Yuk Cermati Kebijakan Biden Usai Resmi Menjadi Presiden AS ke-46

Bagikan artikel ini

Setelah resmi menjabat sebagai presiden AS ke-46, Joe Biden membuat langkah nyata dengan menarapkan kebijakan luar negeri AS secara matang dan terencana. Salah satunya adalah kembali memperkuat NATO yang dinilainya merupakan “jantung keamanan nasional AS.”

Kebijakan Biden tersebut secara terang-terangan dimuat dalam majalah Forein Affairs dan menjadi dasar platform 2020 yang mendapat persetujuan dari Partai Demokrat pada Agustus Silam. Program kebijakan Biden itu bertajuk “Mengapa Amerika Harus Memimpin Lagi / Menyelamatkan Kebijakan Luar Negeri AS Setelah Trump.”

Mari kita cermati beberapa butir kebijakan tersebut. Pertama, Biden selama ini menilai Trump, selama berada di Gedung Putih, cenderung meremehkan dan mengesampingkan sekutu dan mitra-mitra AS selama ini. Atas dasar inilah, Biden berjanji akan “segera mengambil langkah untuk memperbarui aliansi Amerika Serikat, dan memastikan bahwa Amerika, sekali lagi, memimpin dunia.”

Langkah pertama adalah memperkuat NATO, sebagaimana yang penulis singgung di awal. Untuk tujuan ini, Biden akan membuat “investasi yang diperlukan” bagi AS untuk mempertahankan “kekuatan militer paling kuat di dunia,” dan, pada saat yang sama, akan memastikan adanya peningkatan pengeluaran pertahanan NATO. Langkah Biden ini sejatinya adalah kelanjutan dari komitmennya yang sudah diinisiasi sejak pemerintahan Obama-Biden pada tahun 2009 hingga 2017 silam.

Kedua, Biden akan menginisiasi pelaksanaan “KTT Global untuk Demokrasi” di tahun pertama masa kepresidenannya dan akan dihadiri oleh “negara-negara dunia bebas dan organisasi masyarakat sipil dari seluruh dunia di garis depan membela demokrasi. ” KTT akan memutuskan “tindakan kolektif melawan ancaman global”. Pertama-tama, untuk “melawan agresi Rusia, menjaga kemampuan militer Aliansi tetap tajam dan memberikan beban kerugian nyata pada Rusia atas pelanggarannya terhadap norma-norma internasional;”. Selain itu melalui KTT tersebut, akan dibentuk “front persatuan demi menghadapi perilaku kasar dan pelanggaran hak asasi manusia oleh China, yang memperluas jangkauan globalnya.”

Komitmen Biden untuk menjadikan AS “great again” sebagaimana era Trump sepertinya akan menempuh jalan lain dengan, terutama, menunjukkan postur pertahanan militernya. Jargon AS sebagai polisi dunia, menjadi daya tawar utama bagi marwah dan wibawa AS di mata dunia internasional. Karena itu, Biden akan memastikan AS kembali untuk “memainkan peran utama dalam menulis peraturan, seperti yang terjadi selama 70 tahun di bawah presiden Demokrat dan Republik, sampai era Trump.”

Langkah Biden ini adalah garis utama dari program kebijakan luar negeri yang menjadi komitmen pemerintahan Biden untuk dilaksanakan. Menariknya, program ini – disusun dengan melibatkan dari 2.000 penasihat kebijakan luar negeri dan keamanan nasional, yang diorganisir ke dalam 20 kelompok kerja – bukan hanya program Biden dan Partai Demokrat. Ini sebenarnya adalah ekspresi partai transversal, yang keberadaannya ditunjukkan oleh fakta bahwa keputusan kebijakan luar negeri yang fundamental, terutama yang berkaitan dengan perang, diambil oleh Amerika Serikat secara bipartisan.

Atas dasar itulah, sebagaimana dikatakan Manlio Dinucci, sosok Biden seolah mewakili kelompok kepentingan yang melintasi batas-batas partai. Lihat saja bagaimana dukungan untuk Biden pada pemungutan suara pilpres yang baru usai berasal dari lebih 130 pejabat senior Republik (beberapa pensiunan dan beberapa masih aktif).

Di antara para pejabat ini ada John Negroponte, yang ditunjuk oleh Presiden George W. Bush pada 2004-2007, duta besar untuk Irak (tugasnya menekan perlawanan), kemudian direktur Dinas Rahasia AS.

Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa Biden dari Demokrat, yang saat itu menjadi ketua Komite Urusan Luar Negeri Senat, mendukung keputusan Presiden Bush dari Partai Republik pada tahun 2001 untuk menyerang dan menyerbu Afghanistan, dan pada tahun 2002 mempromosikan resolusi bipartisan dari 77 senator yang memberi wewenang kepada Presiden Bush untuk menyerang dan menyerbu Irak. dengan tuduhan (kemudian terbukti salah) bahwa ia memiliki senjata pemusnah massal.

Juga, selama pemerintahan Bush, ketika pasukan AS gagal mengendalikan Irak, di Senat, Joe Biden mengesahkan sebuah rencana tentang “desentralisasi Irak menjadi tiga wilayah otonom – Kurdi, Sunni dan Syiah” pada tahun 2007.

Demikian pula, ketika Joe Biden menjadi wakil presiden pemerintahan Obama untuk dua periode, Partai Republik mendukung keputusan demokratis tentang perang di Libya, operasi di Suriah, dan konfrontasi baru dengan Rusia.

Partai transversal, yang tidak muncul dalam jajak pendapat, terus bekerja agar “Amerika, sekali lagi, memimpin dunia”. Dengan demikian patut kita cermati bersama apakah langkah Biden ini akan menjadi kenyataan?

Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com