M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan
Tidak ada perang agama di dunia melainkan karena faktor (geo) ekonomi. Perang atau konflik, apapun bentuk, pola serta modusnya, hanyalah tema belaka. Cuma (open) agenda. Sekedar geostrategi saja, sedang skema atau hidden agenda-nya adalah geoekonomi.
Geostrategi itu sendiri adalah manifestasi kesadaran ruang (living space atau lebensreum). Ya, ruang merupakan inti geopolitik. Ruang bukan cuma arti fisik yaitu geografi dan/atau teritori belaka, tetapi juga nonfisik (hegemoni) dan dalam praktik, kerap kali justru melebihi ruang fisik. Artinya, akan selalu ada upaya-upaya untuk memperluas wilayah pengaruh sebuah negara hingga melampaui “teritori kedaulatan”-nya. Hal ini diterjemahkan oleh Frederich Ratzel, bahwa negara sebagai suatu kesatuan antara tanah dengan rakyatnya adalah organisasi yang tumbuh sebagaimana organisasi lainnya. Entitas biologis yang terus berkembang bahkan bisa menyusut dan mati.
Ajaran geopolitik menyuratkan, bahwa manusia butuh negara dan negara membutuh ruang hidup. Pertanyaannya, “Ketika sebuah negara mempunyai masalah akut perihal demografi —ledakan penduduk, contohnya— sehingga pemerintah tersebut kedodoran dalam mengantisipasi masalah tersebut, bukankah negara harus meluaskan ruang hidup untuk keperluan warganya?”
Kira-kira begitulah benang merahnya kenapa ada peng-LEGAL-an hukum ekspansi di muka bumi baik secara hard power (melalui kekuatan militer) maupun smart power (ekonomi dan politik). Dengan demikian, ekspansi Amerika ke berbagai penjuru dunia secara hard power, atau perluasan ruang hidup Cina secara smart power di banyak negara —termasuk Indonesia— sejatinya karena mereka membutuhkan lebensraum atau living space bagi kepentingan nasionalnya.
Kalau sudah begini, apa masih mau bicara tentang perang agama, tawuran antaretnis, atau konflik antara pribumi dengan nonpribumi, atau antarmazhab dalam agama, ataupun intoleransi misalnya, dan lainnyà?