Bagaimana pandangan kita dalam mengartikan Vaccine Diplomacy? Pandangan dari Drs Muhadi Sugiono MA, pakar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gajah Mada, kiranya bisa jadi salah satu rujukan. Diplomasi vaksin dilakukan oleh negara-negara yang memiliki kapasitas untuk mengembangkan vaksin dan kemudian mendistribusikannya ke negara-negara yang memiliki hubungan strategisnya dengannya.
Misalnya pada Agustus 2021, saat Wakil Presiden Kamala Harris berkunjung ke beberapa negara di Asia Tenggara, Harris menyatakan bahwa AS telah menyuplai 23 juta dosis vaksin ke Asia Tenggara secara gratis. Menariknya, saat akan berkunjung ke Vietnam untuk menjanjikan suplai satu juta dosis vaksin Pfizer, pemerintah Cina menjanjikan 2 juta dosis vaksin untuk Vietnam. Dua kali lipat yang dijanjikan Amerika.
Bagaimana dengan Rusia? Pak Muhadi dengan mengutip keterangan Wakil Duta Besar Indonesia di Rusia, Aziz Nurwahyudi, misi diplomatik Indonesia berhasil mendapatkan akses vaksin Sputnik V yang diproduksi oleh Rusia.
Muhadi yang pada September 2021 lalu berbicara dalam seminar bulanan bertajuk Vaccine Diplomacy: Global Health Government in Crisis? , yang diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM, kemampuan memproduksi dan mendistribusikan vaksin nampaknya menjadi sumber soft power bagi Cina dan Rusia. Hal ini menurut Muhadi, disebabkan negara-negara Barat lebih mengutamakan vaccine nationalism. Yang mana lebih mengutamakan mengamankan akses vaksin untuk warga negaranya.
Dengan begitu, Muhadi mengakui, Cina dan Rusia dinilai lebih bermanfaat bagi Indonesia ketika melakukan diplomasi vaksin, dibandingkan AS dan Uni Eropa.
Lebih daripada itu, dalam konteks yang lebih strategis, Vaccine Diplomacy, diharapkan mampu menjadi instrumen perdamaian maupun menggalang kerjasama multilateral baik antar negara maupun para aktor-aktor internasional lainnya.
Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute
