Wacana Jepang Tentang Persekutuan Militer ala NATO di Asia Pasifik Berbahaya

Bagikan artikel ini

Amerika Serikat (AS) dan Jepang sejak berakhirnya Perang Dunia II memang kemudian menjadi sekutu strategis di bidang politik dan militer, apalagi ketika memasuki dekade 1950-an muncul Perang Dingin antara blok Barat yang berhaluan kapitalis liberal versus komunisme. Yang ditandai meruncingnya persaingan global AS dan blok Eropa Barat versus Cina dan Rusia. Dalam konstelasi global seperti itu, Jepang sepenuhnya berada di pihak AS.

Namun seiring berakhirnya Perang Dingin pada awal 1990-an yang ditandai runtuhnya tembok Berlin 1989 dan runtuhnya Uni Soviet sebagai negara bangsa, persekutuan militer AS-Jepang malah semakin meningkat. Perdana Menteri baru Jepang, Ishiba Shigeru, begitu memegang tampuk pemerintahan, dengan segera melontarkan gagasan untuk membangun persekutuan militer dengan menggunakan model persekutuan militer ala NATO di kawasan Indo-Pasifik. Yang tujuannya tiada lain selaras dengan kepentingan strategis AS di kawasan ini, yaitu membendung pengaruh kekuatan ekonomi dan militer Cina.

Gagasan yang digulirkan Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba bukan saja bisa memicu meningkatnya eskalasi konflik di Asia Pasifik, melainkan juga menciptakan situasi yang penuh kontradiksi. Satu sisi pendekatan ekonomi dan perdagangan yang terjalin dengan Cina semakin konstruktif dan produktif dan menciptakan hubungan timbal-balik yang saling menguntungkan dan setara, pada sisi lain bergulirnya wacana Persekutuan Militer ala NATO justru akan menyebabkan negara-negara Asia, terutama ASEAN, akan kembali mundur ke belakang. Apalagi di balik wacana terbentuknya Persekutuan Militer ala NATO di Asia Pasifik, didasari gagasan untuk menghidupkan kembali angkatan bersenjata Jepang yang tidak lagi hanya bersifat defensif, melainkan juga akan lebih agresif dalam arti dibolehkan untuk mengerahkan pasukan militernya menyerang negara lain.

Tren untuk membangkitkan kembali militerisme Jepang bermula sejak era pemerintahan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, yang diarahkan untuk melakukan revisi konstitusi 1947. Ada dua isu sentral di balik gagasan Revisi Konstitusi 1947. Pertama, berdasarkan gagasan untuk mengubah konsep tentara bela diri kolektif Jepang menjadi sebuah kekuatan militer seperti sebelum diberlakukannya konstitusi Jepang 1947.

Kedua, revisi konstitusi dimaksudkan untuk  membuka kembali keterlibatan Jepang untuk ikut berperang di pelbagai belahan dunia. Kedua isu sentral yang digulirkan pada 2015 lalu itu ditentang berbagai elemen masyarakat. Sehingga memicu unjuk rasa sekitar 30 ribu warga masyarakat Jepang itu, menolak revisi konstitusi maupun UU Keamanan yang dikhawatirkan bisa menjadi pintu masuk bangkitnya kembali militerisme dan Angkatan Bersenjata Jepang seperti pada era Perang Dunia II.

Yang krusial di mata berbagai elemen masyarakat sipil Jepang adalah Pasal 9 konstitusi Jepang yang mulai berlaku sejak 3 Mei 1947 menysul menyerahnya Jepang kepada sekutu dalam Perang Dunia II. Dalam klausul itu, melarang dilakukannya perang oleh negara. Selain itu, pasal 9 juga secara tegas menolak perang baik sebagai hak kedaulatan seraya menegaskan penyelesaian sengketa internasional melalui penggunaan kekuatan militer ditolak.

