Shangri-La Dialogue merupakan forum tahunan yang diselenggarakan oleh International Institute for Strategic Studies (IISS) Singapura. Sebuah forum yang merupakan titik-temu antara para pembuat kebijakan pertahanan, peneliti, industri, maupun berbagai kalangan yang berkepentingan di kawasan Asia-Pasifik.
Pertemuan yang bermula pada 2002 lalu tersebut, pada perkembangannya menjadi sebuah forum yang semakin penting dan strategis, seturut meningkatnya dinamika perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di Asia-Pasifik. Sehingga sesuai dengan skema kerjasama negara-negara yang tergabung dalam forum Indo-Pasifik, nampaknya gagasan dasar forum yang dimotori IISS Singapura ini, secara teorits adalah untuk menyatukan kepentingan strategis bidang ekonomi dan pertahanan menurut Strategi Indo-Pasifik Amerika Serikat (US Indo-Pacific Strategy) yang diumumkan Presiden Donald Trump pada 2017 lalu.
Dengan tak ayal forum pertemuan yang melibatkan beberapa menteri pertahanan dari Asia, Amerika dan Eropa Barat tersebut, diberi kesempatan memberikan presentasi di forum tersebut, untuk menyatukan visi dan arah kebijakan. Beberapa menteri pertahanan yang ikut serta antara Singapura, Selandia Baru, Korea Selatan dan Indonesia. Juga ikutserta Australia, Kanada, Inggris, Jerman dan Cina.
Jika kita telisik asal-usul dan awal berdirinya, Shangri-La Dialogue sejatinya bukan forum yang bersifat netral. Ada kecenderungan kuat untuk lebih mendukung skema pertahanan-keamanan global yang diprakarsai oleh AS dan negara-negara Barat yang tergabung dalam NATO.
Hal ini nampak jelas ketika kita cermati secara jeli forum pertemuan Shangri-La Dialogue pada Juni 2024 lalu, yang mana turut hadir Menteri Pertahanan AS pada waktu itu, Llyod Austin, Menteri Pertahanan Australia Richard Marles, Menteri Pertahanan Kanada, Bill Blair, dan Menteri Pertahanan Swedia Pal Johson.
Jika kita telisik asal-usul dan awal berdirinya, Shangri-La Dialogue sejatinya bukan forum yang bersifat netral. Ada kecenderungan kuat untuk lebih mendukung skema pertahanan-keamanan global yang diprakarsai oleh AS dan negara-negara Barat yang tergabung dalam NATO.
Kalau Shangri-La Dialogue Juni 2024 kita jadikan rujukan paling terkini, nampaknya kita cukup beralasan untuk semakin kuat dugaan bahwa forum tersebut sejatinya lebih condong pro AS dan blok Barat. Selain AS dan Australia, Swedia yang sejak Pasca Perang Dingin kita pandang sebagai negara netral, sejak 7 Maret 2024 lalu, resmi bergabung menjadi anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Dengan begitu, sulit kiranya melalui forum ini untuk mencetuskan gagasan membangun Strategi Perimbangan Kekuatan atau Balancing Strategy dari negara-negara Asia Pasifik sebagai respons terhadap semakin memanasnya ketegangan geopolitik antara AS versus Cina di Asia Pasifik, dan Asia Tenggara pada khususunya.
Apalagi kalau menelisik kembali awal mula Shangri-La Dialogue digagas sebagai pertemuan rutin tahunan, meski dalam pelaksanaannya ditangani oleh IISS Singapura, namun Shangri-La Dialogue pada awalnya dicetuskan oleh Kepala Eksekutif International Institute for Strategic Studies (IISS), Sir John Chipman, pada 2001 yang berpusat di London, Inggris. Dasar pertimbangannya kala itu, lantaran pertemuan para menteri luar negeri ASEAN yang kita kenal sebagai ASEAN Regional Forum (ARF) dinilai tidak efektif untuk menggalang kesamaan visi antar para pejabat tingkat tinggi bidang pertahanan dan keamanan dari negara-negara Asia Pasifik. Sepertinya, ARF sebagai pertemuan tingkat menteri negara-negara ASEAN, telah gagal dirancang oleh AS-Inggris-Australia sebagai mekanisme untuk menggalang persekutuan strategis pertahanan-keamanan dari negara-negara ASEAN.
