Vaksin Nusantara: Sains Berselubung Politik

Bagikan artikel ini

Jesse Gelsinger menjadi tumbal inovasi di bidang kedokteran Amerika Serikat. Remaja berusia delapan belas tahun itu, pada September 1999, meregang nyawa setelah menjalani terapi gen atas penyakit akibat mutasi genetik yang disebut ornitin transkarbamilase (OTC)—sel-sel saraf otak yang teracuni oleh zat amonia yang berlebihan dan tak terkendali.

Terapi gen pada masa itu merupakan metode yang benar-benar baru. Dikembangkan oleh dua dokter di Pennsylvania, Mark Batshaw dan James Wilson. Hasil uji klinisnya pada beberapa monyet dan hanya tujuh belas manusia bercatatan buruk. Tapi atmosfer antusiasme publik, bahkan izin dari lembaga sekaliber Recombinant DNA Advisory Committee, menyelubungi eksperimen mentah Batshaw dan Wilson dan menjadikannya seolah inovasi revolusioner. Jesse dan ayahnya, Paul, terpesona akan uji coba terapi gen.

Ringkas cerita, pada 13 September, Jesse diterapi gen. Beberapa jam setelahnya, Jesse menunjukkan reaksi yang tak diharapkan. Berangsur-angsur kemudian terlihat tanda-tanda bencana: demam melonjak, wajahnya merah-padam, bola matanya berubah menjadi kuning sangat pucat, napasnya sangat cepat dan linglung, kedua ginjalnya gagal, paru-parunya mulai kaku dan runtuh, hingga tanda kerusakan otak—koma.

Pada hari keempat, Jesse telah mati otak. Ayahnya memutuskan untuk menghentikan sokongan hidup putranya dan akhirnya jantung Jesse berhenti. Dia secara resmi dinyatakan meninggal dunia.

Lima belas tahun kemudian, Paul belum dapat menerima kenyataan atas kematian putranya oleh inovasi kedokteran yang semula tampak begitu indah menjadi sangat buruk. Ada cakrawala duka tak berbatas dalam suaranya. “Mereka belum benar-benar memahaminya,” dia berkata kepada Siddhartha Mukherjee, seorang dokter spesialis dan peneliti kanker, dalam buku mahakaryanya, Gen: Perjalanan Menuju Pusat Kehidupan.

“Mereka mengujicobanya terlalu cepat. Mereka mencobanya tanpa melakukannya dengan benar. Mereka terburu-buru melakukannya. Mereka benar-benar terburu-buru,” kata Paul dengan getir. “Terapi itu,” katanya lagi, “digambarkan sebagai pertaruhan sempurna—hanya kemungkinan menang tanpa kemungkinan kalah.”

Sains yang Kebablasan

Tragedi Jesse yang memilukan itu sekadar cerita pengantar untuk membantu menelaah sikap Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) atas polemik vaksin Nusantara, kandidat vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh mantan Menteri Kesehatan dr Terawan Agus Putranto. Sedemikian kakunya Kepala BPOM Penny Lukito yang tak memberikan izin untuk uji klinis fase II riset vaksin Nusantara akan mudah dimengerti dengan kisah itu.

Alasannya cukup gamblang, menurut BPOM, karena uji klinis fase I vaksin Nusantara tidak memenuhi kaidah klinis dalam proses penelitian dan pengembangan vaksin. Juga tidak memenuhi prinsip-prinsip penting lainnya, seperti Good Clinical Practice, Good Manufacturing Practice, dan Good Laboratory Practice.

Pokoknya, vaksin Nusantara belum bisa disebut layak. Alih-alih untuk diproduksi secara massal sebagai vaksin, hasil-hasil yang dicapai dalam tahap paling awal saja tak sesuai standar—kalau tidak mau disebut buruk. Tim peneliti vaksin Nusantara disilakan melanjutkan riset mereka, tetapi, BPOM menegaskan, perbaiki dahulu kekurangan-kekurangan dalam riset tahap pertama. Yah, ibarat mengerjakan skripsi: revisi dahulu kesalahan dan kekurangan di bab I, baru kemudian lanjut ke bab-bab berikutnya.

