Waspadai Agenda AS dan Uni Eropa Promosikan LGBT di Indonesia Dengan Dalih Hak-Hak Asasi Manusia

Bagikan artikel ini

Minggu 16 Februari 2025 lalu, Kelompok pemuda dari Destiny Church menggelar protes dalam parade komunitas LGBT di Ponsonby Road, Auckland, Selandia Baru. Mereka mengenakan kaos bertuliskan ‘Man Up’ dan menghadang parade di depan polisi setempat dengan melakukan haka sebagai bentuk perlawanan. Apa itu Haka? Haka merupakan imbol kekuatan dan identitas budaya masyarakat Maori.

Pendiri Destiny Church, Brian Tamaki, mengklaim aksi ini sebagai perlawanan terhadap agenda LGBT di Selandia Baru. Menurutnya, sudah saatnya negara itu kembali ke jalur yang dianggap benar. Artinya, menentang kebijakan pemerintah Selandia Baru mendukung keberadaan LGBT, yang terkandung di dalamnya  praktek-praktek penyimpangan seksual dan pornografi.

Aksi protes para pemuda dari Destiny Church tersebut nampaknya mencerminkan kegelisahan umum warga masyarakat Selandia Baru dalam lingkup yang lebih luas. Betapa tidak. Pemerintah Selandia Baru selama ini mengizinkan diselenggarakannya acara tahunan Rainbow Parade Auckland,  sebuah acara tahunan yang mendukung hak-hak LGBT. Fakta bahwa aksi protes Church Destiny tersebut melibatkan juga Sekelompok penduduk asli Maori di Auckland, membuktikan bahwa kebijakan pemerintah Selandia Baru mendukung isu LGBT juga telah menggelisahkan masyarakat asli Selandia Baru yang notabene bukan orang Eropa Barat, dan masih menganut tradisi dan kearifan lokal yang bersifat ketimuran. Sebab dengan diakuinya eksistensi dan aktivitas komunitas LGBT, berarti pemerintah Selandia Baru membiarkan meluasnya aksi pornografi dan penyimpangan seksual.

Baca:

Protes Besar-Besaran di Auckland, Penduduk Asli Maori Tolak Isu LGBT di Tengah Rainbow Parade

Kenyataan bahwa Selandia Baru dan Australia yang berada di kawasan Asia Pasifik merupakan bagian integral dari persekutuan blok Barat yang dimotori Amerika Serikat dan Uni Eropa, sulit untuk disangkal bahwa dukungan terhadap eksistensi dan aktivitas LGBT memang merupakan buah dari design global AS-Uni Eropa.

Maka, adanya aksi protes dari para pemuda warga asli Selandia Baru dari Maori, menggugat aksi pornografi dan penyimpangan seksual yang meluas di Selandia Baru dan berpotensi mempengaruhi anak-anak dan pemuda warga asli Maori, sudah semestinya berbagai komponen bangsa Indonesia menyuarakan gugatan yang sama kerasnya terhadap fenomena keberadaan dan aktivitas LGBT di Indonesia.

LGBT yang merupakan kepanjangan dari Lesbian, Gay, Bisexual, dan Queer, merupakan hal yang ditabukan di kalangan masyarakat Indonesia. Tradisi dan norma-norma sosial masyarakat Indonesia dari Sabang Sampai Merauke, menentang keras homoseksual dan trans-gender. Apalagi kalau sampai menjadi sebuah kebijakan publik.

Namun demikian, meskipun fenomena keberadaan dan aktivitas LGBT di Indonesia saat ini ditentang keras oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, namun belum ada ketentuan hukum yang secara tegas memberikan sanksi hukum terhadap praktek-praktek penyimpangan seksual yang melekat dalam keberadaan dan aktivitas LGBT. Saat ini belum ada ketentuan perundang-undangan atau hukum pidana yang mengatur secara tegas pelarangan sodomi. Juga belum ada ketentuan perundang-undangan yang secara jelas melarang praktek-praktek hubungan seksual sesama jenis yang bersifat non-komersial dan semata atas dasar suka-suka. Maupun perkawinan sesame  jenis.

Mungkin Aceh, bisa menjadi sumber inspirasi bagi pemerintah pusat di Jakarta. Di Aceh yang menganut hukum Syariah Islam, mengatur secara tegas melalui ketentuan hukum dan perundang-undangan terhadap homoseksual dan menyatakan keberadaan LGBT sebagai illegal atau melanggar hukum. Sehingga Aceh secara tegas dan tanpa kompromi melarang perkawinan sesama jenis (same sex marriage).

Sebab, tanpa ketentuan hukum dan perundang-undangan yang secara tegas melarang keberadaan dan aktivitas LGBT seperti homoseksual, lesbian, dan trans-gender, agenda-agenda negara asing seperti AS dan Uni Eropa seperti tergambar secara jelas di Selandia Baru, dengan mudah akan menemukan celah dan kesempatan untuk menanamkan pengaruhnya di Indonesia, atas nama Hak-Hak Asasi Manusia.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com