Dengan demikian, agenda strategis dari negara-negara blok AS-NATO dengan mendorong terbentuknya Shangri-La Dialogue, adalah menggalang persekutuan strategis dengan negara-negara Asia Pasifik melalui pera menteri pertahanan dan panglima militer negara-negara Asia Pasifik. Dan Asia Tenggara, lebih khusus lagi Indonesia, merupakan sasaran utama penggalangan aksi membendung Cina. Fakta penting yang tak boleh diabaikan, IISS yang berdiri sejak 1997 dan bermarkas di London, Inggris, memfokuskan kajian-kajian strategisnya dalam isu-isu pertahanan dan keamanan berlingkup global. Hingga kini, Inggris dan AS selalu merupakan sekutu strategis dan satu visi-misi dalam menyikapi konstelasi geopolitik internasional.
Hal ini dengan cermat dan akurat konstelasi global tersebut dibaca dengan baik oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Dalam Special Adress yang disampaikan dalam forum yang diselenggarakan pada Juni 2024 lalu, Prabowo Subianto yang kala itu masih menjabat Menteri Pertahanan, menyoroti peran Indonesia dalam menjaga stabilitas dan keamanan Asia Tenggara serta kontribusi Indonesia dalam upaya kolaboratif untuk menangani isu-isu keamanan global. Kehadiran Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dalam forum ini harus kita nilai cukup positif, karena hal itu menunjukkan komitmen Indonesia terhadap kerja sama internasional di bidang keamanan, namun juga memeperkuat posisi Indonesia sebagai salah satu negara yang aktif berkontribusi menciptakan perdamaian dan stabilitas regional maupun global.
Menariknya, yang menjabat menteri pertahanan dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto saat ini, adalah Letnan Jenderal (Purn) Sjafrie Sjamsoedin, yang saat Menteri Pertahanan Prabowo menghadiri Forum Shangri-La Dialogue pada Juni 2024 lalu, masih menjabat sebagai Asisten Khusus Menteri Pertahanan Bidang Manajemen Pertahanan. Dengan demikian, arah kebijakan strategis pertahanan-keamanan di era Prabowo Subianto saat ini, kiranya masih tetap tidak berubah. Yaitu masih tetap berpegan pada azas Politik Luar Negeri Bebas-Aktif dan Non-blok, di tengah tarik-menarik persaingan global yang kian memanas di Asia Pasifik antara AS versus Cina.
Dalam pertemuan pada Mei 2025 mendatang, Forum Shangri-La Dialogue akan mengangkat tema, Managing Proliferation Risk in Asia-Pacific. Merespons tema tersebut, Indonesia sebaiknya waspada dan berhati-hati. Sebab frase yang digunakan dengan menekankan pentingnya Mengelola atau Menangani Proliferation Risk, maka sulit disangkal bahwa Proliferation Risk atau Penyebaran dan perluasan resiko yang tentunya yang dimaksud adalah untuk menghadapi ancaman bahaya dari Cina di Asia Pasifik. Jelas lah sudah bahwa melalui tema ini, AS dan sekutu-sekutu strategisnya seperti Inggris dan Australia, sedang melancarkan propaganda dan penggalangan kekuatan dari negara-negara Asia Pasifik untuk menghadapi meluasnya pengaruh Cina di Asia Pasifik.
Sikap Indonesia, sampai sejauh ini, masih tetap berpedoman pada komitmen Gerakan Nonblok yang menolak bersekutu ke salah satu blok, dan masih berkomitmen pada Politik Luar Negeri Bebas-Aktif. Namun bagaimana dengan negara-negara Asia Pasifik lainnya, utamanya negara-negara mitra kita dari ASEAN?
Agar Indonesia dan negara-negara ASEAN tetap waspada dan hati-hati, ada baiknya kita kilas balik Shangri-La Dialogue pada 2019 di Singapura. Tepatnya, pada Tepatnya pada 1 Juni 2019 lalu, pejabat sementara Menteri Pertahanan (Acting Secretary of Defense) Patrick Shanahan, berbicara di depan forum Shangri-La Dialog dengan mengambil tema: The US Vision for Indo-Pacific Security.
Dalam forum Shangri-La pada 2019 tersebut, juga hadir beberapa menteri pertahanan dari Inggris, Jerman, Australia, Filipina, Malaysia, Cina, Jepang, Kanada, serta pejabat sementara menteri pertahanan AS kala itu yang hadir adalah Patrick Shanahan.
Waktu itu, ada sesuatu yang berlangsung di luar forum resmi yang menggambarkan atmosfer dan semangat sesungguhnya dari forum Shangri-La Dialogue. Forum tersebut ternyata sangat diwarnai oleh persaingan global AS versus Cina di Asia-Pasifik yang sudah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir.