Selain itu, aspek terpenting dari klausul ini, menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan-tujuan ini, Angkatan Bersenjata Jepang sebagai kekuatan untuk melancarkan perang, tidak dipertahankan lagi. Sebagai gantinya, konstitusi hanya mengizinkan dibentuknya Pasukan Bela Diri Jepang (Collective Self Defense), meski pasal ini tidak membolehkan pasukan bela diri digunakan untuk tujuan agresi militer. Hanya sebatas untuk tujuan mempertahankan kedaulatan dan integritas territorial Jepang.

Namun saat ini zaman rupanya sudah berubah dan mulai tidak relevan lagi. Menyusul tewasnya Shinzo Abe beberapa tahun lalu, sosok Ishiba Shigeru sebenarnya masih satu haluan politik dengan mendiang Shinzo Abe. Kalau sedikit kilas balik pada 2014 saat Shinzo Abe masih perdana menteri, Ishiba Shigeru merupakan orang dekat Abe sebagai Sekretaris Jenderal Partai Liberal Demokrat (Liberal Demokratic Party, LDP). Dengan demikian, nampak jelas baik Abe maupun Shigeru bersama-sama merancang perubahan interpretasi terhadap pasal 9 UUD tersebut.

Maka sama sekali tidak mengejutkan ketika terpilih sebagai perdana menteri pada September 2024 lalu, Shigeru Ishiba bukan saja akan meneruskan arah kebijakan pertahanan Jepang maupun persekutuan AS-Jepang, malah melangkah  lebih jauh lagi dibandingkan mendiang Shinzo Abe. Sejak masa kampanye pemilu, Shigeru Ishiba menyerukan pembentukan kerja sama keamanan di Asia yang mirip Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO. Bisa dipastikan jika program ini dijalankan, akan memancing reaksi keras dari pemerintah Cina di Beijing. Sehingga memanasnya eskalasi konflik bersenjata di kawasan Asia Pasifik tak terhindarkan lagi.

Shigeru Ishiba berbicara sebelum pemilihan putaran kedua pada pemilihan kepemimpinan Partai Demokrat Liberal (LDP) pada 27 September 2024, di markas besar partai di Tokyo. (Foto: Hiro Komae/AP Photo, pool)
Shigeru Ishiba berbicara sebelum pemilihan putaran kedua pada pemilihan kepemimpinan Partai Demokrat Liberal (LDP) pada 27 September 2024, di markas besar partai di Tokyo. (Foto: Hiro Komae/AP Photo, pool)

Apalagi pada April 2024, ketika Fumio Kishida, perdana Jepang sebelum Shigeru, bahkan  sempat memperluas lingkup persekutuan militernya tidak saja sebatas dalam lingkup AS-Jepang, melainkan juga dengan memperluas lingkupnya dalam persekutuan AS-Jepang-Filipina  (JAPHUS).

Pakta Pertahanan AS-Jepang-Filipina (JAPHUS) yang dirancang oleh Washington pada awal April 2024 lalu, nampaknya pemerintah AS juga akan segera mengembangkan lebih lanjut Sebuah Pakta Militer bersama sebagai pengembangan lebih lanjut dari Pakta Militer Bersama antara AS-Inggris dan Australia (AUKUS) yang diluncurkan pada 2023 lalu. Seperti juga skema JAPHUS, AS nampaknya akan segera mengembangkan pakta serupa di Asia Tenggara antara AS-Australia dan Filipina (AUPHUS). Bisa dibayangkan jika hal itu terjadi, atmosfer militerisasi akan mempengaruhi konstelasi geopolitik di Asia Pasifik, utamanya Asia Tenggara dimana Indonesia termasuk di dalamnya.

Terlepas format pembentukan Persekutuan Militer AS-Jepang dan negara-negara Asia ala NATO masih dalam tahap wacana, namun hal itu dengan jelas menggambarkan bahwa baik Shinzo Abe, Fumio Kishida dan Shigeru Ishiba, sejatinya sama-sama menganut haluan politik-pertahanan yang bermaksud memperkuat angkatan bersenjata Jepang secara lebih agresif. Sehingga tidak lagi  sekadar  pasukan militer yang semata-mata bersifat defensif  untuk mempertahankan diri jika negaranya diserang oleh negara asing sesuai konstitusi Jepang pasal 9 yang  mulai berlaku sejak Mei 1947.

