Pernah dimuat sebelumnya di Situs Liputan Islam, 12 Februari 2025, Pukul 16:01.
Penulis: Dina Yulianti, Dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Padjajaran, Bandung.
Keputusan Trump untuk menghentikan sementara pendanaan USAID telah memunculkan diskusi luas: apa sebenarnya peran USAID di negara-negara berkembang, termasuk Asia, khususnya Indonesia? Di permukaan, program-program yang didanai lembaga ini tampak baik dan bermanfaat bagi masyarakat. Namun, sesungguhnya, USAID merupakan salah satu tentakel utama kekuatan neokolonialisme Barat untuk menundukkan negara-negara berkembang. Penjelasan lebih lanjut akan diuraikan dalam artikel ini.
Dalam buku berjudul Neokolonialisme AS di Asia: Perspektif Indonesia, yang ditulis oleh Hendrajit dkk. (enam penulis) dan diterbitkan oleh Indonesia Consulting Group, dijelaskan dengan gamblang bagaimana Barat terus berupaya melanjutkan penjajahan dalam versi modern, yang dibungkus dengan jargon-jargon kebebasan, HAM, demokrasi, dan pasar bebas.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa terdapat persekutuan erat antara pemerintah dan parlemen AS dengan industri militer, sehingga banyak kebijakan negeri Paman Sam ini yang berorientasi pada perang. Sebagai buktinya, banyak perusahaan AS yang mendukung George W. Bush dalam pemilu kemudian mendapatkan kontrak bernilai raksasa di Irak. Selain nama-nama yang sudah banyak dikenal, seperti Halliburton dan Carlyle Group, yang selama era GW Bush (2001–2009) mendapatkan proyek-proyek besar di Irak pasca-invasi AS, ada juga SAIC (Science Application International Corp.). SAIC menyumbangkan dana kampanye untuk GW Bush sebesar 4,7 juta USD dan, setelah invasi AS ke Afghanistan (2001) serta Irak (2003), ia meraih kontrak senilai 38 juta USD. Selain itu, Fluor Corp., yang menyumbang Bush Sr. dan Jr. sebesar 36 juta USD, mendapatkan kontrak senilai 500 juta USD di Irak dan Afghanistan (hal. 9).
Bagaimana dengan Asia? AS sangat berkepentingan untuk memastikan bahwa Asia tidak lepas dari hegemoninya. Inilah akar perseteruan antara AS dan China di Asia-Pasifik, di mana lokasi geografis serta kekayaan alam kawasan ini menjadi ajang perebutan kekuatan adidaya. Bagi AS, Laut China Selatan memiliki kepentingan strategis karena perairan ini merupakan jalur tersingkat atau jalan pintas dari Samudera Pasifik menuju Laut Hindia (hal. 79).
Indonesia, sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, memiliki kekayaan alam yang sangat besar. Di halaman 51, disebutkan adanya dokumen CFR (Council on Foreign Relations), sebuah lembaga think tank yang memberikan masukan kepada pemerintah AS, mengenai kekayaan alam di Indonesia. Dokumen tersebut menyebutkan bahwa ada sumber minyak yang “belum sepenuhnya diketahui.” Artinya, masih banyak cadangan minyak di Indonesia yang bisa dieksploitasi oleh AS. CFR juga menekankan bahwa Selat Malaka dan Selat Lombok sangat vital, dan setiap gangguan terhadap jalur ini akan berdampak “tak terbayangkan terhadap ekonomi AS.”
Dijelaskan pula bahwa AS memiliki skema untuk mengamankan pasar bebas di Indonesia yang dimulai pada awal reformasi 1998, pasca-lengsernya Soeharto. Pada saat itu, Badan Penyehatan Perbankan Nasional, yang dikontrol oleh Standard Chartered Bank (Inggris) dan Citibank (AS), menjadi pintu masuk bagi raksasa-raksasa kapitalis dunia seperti Caltex, Shell, ExxonMobil, dan British Petroleum untuk mengambil alih aset nasional di sektor pertambangan emas dan tembaga (hal. 129).
