Virus Korona dalam Lingkaran Perang Narasi

Bagikan artikel ini

Refleksi Kecil SIKONTOLPANJANG

Coretan kecil ini masih menyoal coronavirus, isu global yang update, aktual lagi viral. Sebenarnya sudah tiga catatan saya bikin tentang corona/korona, antara lain:

Catatan Pertama, bertajuk ‘Virus Korona: Antara Azab atau Modus Serangan Asimetris?‘ Analisa ini berbasis asymmetric war. Perang nirmiliter. Poin intinya, ketika dalam waktu dekat usai kegaduhan isu korona, ada korporasi global bidang farmasi mengkampanye dan/atau menawarkan produk vaksin antivirus, atau imunisasi massal, dan seterusnya maka sudah bisa ditebak siapa invisible hands di balik viral serta meluasnya isu Wuhan. Ada udang di balik batu. Terdapat geoekonomi di ujung (geo) politik dan strategi;

Catatan Kedua, berjudul ‘Antara Isu Wuhan atau Wulan‘. Ya. Meskipun joke atau candaan, namun ingin disampaikan bahwa isu korona bermula dari aktivitas (saya tak menyebut operasi intelijen) terkendali, tapi dalam prosesnya justru lepas kendali. Out of control;

Catatan Ketiga, judulnya ‘Isu Wuhan dan Beberapa Skenario yang Mengitari.’ Pada artikel ini, secara ringkas saya tulis berbagai narasi yang beredar baik kajian, opini, persepsi, meme, framing, dan lain-lain bahkan narasi ukhrowi yang cenderung nonakademis. Kun! Itu kawasan Dia, ranah yang tidak boleh dirambah manusia kecuali memiliki kemampuan. Yang ketiga ini, ada sedikit pro kontra soal data. Tak masalah dan wajar, karena meme, persepsi, apalagi framing media cenderung tendensius, subjektif, dan seterusnya sebab punya target serta alat menyerang lawan.

Dari ketiga catatan di atas, ditemukan nomenklatur baru yakni PERANG NARASI.

Nah, apakah perang narasi itu? Singkat kata, itu model peperangan antara dua pihak atau lebih secara nirmiliter (ini jenis asymmetric war) dimana lapangan tempurnya ialah media massa. Entah di media cetak, atau elektronik, online, media sosial, dan lain-lain. Modusnya menjatuhkan lawan di media, namun mengherokan “pion”-nya untuk promosi, ataupun kerap pihak musuh yang justru diangkat lalu dijatuhkan. Atau sebaliknya, pura-pura “pion”-nya dijatuhkan kemudian diangkat. Digadang-gadang. Ini playing victim. Dalam dunia makelar kambing ada istilah “dicincang”. Maksud dicincang itu, kadang dipromosikan, suatu saat dikorbankan atau ditumbalkan. Semacam false flag operation. Terserah pilih mana? Dan praktik peperangan narasi akan tergantung situasi, kondisi, toleransi, pandangan (perspektif) dan jangkauan (area), atau disingkat SIKONTOLPANJANG.

Dan agaknya, poin inti dalam peperangan narasi yang bertopik isu korona ini, Barat dalam hal ini Amerika dan sekutu di satu sisi, sibuk memprogandakan serta meyakinkan kepada publik tentang bahayanya geliat Cina di panggung global. Dinarasikan, bahwa ia rakus dan ganas. Sedang Cina sendiri di sisi lain, pun (meng-counter) dengan meyakinkan kepada dunia bahwa tidak ada kekuatan manapun mampu membendung manuver Cina. Dan hanya Cina di bawah langit, semua negara di bawah Cina. Itu yang kini berlangsung.

Amunisi lazim dalam perang narasi ini selain hoax, framing, opini dan fitnah, menu pokoknya ialah KEBOHONGAN. Hal ini pararel dengan petuah Joseph Gobbelz yang melegenda, “Tebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang akan membuat publik menjadi percaya, dan kebohongan yang terbesar adalah kebenaran yang diubah sedikit saja”. Luar biasa. Tak pelak, Sun Tzu pun dahulu pernah mengatakan, “All warfare is deception.” Semua peperangan itu tipuan.

Pertanyaan menggelitik muncul, “Bagaimana cara agar kita tidak terombang-ambing dalam gelombang kebohongan dalam peperangan narasi?” Jawabannya sederhana, “Lihatlah pola.” Kenapa? Karena hidup itu sendiri adalah pola teknis berulang yang berasal dari petunjuk-Nya. Lagu “bangun tidur kuterus mandi,” misalnya, adalah potret kecil sebuah pola kehidupan manusia yang dilagukan. Dalam MC-III di Bumi Maribaya pun ada sub materi ajar bertajuk: Looking for pattern. Melihat pola. Ya. Sebelum hujan pasti terlihat mendung, ini tanda alam, atau setiap lebaran pasti orang mudik lalu timbul kepadatan arus transportasi, dan seterusnya bahkan di area (geo) politik diisyaratkan, bahwa setiap tujuan niscaya membawa korban.

Sekali lagi, lihatlah pola. Karena jika sudah hafal pola peristiwa, mungkin antisipasi dini bisa dilakukan secara konsepsional. Ya, pola. Atau dalam bahasa religi, bacalah tanda-tanda alam bagi orang yang berpikir!

Terima kasih.

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com