Tak bisa disangkal, bahwa konsep Shigeru tentang pembentukan Persekutuan Militer ala NATO di Asia Pasifik (Indo-Pasifik menurut versi AS), merupakan arahan dari Washington. Pertanyaan pentingya adalah, untuk tujuan apa? Bukankah gagasan Shigeru tersebut malah menyebabkan posisi Jepang di Asia, utamanya Asia Tenggara, menjadi kontradiktif? Fakta bahwa sejak Pasca-Perang Dunia II Jepang merupakan mitra dagang negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, memang begitulah kenyataannya. Namun ketika Jepang mengubah haluannya yang semula mitra dagang negara-negara ASEAN kemudian menjadi suatu persekutuan militer ala NATO di Asia Pasifik, maka negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia, akan memandang sikap Jepang itu sebagai kontradiktif atau paradoks.

Sebagai negara satelit AS di Asia Pasca-Perang Dunia II dan sepanjang era Perang Dingin hingga kini, gagasan membangun Persekutuan Militer ala NATO di Indo-Pasifik, sejatinya merupakan agenda strategis AS untuk menciptakan militerisasi di kawasan Indo-Pasifik. Untuk mengimbangi kekalahan dan ketertinggalannya dalam persaingan ekonomi dan perdagangan terhadap Cina. Maka satu-satunya cara, adalah menciptakan militerisasi di kawasan ini, sehingga merusak kembali stabilitas (stability)  dan kemakmuran negara-negara Asia  yang sudah tercipta hasil kerja sama ekonomi dan perdagangan yang saling menguntungkan antara Cina dengan negara-negara di Asia, termasuk di ASEAN.

Dengan pengertian lain, wacana Persekutuan Militer ala NATO di Indo-Pasifik, bertentangan dengan kebijakan negara-negara ASEAN yang saat ini sudah mencapai momentum yang cukup bagus dalam pembangunan ekonomi maupun perdagangan. Ketika pendekatan ekonomi-perdagangan bergeser kembali ke atmosfer militerisasi di kawasan Asia Pasifik, maka alokasi anggaran belanja di negara-negara ASEAN yang saat ini terpusat pada sektor-sektor ekonomi, perdagangan, ilmu-pengetahuan dan teknologi, pendidikan dan kesehatan, akhirnya terpaksa harus dialokasikan ke sektor-sektor pertahanan-militer. Dengan dalih untuk menghadapi ancaman militer dari Cina.

Padahal AS sedang berupaya untuk membalikkan keadaan kembali ke suasana militerisasi di Asia Timur dan Asia Tenggara, sehingga kemajuan ekonomi dan perdagangan yang terjalin secara strategis antara Cina-ASEAN, akan rusak dan berantakan lagi. Rupanya AS mulai menyadari meski terlambat,  bahwa pendekatan Soft Power  Cina melalui skema Belt and Road Initiative (BRI) terhadap negara-negara di Asia Tenggara, membuat nyaman negara-negara di Asia, karena kerja sama ekonomi dan perdagangan tidak menggunakan isu-isu isu-isu politik seperti demokrasi, hak-hak asasi manusia dan lingkungan hidup, sebagai bagian dari paket kerja sama ekonomi dan perdagangan.

Di sinilah dimensi krusial dari wacana yang digulirkan Perdana Menteri Ishiba Shigeru terkait Persekutuan Militer ala NATO di Asia Pasifik. Demi untuk mewujudkan ambisi geopolitiknya sebagai kekuatan hegemoni satu-satunya di kawasan Asia Pasifik seraya membendung pengaruh kekuatan Cina yang kiat menguat di kawasan ini, Washington kali ini justru membiarkan Jepang untuk menghidupkan kembali pasukan militernya, dengan menghapus pasal 9 dari konstitusi Jepang.

Padahal, bangkitnya kembali kekuatan militer Jepang yang tidak lagi bersifaat defensif melainkan agresif, akan memicu kekhawatiran negara-negara Asia akan bangkitnya kembali militerisme dan fasisme Jepang seperti pada waktu Perang Dunia II.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com