Riset vaksin Nusantara mungkin tak seburuk eksperimen Batshaw dan Wilson. Tetapi BPOM telah menegakkan prinsip-prinsip sains, sebagaimana pepatah yang sangat terkenal bahwa teori yang paling cantik bisa dibantai oleh fakta yang buruk; terapi yang cantik bisa dibunuh oleh uji coba yang buruk.

Vaksin Nusantara yang, menurut Terawan, berbasis sel dendritik memang terdengar meyakinkan; tidak mustahil bisa menjadi terobosan revolusioner. Mungkin sama memesonanya dengan konsep terapi gen yang diuji coba oleh Batshaw dan Wilson. Tetapi, jika tanpa diuji dengan benar, dan akhirnya menjadi petaka, itu akan menjadi sesuatu yang Mukherjee sebut sebagai “dongeng peringatan tentang sains yang kebablasan”.

Politis dan Ideologis

Polemik tentang vaksin Nusantara, sayangnya, telah bergeser ke ranah politik. Perdebatan yang mestinya terbatas di wilayah ilmiah menjadi pertentangan mendukung atau menolak. Dalam batas tertentu bahkan seperti pertarungan antara ‘vaksin oposisi’ dengan ‘vaksin penguasa’. (Beruntung, setidaknya sementara ini, tidak mengeras menjadi konfrontasi Cebong versus Kampret alias Kadrun.)

Dahlan Iskan, tokoh pers yang berpengaruh dan produktif menulis, sampai menyebut “Serangan terus digencarkan oleh BPOM” kepada vaksin Nusantara dalam esai “Gatut Nusantara” yang dia unggah di blog Disway.id. Dalam catatannya yang lain, “Miko Nusantara”, mantan Menteri BUMN itu menempatkan BPOM laksana hakim pengadil dengan kewenangan absolut untuk menentukan benar atau salah. Karena alasan itu, dia menentang sekalian menegaskan, “kebenaran tidak bisa dimonopoli”.

Tidak bisa disalahkan kalau publik awam menalar topik kontroversial itu sebagai cara zalim negara terhadap inovasi anak bangsa, membunuh kreativitas, membungkam daya cipta. Apalagi kalau dibumbui dengan cerita peristiwa politik lebih dari tiga bulan sebelumnya saat Terawan dicopot dari jabatannya sebagai Menteri Kesehatan oleh Presiden Joko Widodo. Sempurnalah kezaliman itu. Kotor. Kejam. Begitu, mungkin, orang-orang berkesimpulan.

Kontroversi politisnya lantas meluas dan malah menjadi ideologis karena telah menyenggol subjek sensitif, nasionalisme. Bergema argumen bahwa vaksin Nusantara sebenarnya tidak murni karya anak bangsa karena tengara keterlibatan sejumlah saintis asing—Amerika Serikat—yang segera ditepis oleh Terawan. Bahan baku dan teknologi vaksin Nusantara yang diimpor dari Amerika merupakan masalah lain yang dianggap telah mencemari kemurniannya.

Kalau urusannya sudah sedemikian politis dan ideologis, seperti halnya dalam banyak kasus, selalu ada kecenderungan untuk menerjang setiap halangan. Kadang-kadang berdasarkan alasan “demi kepentingan publik atau bangsa”. Tidak ada yang akan berani menyanggah itu.

Syukur-syukur kalau tak ada yang celaka—dan semuanya memang berharap begitu. Namun jika sampai terjadi, bukan hanya publik yang dikorbankan, masa depan sains dan gagasan yang revolusioner itu akan suram. Nasib inovasi sel dendritik akan kembali di tangan keputusan politik: mungkin akan dimoratorium hingga batas waktu yang panjang.

Bangsa Indonesia, tentu saja, membutuhkan orang-orang penerobos dan inovatif seperti Terawan. Tetapi mudah-mudahan pula Terawan tidak jadi diangkat sebagai duta besar Indonesia di Madrid sehingga masih dapat melanjutkan proyek yang telah dia rintis. Kita tidak juga akan berharap peringatan Mukherjee tersemat pada inovasi sains medis itu.

M. Arief hidayat, wartawan senior, tinggal di Jakarta

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com