Yang namanya The US Indo-Pacific Strategy atau Strategi Indo-Pasifik Amerika Serikat yang kali pertama dirilis oleh Presiden Donald Trump pada 2017, sejatinya memang skema yang dirancang bersama antara Washington dan London. AS dan Inggris memang merupakan sekutu tradisional. Malah belakangan ada istilah menarik. AS itu sejatinya bangsa Neo-Eropa.
Maka itu menarik ketika muncul ide agar Uni Eropa yang secara de-fakto dimotori oleh Prancis dan Jerman, berupaya memfasilitasi terciptanya stabilitas dan kesejahteraan di kawasan Asia Pasifik yang dalam perspektif Washington dan London mereka sebut kawasan Indo-Pasifik.
Beberapa waktu lalu, Josep Borrel, salah satu pemimpin peringkat atas Uni Eropa untuk urusan luar negeri, menyatakan niat Uni Eropa untuk menawarkan solusi yang cukup penting: Menciptakan pendekatan kerja sama multilateral. Sepintas, gagasan ini merupakan konsep tandingan untuk merespons memburuknya stabilitas dan keamanan regional di Asia Pasifik, sebagai alternatif terhadap skema AS-Inggris terkait Strategi Indo-Pasifik AS 2017.
Kondisi Obyektif dalam konstelasi internal Uni Eropa itu sendiri yang dimotori oleh Jerman dan Prancis sejak keluarnya Inggris dari Uni Eropa memang cenderung memburuk, terutama sejak Prancis dan Jerman menolak ikut serta menginvasi Afghanistan 2001 dan Irak 2003. Padahal terkait invasi AS ke Afghanistan dan Irak, Prancis dan Jerman juga terikat kesepakatan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Dengan demikian, hubungan AS baik dengan Uni Eropa maupun NATO yang mana Prancis dan Jerman ikut serta di kedua badan internasional negara-negara Eropa Barat itu, semakin dingin dan hambar.
Dengan begitu, gagasan Uni Eropa untuk membangun pendekatan kerja sama internasional berbasis pendekatan Multilateral di kawasan Indo-Pasifik, memang bisa timbul kesan karena Uni Eropa merasa terganggu dengan agenda strategis AS-Inggris-Australia menggalang persekutuan ekonomi-perdagangan dan militer dengan dalih untuk membendung pengaruh Cina. Apalagi Presiden Prancis, Macron, sempat meradang ketika AS dan Inggris memfasilitasi kapal selam bertenaga nuklir kepada Australia.
Memang benar, bahwa manuver strategis AS-Inggris-Australia menggalang persekutuan negara-negara di Asia Pasifik dengan dalih untuk membendung semakin menguatnya pengaruh Cina di Asia Pasifik, pada perkembangannya kemudian telah menciptakan instablitis politik dan ancaman keamanan di kawasan Asia Pasifik.
Sebab dengan Strategi Indo-Pasifik AS itu lah, AS dan negara-negara sekutunya seperti Inggris dan Australia, memaksakan ambisi geopolitiknya menjadi kekuatan hegemonik yang tak boleh ada kekuatan-kekuatan lain yang mengimbanginya, apalagi menggungulinya.
Bagaimana mungkin AS dan sekutu-sekutunya tidak mengancam stabilitas dan keamanan di Asia Pasifik, ketika AS kemudian memaksakan dukungan Jepang, Korea Selatan, dan Filipina, untuk bersama-sama mengambil sikap bermusuhan terhadap Cina? Padahal Jepang, Korea Selatan dan Filipina meski diminta jadi sekutu strategis AS dalam kerangka Strategi Indo-Pasifik AS, tetap saja dipandang sekadar sebagai mitra-mitra yunior/secondary powers.
Dengan demikian nampak jelas watak Neokolonialistik AS, Inggris dan Australia, dalam menggalang persekutuan negara-negara di Asia Pasifik berdasarkan kerangka Strategi Indo-Pasifik AS.
Oleh sebab itu selintas pada pandangan pertama sangatlah menarik gagasan kerja sama internasional berbasis pendekatan Multilateral yang digulirkan Uni Eropa. Alih-alih menciptakan destabilisasi keamanan dan ketegangan internal di kawasan Asia Pasifik, yang barang tentu akhirnya juga berdampak ke Asia Tenggara dan Indonesia, Uni Eropa berencana untuk menggagas kerja sama dengan negara-negara di Indo-Pasifik, dengan memusatkan diri membangun kerja sama dengan negara-negara kecil di kepulauan Pasifik. Seraya mengangkat isu-isu yang tidak terlampau sensitif seperti demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Uni Eropa lebih akan mengusung isu lingkungan hidup seperti green-transition.
