Skema Neokolonialisme AS dan sekutu-sekutu Baratnya (baca: Uni Eropa) terhadap negara-negara berkembang sepertinya tidak hanya dilancarkan dalam ranah politik dan militer saja. Melainkan meluas juga dalam ranah perekonomian dan perdagangan, dengan menggunakan isu lingkungan hidup sebagai bungkusnya. Bukti nyata adalah ketika pada 16 Mei 2023 lalu Komisi Uni Eropa menyetujui pemberlakuan Undang-Undang anti-deforestasi. Ketentuan ini mengatur dan memastikan konsumen di negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa untuk tidak membeli produk terkait deforestasi dan degradasi hutan.
Tampak jelas bahwa undang-undang anti-deforestasi Uni Eropa tersebut telah mengolah isu lingkungan hidup sebagai instrumen politik luar negeri AS dan sekutu-sekutu Baratnya untuk memaksakan agenda-agenda ekonomi dan perdagangannya kepada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Dampak langsung terhadap kepentingan nasional Indonesia, utamanya di bidang ekonomi dan perdagangan jelas membawa dampak buruk. Betapa tidak. Implementasi Undang-Undang anti-deforestasi bakal menurunkan ekspor Indonesia ke negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Alhasil, Indonesia diperkirakan akan kehilangan penerimaan dari ekspor sebesar 57,22 miliar dolar AS.
Baca:
Global impact of the EU’s anti-deforestation law
Frase kalimat untuk tidak membeli produk terkait deforestasi dan degradasi hutan, rasa-rasanya terlalu subyektif tolok-ukurnya. Produk-produk mana apa saja yang masuk klasifikasi terkait deforestasi dan degradasi hutan? Sebab, tanpa tolok-ukur yang obyektif dengan mempertimbangkan sudut pandang kepentingan nasional Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, UU Deforestasi Uni Eropa sama saja dampaknya sepeti ketika AS dan Inggris melancarkan invasi militer ke negara-negara sasaran seperti Afghanistan 2001 dan Irak 2003. Bukankah produk-produk yang dihancurkan Uni Eropa lewat Undang-Undang Anti-Deforestasi tersebut, sejatinya merupakan produk pertanian dan peternakan yang selama ini menjadi tulang-punggung perekonomian nasional Indonesia, Malaysia, Ghana dan Pantai Gading?
Uni Eropa selama ini merupakan pasar potensial bagi produk-produk ekspor Indonesia. Pertama, produk lemak nabati, hewan dan produk-produk turunannya. Nilai ekspor sebesar 3,15 miliar dolar AS. Kedua, produk karet dan produk-produk turunannya, dengan nilai ekspor sebesar 0,93 miliar dolar AS. Ketiga, produk kayu serta produk turunannya sebesar 0,39 miliar dolar AS. Keempat, produk kopi, teh, dan produk-produk turunannya, dengan nilai ekspor sebesar 0,37 miliar dolar AS. Kelima, produk kertas, karton, dan produk turunan kayu sebesar 0,3 miliar dolar AS. Keenam, produk gula dan kembang gula, dengan nilai ekspor sebesar 10,9 juta dolar AS. Ketujuh, produk bubur kayu dan bahan berserat lainnya sebesar 2,2 juta dolar AS.
Hal ini tak pelak lagi menjadi sesuatu yang krusial bagi Indonesia, ketika kebijakan European Union Deforestatio-free Regulation (EUDR), akan mengimbas terhadap komoditas kehutanan Indonesia seperti kelapa sawit, kopi, coklat, kedelai karet, kayu dan produk turunannya seperti furniture. Yang paling krusial bagi Indonesia, lantaran dalam salah satu pasalnya, mengelompokkan kelapa sawit sebagai tanaman beresiko tinggi. Yang bakal terkena dampak terkait pelarangan ekspor kelapa sawit akibat undang-undang tersebut tidak saja Indonesia, melainkan juga Malaysia, sebagai salah satu negara penghasil kelapa sawit terbesar. Adapun di bidang industri agro-bisnis yang akan terkena dampak adalah Brazil dan Argentina. Begitupula dua negara Afrika, Ghana dan Pantai Gading, yang selama ini mengekspor Kakao ke Uni Eropa, bakal terkena dampaknya juga.