Baca: 2019 Shangri-La Dialogue: US-China Divide Lingers Amid Asia’s Anxiety
Yang terlihat mencuat dari forum ini adalah upaya pemerintah AS, seperti tercermin pada presentasinya di depan peserta forum, untuk menjabarkan dua dokumen strategisnya yaitu: the National Security Strategy dan the National Defense Strategy. Sehingga memicu kekhawatiran beberapa kalangan para pemangku kepentingan (stakeholders) kebijakan pertahanan tentang potensi memanasnya kembali kawasan Asia-Pasifik sebagaimana di era Perang Dingin pada abad 20.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, seringkali forum semacam Shangri-La Dialog tersebut, bukan sekadar jadi ajang untuk menyampaikan berbagai gagasan secara terbuka, tapi juga seringkali digunakan sebagai pertemuan informal di sela-sela pertemuan resmi, untuk menggelar hidden agenda alias agenda tersembunyi.
Salah satunya, adalah pertemuan informal antara pejabat sementara Menteri Pertahanan AS Patrick Shanahan dengan Menteri Pertahanan Thailand Prawit Wongsuwan pada 1 Juni lalu. Dalam pertemuan informal tersebut, terbetik informasi bahwa pejabat sementara Menteri Pertahanan Shanahan menawarkan bantuan di berbagai bidang kepada Thailand. Dan sebagai imbalannya, Thailand bersedia menyediakan sebuah pangkalan militer baru di Thailand.
Sebagai imbalan atas bantuan ekonomi maupun bidang-bidang strategis lainnya, Thailand diharapkan menyetujui permintaan AS untuk penempatan sistem pertahanan udara atau anti-rudal di Thailand.
Tentu saja informasi semacam ini sangat mengkhawatirkan bagi kawasan Asia Tenggara, karena bisa menciptakan instabilitas dan ancaman bagi kawasan Asia Tenggara. Sehingga pada perkembangannya akan menyeret negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, untuk terlibat dalam persaingan global AS versus Cina di kawasan Asia Tengara khususnya, dan Asia-Pasifik pada umumnya.
Bahkan pada Shangri-La Dialogue ke-11 pada 2012 lalu, dua pejabat yang paling bertanggungjawab atas mesin militer global AS, Menteri Pertahanan Leon Panetta dan Kepala Staf Gabungan Jendral Martin Dempsey, mengunjungi markas komando Pasifik di Hawaii dalam lawatannya ke sejumlah negara di Asia-Pasifik dan secara resmi memulai upaya pergeseran pemusatan militer AS dan asetnya di kawasan Asia Pasifik.
Isyarat tersebut semakin jelas ketika setelah menghadiri forum tahunan di bidang pertahanan Shangri-La Dialogue ke 11, Panetta dan Dempsey bertemu dengan 26 negara Asia-Pasifik, keduanya kemudian meneruskan perjalanan terpisah. Panetta ke Vietnam dan India, sekutu militer AS yang paling signifikan di Asia pasca Perang Dingin, dan Dempsey bertolak ke Filipina dan Thailand, yang sejatinya merupakan dua sekutu militer lama AS.
Maka itu, Indonesia yang dalam forum Shangri-La Dialogue pada Mei 2025 nanti akan hadir dan mempresentasikan pandangannya yang bertema Managing Proliferation Risk in Asia-Pacific, kiranya sudah cukup beralasan untuk semakin meningkatkan kewaspadaannya agar tidak terpancing masuk dalam skema penggalangan kekuatan anti-Cina yang dimotori oleh AS-NATO dalam Kerangka Strategi Indo-Pasifik AS.
Hendrajit, Pengkaji Geopoolitik, Global Future Institute (GFI)
Jika Shangri-La Dialogue Juni 2024 kita jadikan rujukan paling terkini, nampaknya kita cukup beralasan untuk semakin memperkuat penilaian kita bahwa forum tersebut sejatinya lebih condong pro AS dan blok Barat. Selain AS dan Australia, Swedia yang sejak Pasca Perang Dingin kita pandang sebagai negara netral, sejak 7 Maret 2024 lalu, resmi bergabung menjadi anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Dengan begitu, sulit kiranya melalui forum ini untuk mencetuskan gagasan membangun Strategi Perimbangan Kekuatan atau Balancing Strategy dari negara-negara Asia Pasifik sebagai respons terhadap semakin memanasnya ketegangan geopolitik antara AS versus Cina di Asia Pasifik, dan Asia Tenggara pada khususunya.