Namun gagasan bagus Uni Eropa untuk membangun kerja sama internasional berbasis pendekatan Multilateral di Indo-Pasifik, hanya akan berhasil dan efektif mematahkan kerangka Strategi Indo-Pasifik AS jika menempuh tiga langkah strategis berikut ini. Pertama, mendorong pemberlakuan rule-based order atau tatanan dan aturan main baru di kawasan Indo-Pasifik yang akan memosisikan kembali wibawa Eropa seperti pada abad ke-19, hanya saja kali ini bukan dalam skema kolonialisme dan imperialisme untuk menguasai wilayah-wilayah jajahan baru di Asia dan Afrika, melainkan menjadi kekuatan keseimbangan baru di antara kutub AS-Inggris vs Cina di kawasan Asia Pasifik.
Kedua, memprakarsai pelembagaan aturan-aturan main baru di kawasan Indo-Pasifik, dengan mendorong terbentuknya suatu aliansi yang punya bobot, pengaruh dan kekuatan, seperti halnya kiprah Uni Eropa pada masa setelah berakhirnya Perang Dunia II.
Ketiga, Uni Eropa dengan mengambil inspirasi dari kelompok regional Asia Tenggara (ASEAN) yang terbukti mampu memposisikan dirinya sebagai kekuatan regional yang berpengaruh dan berwibawa sehingga mampu mencegah negara-negara adikuasa memaksakan campur-tangan politiknya terhadap negara-negara Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN. Bahkan Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura pun, yang sejatinya merupakan sekutu AS dan Inggris, berhasil dikunci di dalam ASEAN. Uni Eropa harus mampu mampu merumuskan aturan main informal yang sehaluan dengan karakteristik ASEAN sehingga punya pengaruh, wibawa dan kekuatan untuk menegakkan Prinsip Non-Intervensi di kawasan Indo-Pasifik. Seperti halnya ASEAN yang masih mampu bertahan sebagai kekuatan regional yang independen hingga kini.
Misal pada 1971 ASEAN berhasil menyepakati Deklarasi agar Asia Tenggara menjadi Kawasan Damai, Bebas dan Netral (Zone Peace, Freedom, and Neutrality, ZOPFAN). Bahkan Pada 1976, waktu itu ASEAN masih lima negara (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand), berhasil menyepakati Traktat Persahabatan dab Kerja Sama (Treaty of Amity and Cooperation, TAC), sebagai panduan bagi negara-negara ASEAN untuk hidup berdampingan secara damai. Dengan kedua piagam tersebut, ASEAN mencapai keberhasilan di bidang kerjasama politik. Apalagi kemudian disusul keberhasilan dalam kerjasama regional bidang ekonomi melalui ASEAN Preferential Trading Area pada 1977.
Keanggotaan ASEAN pun semakin meluas dengan bergabungnya Brunei (1984), Vietnam (1985), Myanmar dan Laos (1997) serta Kamboja (1999).
Meskipun ASEAN seringkali hanya dipandang sebagai forum pertemuan informal-basa basi dan tidak ada keputusan yang mengikat secara kolektif, namun belakangan mulai disadari bahwa pada kenyataannya ASEAN merupakan kekuatan penyeimbang di dalam tarik-menarik pengaruh berbagai negara adikuasa, utamanya antara AS versus Cina.
Pertanyaan pentingnya, mampukah Uni Eropa memainkan peran strategis sebagai kekuatan penyeimbang di antara AS versus Cina seperti halnya ASEAN mampu menjadikan dirinya sebagai kekuatan regional yang independent bebas dari tarik-menarik pengaruh antara AS versus Cina?
Sayangnya, niat baik Uni Eropa tersebut tidak didukung oleh keunggulan komparatif (comparative Advantage) dalam dirinya. Sebagai kekuatan pasar tunggal, Uni Eropa saat ini sudah tergerus oleh Cina. Peringkatnya sebagai kekuatan ekonomi dunia pun, berada di rangking ke-3 setelah AS dan Cina.
Dalam postur pertahanan militernya, alokasi anggaran untuk militer di negara-negara NATO yang notabene juga anggota Uni Eropa, masih sangat kecil. Buktinya, Presiden AS Donald Trump mendesak negara-negara yang tergabung dalam NATO agar meningkatkan anggaran militernya dari 2 persen menjadi 5 atau 6 persen dari GDP masing-masing negara.