Soal Papua juga dibahas dalam buku ini, tepatnya di halaman 319, di mana dikutip buku Grasberg karya George A. Maley, yang menyatakan bahwa cadangan emas di Papua merupakan yang terbesar di dunia, sementara cadangan tembaganya adalah yang terbesar ketiga di dunia. Produksi emas dan tembaga di Papua sangat murah, sehingga keuntungan yang dapat diraih oleh penguasa tambang-tambang itu sangat besar. Inilah sebabnya Papua diincar oleh negara-negara adidaya.
Selain menggunakan cara-cara militer (hard power), sebagaimana yang terlihat dalam kasus Irak dan Afghanistan, upaya AS untuk mengontrol dan menguasai sumber daya alam di berbagai penjuru dunia juga dilakukan melalui soft power. Di sinilah USAID berperan. Di halaman 325 disebutkan bahwa Barat memberikan dana kepada berbagai LSM di Indonesia melalui lembaga seperti NOVIB (Belanda), CIDA (Kanada), SIDA (Swedia), AusAID (Australia), dan USAID (Amerika Serikat).
Sebagaimana dilaporkan oleh CNN Indonesia pada 6 Februari 2025:
“Di Asia Tenggara, pendanaan AS membantu menyediakan bantuan kemanusiaan bagi masyarakat dan dukungan bagi aktivis pro-demokrasi yang mempertaruhkan nyawa melawan rezim represif. Di Indonesia, USAID mengucurkan $153 juta atau sekitar Rp2,4 triliun untuk proyek-proyek di Indonesia selama 2023. Bidang-bidang itu mencakup tata kelola pemerintahan yang demokratis, antikorupsi, iklim dan lingkungan, pertumbuhan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.”
Di Papua, salah satu program USAID adalah mendukung transparansi publik dalam penggunaan dana Otonomi Khusus (diskominfo.jayapurakab.go.id). Meskipun—sependek pengetahuan saya—belum ditemukan bukti keterkaitan langsung antara program yang tampaknya positif ini dengan upaya AS menguasai kekayaan alam Papua, kita dapat menduganya dari skema neokolonialisme AS di Asia yang dipaparkan dalam buku ini.
Di antara fakta yang diungkapkan adalah bahwa AS, dibantu oleh Belanda dan Australia, mendorong penyelenggaraan referendum sebagai langkah awal menuju Papua Merdeka, dengan motif utama untuk melanggengkan kepentingan bisnis para kapitalis korporat AS yang telah menanamkan investasinya di PT Freeport Indonesia (hal. 319). Pada 28 April 2013, kantor perwakilan Organisasi Papua Merdeka (OPM) diresmikan di Inggris, dihadiri oleh para pejabat dan anggota parlemen Inggris. Hal ini mengindikasikan semakin kuatnya tren internasionalisasi Papua serta dukungan terang-terangan Barat terhadap upaya pemisahan Papua dari Indonesia (hal. 320).
USAID dan lembaga-lembaga donor Barat memang memberikan bantuan yang tampak baik, seperti dalam bidang HAM, demokrasi, pemberdayaan masyarakat miskin, dan lain-lain. Masalahnya, program pemberdayaan masyarakat itu tidak pernah memasukkan isu redistribusi aset atau pemecahan problem kemiskinan struktural masyarakat Indonesia. Program pemberdayaan masyarakat miskin hanya sebatas lingkup mikro, seperti penanaman semangat wiraswasta dan membuka akses kepada lembaga keuangan serta pasar bebas (hal. 323–324).
Dengan demikian, pada hakikatnya, bantuan-bantuan ini digunakan sebagai sarana mendukung agenda neokolonialisme AS (dan Barat secara umum). Bantuan tersebut berfungsi untuk membentuk citra baik AS, menggalang dukungan publik bagi kehadiran AS di suatu negara, serta mengurangi perlawanan terhadap eksploitasi kekayaan alam. Selain itu, program-program ini turut mendorong perluasan liberalisasi pasar di negara-negara berkembang.
Lalu, mengapa Trump menghentikan pendanaan USAID? Yang jelas, kebijakan ini kemungkinan hanya bersifat sementara dan merupakan bagian dari strategi politik semata. Upaya neokolonialisme AS di Asia, maupun di kawasan lain, belum akan berhenti.[]