Namun demikian, pemberlakuan Undang-Undang Anti-Deforestasi Uni Eropa tersebut, terkesan hanya sekadar dijadikan “pintu masuk” AS dan negara-negara Barat untuk menekan negara-negara berkembang termasuk Indonesia, supaya mematuhi skema kapitalisme global berbasis kepentingan korporasi multinasional. Khususnya terkait internasionalisasi perdagangan, pasar dan keuangan.
Buktinya, tak lama setelah pemberlakuan UU Anti-Deforestasi tersebut, Indonesia-Jerman segera mengadakan pertemuan bilateral dengan agenda utamanya: Mengangkat penyelesaian perundingan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). Tak heran jika dalam pertemuan bilateral Indonesia-Jerman itu Indonesia meminta Uni Eropa mengadopsi pendekatan pragramatis dan fleksibel untuk mencapai solusi yang disepakati bersama.
Mengingat fakta bahwa Jerman merupakan salah satu aktor kunci dari Uni Eropa, pertemuan bilateral Indonesia-Jerman sangat berpotensi sebagai sarana bagi Jerman untuk memaksakan agenda-agenda strategisnya kepada Indonesia. Apalagi dalam pertemuan bilateral tersebut salah satu agenda yang dibahas kedua negara adalah potensi kerja samadi bidang industri, perdagangan dan invenstasi, energi dan pengembangan sumberdaya manusia.
Dengan itu, IEU-CEPA digunakan oleh Jerman untuk memaksakan agenda-agenda Konsensus Washington seperti liberalisasi keuangan dan perbankan, swastanisasi BUMN, serta menghapus alokasi anggaran nasional yang ditujukan untuk kesejahteraan rakyat kecil seperti kesehatan, pendidikan, dan pelayanan umum.
Begitupun, melalui pemberlakuan EUDR tersebut, sekarang terbukti sudah bahwa AS maupun sekutu-sekutu Baratnya seperti Uni Eropa, kerap menggunakan isu perlindungan lingkungan hidup, untuk memaksakan Skema Ekonomi Neoliberalisme dan Pasar Bebas kepada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Sehingga pada perkembangannya Undang-Undang tersebut akan merugikan setidaknya 8 juta petani kecil di Indonesia.
Bukan itu saja. Undang-Undang yang sejatinya dirancang oleh negara-negara maju dari Eropa Barat tersebut, pada perkembangannya berpotensi untuk menentukan secara diskriminatif negara-negara mana yang dianggap beresiko tinggi (hight risk). Celakanya, dalam kerangka kebijakan yang berlingkup global seperti itu, negara-negara maju yang tergabung dalam G-7 seperti Jerman dan Prancis maupun negara-negara Eropa Barat lainnya, dengan leluasa dan sewenang-wenang bisa secara subyektif menentukan negara-negara berkembang yang dipandang melawan Skema Ekonomi Konsensus Washington yang berhaluan Neoliberalisme sebagai negara-negara beresiko tinggi. Sehingga produk-produk dari komoditas tersebut dinyatakan masuk daftar hitam (black list).
Namun menariknya, dalam situasi yang krusial seperti itu, ide untuk mencari potensi-potensi pasar baru mulai jadi fokus perhatian negara-negara produsen salah satu dari ketujuh komoditas tersebut. Misalnya Brazi mulai mempertimbangkan akan mengekspor produk-produknya ke Cina. Adapun Indonesia akan mengekspor kelapa sawit ke Afrika. Fakta bahwa setidaknya empat negara produsen komoditas yang terdampak Undang-Undang Anti-Deforestasi Uni Eropa adalah Indonesia, Malaysia, Ghana dan Pantai Gading yang notabene merupakan negara-negara berkembang, sulit disanggah bahwa gagasan di balik pemberlakuan EUDR tersebut merupakan upaya melestarikan Skema Neokolonialisme AS dan Barat dengan menggunakan Isu Perlindungan Lingkungan Hidup.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)