Jelaslah sudah, bahwa dari segi ekonomi dan militer, Uni Eropa saat ini tak punya wibawa dan pengaruh untuk memprakarsai dirinya membentuk ‘Kutub Alternatif” yang bebas dari tarik-menarik pengaruh dua negara adikuasa, AS vs Cina.
Selain dari itu, Uni Eropa tidak punya mekanisme menciptakan konsensus bersama (kesepakatan bulat) di kalangan negara-negara anggota Uni Eropa itu sendiri. Sehingga mustahil bagi Uni Eropa untuk melancarkan operasi politik-ekonomi-militer-nya terhadap negara-negara di Indo-Pasifik, atas dasar persetujuan bulat dari negara-negara Eropa Barat. Sebagian besar negara-negara di Eropa masih berfokus terciptanya Keamanan di kawasan Eropa. Karenanya masih terlalu lemah bagi Uni Eropa untuk memaksakan suatu konstelasi politik internasional baru di Indo-Pasifik berdasarkan Kerja Sama Internasional berbasis Multilateral, dan bebas dari tarik-menarik pengaruh dua kekuatan adikuasa, AS vs Cina.
Bukan itu saja. Dengan tidak adanya leverage atau keunggulan komparatif Uni Eropa baik dari ekonomi, militer maupun karakteristik Uni Eropa sebagai kekuatan regional, dua kutub yang berseteru, Washington dan Beijing, rasa-rasanya enggan untuk merespons positif gagasan kerja sama internasional berbasis multilateral Uni Eropa.
Apalagi terhadap ASEAN, gagasan Uni Eropa pun tidak relevan. Selain Uni Eropa tidak menjalin kerja sama kemitraaan strategis dengan ASEAN, maka bobot dan pengaruh Uni Eropa pun lemah di mata negara-negara ASEAN. Apalagi saat ini, ke-10 negara-negara ASEAN telah menjalin kerja sama yang solid baik dengan AS maupun Cina.
Lagipula, AS dan Cina sudah bertaruh cukup besar di kawasan Indo-Pasifik, sehingga sulit menerima kompromi berdasarkan skema Kerja Sama Internasional berbasis Pendekatan Multilateral yang diajukan Uni Eropa. Sehingga skema Uni Eropa tersebut bisa dipastikan akan tidak efektif.
Lebih dari itu semua, dalam tawarannya itu, saya mendapat kesan Uni Eropa belum punya strategi atau Skema Alternatif untuk menjabarkan secara operasional Kerja Sama Internasional Berbasis Pendekatan Multilateral. Posisi Uni Eropa di kawasan Asia Pasifik atau Indo-Pasifik menurut perspektif AS dan Uni Eropa, masih terlalu pinggiran dan lemah untuk mempengaruh apalagi memaksakan aturan main baru berdasarkan kerja sama internasional berbasis multilateral di Asia Pasifik.
Namun, masih ada satu catatan penting lagi. Beberapa negara Eropa Barat yang tergabung dalam Uni Eropa seperti Inggris (meskipun sekarang sudah keluar), Belanda, Prancis, Belgia, Italia, Spanyol dan Portugis, punya kenangan buruk bagi sebagian besar negara-negara di Asia. India, Pakistan, Myanmar, Sri Lanka, pernah dijajah Inggris, Kamboja, Vietnam, Laos, pernah dijajah Prancis. Indonesia pernah dijajah Belanda. Filipina pernah dijajah Spanyol. Khusus bagi Indonesia, Belgia meski tidak pernah menjajah Indonesia, namun dipandang sebagai negara yang pro Belanda saat Indonesia berjuang di medan diplomasi melawan kembalinya Belanda menjajah Indonesia seturut menyerahnya Jepang kepada Tentara sekutu pada Agustus 1945.
Ketika terbentuk Komisi Tiga Negara untuk memediasi Indonesia-Belanda di meja perundingan, Indonesia memilih Australia yang kala itu partai buruh bersimpati terhadap perjuangan Indonesia untuk duduk di Komisi Tiga Negara. Adapun Belanda memilih Belgia. AS kala itu sebagai kekuatan adikuasa baru, secara taktis Indonesia mendukung masuknya AS dengan perhitungan akan mampu memaksa Belanda berkompromi terhadap Indonesia. Terbukti langkah taktis Indonesia cukup jitu. Namun poin penting dari cerita sekiltas ini, Belgia yang termasuk penggagas skema kerja sama multilateral Uni Eropa ini, punya reputasi masa lalu yang buruk, sebagai bagian integral dari kekuatan kolonialisme dan imperialisme Eropa Barat antara abad ke-16 hingga abad ke-19.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)