairullaev sebagai alat mempolitisasi Islam untuk tujuan separatisme, sebenarnya bukan hal baru. Kalau menelisik kesejarahannya, Islamisme seringkali digunakan alat untuk tujuan separatisme.
Kalau sekarang orang-orang etnis Tatar digunakan sebagai alat oleh Ukraina agar Crimea memisahkan diri kembali dari Rusia dan bergabung dengan Ukraina, maka pada masa Perang Dunia II Jerman pernah menerapkan metode yang sama. Menggunakan Islamisme sebagai alat untuk gerakan separatisme.
Ketika Jerman pada Perang Dunia II bermaksud untuk menaklukkan Uni Soviet (baca: Rusia), Jerman kemdian memanfaatkan aspriasi oranng-orang non-Rusia di Uni Soviet, terutama gerakan separatis kuat di Ukraina dan Kaukasus. Maka untuk menciptakan aksi destabilisasi di Uni Soviet, maka Jerman kemudian merekrut  sekelompok orang pengasingan diri dari Uni Soviet karena terlibat dalam gerakan separatis anti Soviet, yang disebut Promotheus. Gerakan ini sejatinya dimulai sejak 1925, semasa Soviet masih di bawah tsar Rusia, dan gerakan Prmotheus ini dimaksudkan untuk menghancurkan kekaisaran tsar seraya berupaya membebaskan diri dari bangsa Rusia.
Jelaslah sudah bahwa dengan menelisik jejak-jejak gerakan Promotheus sejak 1925, gerakan ini p;ada dasarnya berwatak separatis yang bermaksud memisahkan diri dari negara induk Rusia, menjadi negara tersendiri. Namun karena gerakan ini berhasil ditumpas, para eksponennya kemudian lari ke luar negeri.
Gerakan separatis Promotheus ini, rupanya mendapat dukungan internasional dari negara-negara Eropa Barat yang pada dasarnya anti Rusia seperti Prancis, Polandia, Inggris dan Jerman. Maka, para eksponen pendukung gerakan Promotheus dan menjadi pelarian di luar negeri, kemudian direkrut oleh Jerman untuk menjadi alat melemahkan Uni Soviet.
Maka metode Ukraina dalam memainkan agen-agen binaannya dari kalangan orang-orang etnis Tatar, mirip atau parallel dengan apa yang dilakukan Jerman melalui salah seorang konseptornya, Dr Gerhard von Mende pada saat Perang Dunia II. Kalau Ukraina sekarang membina Aidar Rustamov dan Sulaiman Hairullaev, maka von Mende kala itu merekrut dan membina beberapa tokoh sentral  Promotheus seperti Mikhail Kedia dari Georgia dan Ali Kantemir dari Turkestan. Dan Veli Kayum, aktivis politik yang kelak merupakan tokoh pengasingan Asia Tengah paling terkemuka.
Sebagaimana halnya orang-orang etnis Tatar yang dimanfaatkan Ukraina sebagai ujung tombak gerakan separatisme Crimea lepas dari Rusia, maka Jerman pada Perang Dunia II mendukung jaringan Asia Tengah dan Kaukasus yang pada waktu itu ingin lepas dari Rusia atau Uni Soviet.
Maka pihak Jerman melalui Mende, memberi harapan muluk pada para pelarian Asia Tengah dan Kaukasus ini bahwa selepas Jerman berhasil memenangi Perang Dunia II, maka mereka akan diberi hadiah kemerdekaan. Meskipun pemerintahan fasisme Jerman pimpinan Adolf Hitler sama sekali tak punya niat sedikitpun untuk memberi hadiah kemerdekaan pada  gerakan separatis Asia Tengah dan Kaukasus ini.
Nampaknya, seperti yang dialami oleh jaringan Asia Tengah dan Kaukasus pada Perang Dunia II, etnis Tatar pun sedang mengalami nasib yang sama. Yaitu dipompa ego dan ilusinya sebagai kelompok separatis untuk mendorong pemisahan Crimea dari Rusia, agar bergabung dengan Ukraina.
Bedanya, kalau Jerman memanfaatkan gerakan separatis jaringan Asia Tengah dan Kaukasus untuk menghadapi Rusia atau Uni Soviet, maka etnis Tatar digunakan Ukraina, untuk menghadapi Rusia.
Penulis: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com