Apalagi kalau menelisik kembali awal mula Shangri-La Dialogue digagas sebagai pertemuan rutin tahunan, meski dalam pelaksanaannya ditangani oleh IISS Singapura, namun Shangri-La Dialogue pada awalnya dicetuskan oleh Kepala Eksekutif International Institute for Strategic Studies (IISS), Sir John Chipman, pada 2001 yang berpusat di London, Inggris. Dasar pertimbangannya kala itu, lantaran pertemuan para menteri luar negeri ASEAN yang kita kenal sebagai ASEAN Regional Forum (ARF) dinilai tidak efektif untuk menggalang kesamaan visi antar para pejabat tingkat tinggi bidang pertahanan dan keamanan dari negara-negara Asia Pasifik. Sepertinya, ARF sebagai pertemuan tingkat menteri negara-negara ASEAN, telah gagal dirancang oleh AS-Inggris-Australia sebagai mekanisme untuk menggalang persekutuan strategis pertahanan-keamanan dari negara-negara ASEAN.
Dengan demikian, agenda strategis dari negara-negara blok AS-NATO dengan mendorong terbentuknya Shangri-La Dialogue, adalah menggalang persekutuan strategis dengan negara-negara Asia Pasifik melalui pera menteri pertahanan dan panglima militer negara-negara Asia Pasifik. Fakta penting yang tak boleh diabaikan, IISS yang berdiri sejak 1997 dan bermarkas di London, Inggris, memfokuskan kajian-kajian strategisnya dalam isu-isu pertahanan dan keamanan berlingkup global.
Dalam Special Adress yang disampaikan dalam forum yang diselenggarakan pada Juni 2024 lalu, Prabowo Subianto yang kala itu masih menjabat Menteri Pertahanan, menyoroti peran Indonesia dalam menjaga stabilitas dan keamanan Asia Tenggara serta kontribusi Indonesia dalam upaya kolaboratif untuk menangani isu-isu keamanan global. Kehadiran Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dalam forum ini harus kita nilai cukup positif, karena hal itu menunjukkan komitmen Indonesia terhadap kerja sama internasional di bidang keamanan, namun juga memeperkuat posisi Indonesia sebagai salah satu negara yang aktif berkontribusi menciptakan perdamaian dan stabilitas regional maupun global.
Menariknya, yang menjabat menteri pertahanan dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto saat ini, adalah Letnan Jenderal (Purn) Sjafrie Sjamsoedin, yang saat Menteri Pertahanan Prabowo menghadiri Forum Shangri-La Dialogue pada Juni 2024 lalu, masih menjabat sebagai Asisten Khusus Menteri Pertahanan Bidang Manajemen Pertahanan. Dengan demikian, arah kebijakan strategis pertahanan-keamanan di era Prabowo Subianto saat ini, kiranya masih tetap tidak berubah. Yaitu masih tetap berpegan pada azas Politik Luar Negeri Bebas-Aktif dan Non-blok, di tengah tarik-menarik persaingan global yang kian memanas di Asia Pasifik antara AS versus Cina.
Dalam pertemuan pada Mei 2025 mendatang, Forum Shangri-La Dialogue akan mengangkat tema, Managing Proliferation Risk in Asia-Pacific. Merespons tema tersebut, Indonesia sebaiknya waspada dan berhati-hati. Sebab frase yang digunakan dengan menekankan pentingnya Mengelola atau Menangani Proliferation Risk, maka sulit disangkal bahwa Proliferation Risk atau Penyebaran dan perluasan resiko yang tentunya yang dimaksud adalah untuk menghadapi ancaman bahaya dari Cina di Asia Pasifik. Jelas lah sudah bahwa melalui tema ini, AS dan sekutu-sekutu strategisnya seperti Inggris dan Australia, sedang melancarkan propaganda dan penggalangan kekuatan dari negara-negara Asia Pasifik untuk menghadapi meluasnya pengaruh Cina di Asia Pasifik.
Sikap Indonesia, sampai sejauh ini, masih tetap berpedoman pada komitmen Gerakan Nonblok yang menolak bersekutu ke salah satu blok, dan masih berkomitmen pada Politik Luar Negeri Bebas-Aktif. Namun bagaimana dengan negara-negara Asia Pasifik lainnya, utamanya negara-negara mitra kita dari ASEAN?
Agar Indonesia dan negara-negara ASEAN tetap waspada dan hati-hati, ada baiknya kita kilas balik Shangri-La Dialogue pada 2019 di Singapura. Tepatnya, pada Tepatnya pada 1 Juni 2019 lalu, pejabat sementara Menteri Pertahanan (Acting Secretary of Defense) Patrick Shanahan, berbicara di depan forum Shangri-La Dialog dengan mengambil tema: The US Vision for Indo-Pacific Security.
Dalam forum Shangri-La pada 2019 tersebut, juga hadir beberapa menteri pertahanan dari Inggris, Jerman, Australia, Filipina, Malaysia, Cina, Jepang, Kanada, serta pejabat sementara menteri pertahanan AS kala itu yang hadir adalah Patrick Shanahan.
Waktu itu, ada sesuatu yang berlangsung di luar forum resmi yang menggambarkan atmosfer dan semangat sesungguhnya dari forum Shangri-La Dialogue. Forum tersebut ternyata sangat diwarnai oleh persaingan global AS versus Cina di Asia-Pasifik yang sudah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir.
Baca: 2019 Shangri-La Dialogue: US-China Divide Lingers Amid Asia’s Anxiety
Yang terlihat mencuat dari forum ini adalah upaya pemerintah AS, seperti tercermin pada presentasinya di depan peserta forum, untuk menjabarkan dua dokumen strategisnya yaitu: the National Security Strategy dan the National Defense Strategy. Sehingga memicu kekhawatiran beberapa kalangan para pemangku kepentingan (stakeholders) kebijakan pertahanan tentang potensi memanasnya kembali kawasan Asia-Pasifik sebagaimana di era Perang Dingin pada abad 20.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, seringkali forum semacam Shangri-La Dialog tersebut, bukan sekadar jadi ajang untuk menyampaikan berbagai gagasan secara terbuka, tapi juga seringkali digunakan sebagai pertemuan informal di sela-sela pertemuan resmi, untuk menggelar hidden agenda alias agenda tersembunyi.
Salah satunya, adalah pertemuan informal antara pejabat sementara Menteri Pertahanan AS Patrick Shanahan dengan Menteri Pertahanan Thailand Prawit Wongsuwan pada 1 Juni lalu. Dalam pertemuan informal tersebut, terbetik informasi bahwa pejabat sementara Menteri Pertahanan Shanahan menawarkan bantuan di berbagai bidang kepada Thailand. Dan sebagai imbalannya, Thailand bersedia menyediakan sebuah pangkalan militer baru di Thailand.
Sebagai imbalan atas bantuan ekonomi maupun bidang-bidang strategis lainnya, Thailand diharapkan menyetujui permintaan AS untuk penempatan sistem pertahanan udara atau anti-rudal di Thailand.
Tentu saja informasi semacam ini sangat mengkhawatirkan bagi kawasan Asia Tenggara, karena bisa menciptakan instabilitas dan ancaman bagi kawasan Asia Tenggara. Sehingga pada perkembangannya akan menyeret negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, untuk terlibat dalam persaingan global AS versus Cina di kawasan Asia Tengara khususnya, dan Asia-Pasifik pada umumnya.
Bahkan pada Shangri-La Dialogue ke-11 pada 2012 lalu, dua pejabat yang paling bertanggungjawab atas mesin militer global AS, Menteri Pertahanan Leon Panetta dan Kepala Staf Gabungan Jendral Martin Dempsey, mengunjungi markas komando Pasifik di Hawaii dalam lawatannya ke sejumlah negara di Asia-Pasifik dan secara resmi memulai upaya pergeseran pemusatan militer AS dan asetnya di kawasan Asia Pasifik.
Isyarat tersebut semakin jelas ketika setelah menghadiri forum tahunan di bidang pertahanan Shangri-La Dialogue ke 11, Panetta dan Dempsey bertemu dengan 26 negara Asia-Pasifik, keduanya kemudian meneruskan perjalanan terpisah. Panetta ke Vietnam dan India, sekutu militer AS yang paling signifikan di Asia pasca Perang Dingin, dan Dempsey bertolak ke Filipina dan Thailand, yang sejatinya merupakan dua sekutu militer lama AS.
Maka itu, Indonesia yang dalam forum Shangri-La Dialogue pada Mei 2025 nanti akan hadir dan mempresentasikan pandangannya yang bertema Managing Proliferation Risk in Asia-Pacific, kiranya sudah cukup beralasan untuk semakin meningkatkan kewaspadaannya agar tidak terpancing masuk dalam skema penggalangan kekuatan anti-Cina yang dimotori oleh AS-NATO dalam Kerangka Strategi Indo-Pasifik AS.
Hendrajit, Pengkaji Gopoolitik, Global Future Institute (GFI)