Analisis Strukturalisme Versus Eksistensialisme: Menyoal Kebenaran Perang Asimetris, Proxy War dalam Teori Konspirasi

Bagikan artikel ini

Sementara ciri eksistensialisme pecaya bahwa manusia itu kongkrit, bebas, individual dan unik dan tidak ada “roh absolut” yang mengontrol keberadaannya sebagaimana yang diproposisikan oleh Hegel dan Marx dengan teori strukturalnya yaitu petarungan antar kelas dan teori struktural Psikoanalisis Freud tentang stuktur yang menentukan tingkah laku manusia. Aliran ini dimotori oleh Kierkkegaard, Sartre, dan Nietzche.

Teori konspirasi yang mengasilkan beragam konsep perang seperti asymmetric war, proxy war, currency war dan seterusnya, merupakan beberapa contoh corak pemikiran yang lahir dari rahim strukturaslisme. Teori struktralsime meyakini bahwa bahwa setiap fenomena yang terjadi dalam sosial masyakat itu dilatarbelakanigi oleh sebuah konspirasi yang tak tampak atau “invisible hand”, Chomsky menyebut itu sebagai “deep stucture” sedangkan Barthes menyebutnya sebagai “aras kedua”.

Konflik yang berkembang di Indonesia maupun di dunia selalu dikaitkan dengan sebuah konspirasi dengan analisisi skemata-skemata yang rapi. Dari skemata-skemata itulah terlihat bagaiman latar sebuah konflik itu dapat didedah dan diteroka dan hal itu sah sah saja karena hal itu menunjukkan dinamika sebuah keilmuan.

Saya pribadi sebagai penikmat beragam pemikiran filsafat percaya setegahnya terhadap teori konspirasi yang bercorak strukturalis, objektifistik dan positivistik dan setengahnya lainya saya percaya dengan eksitensialisme, bahwa keberadaan sesuatu itu, apakah itu konflik sosial politik yang kahir-akhir ini terjadi dalam masyarkat adalah tak bermotif, ia bebas berkehendak atas dirinya sendiri.

Sebagian fenomena konflik yang saat ini berkembang dalam pandangan saya tidak sepenuhnya terkait dengan latar apapun, karena menurut saya konflik itu bebas mengelinding tak bermotif dan berdiri sendiri. Itulah ciri eksistensialisme yang oleh filsuf Austria Feyerabend disebut sebagai “against theory” atau istilah lainnya sebagai ‘anakhisme epistimologis”.

Namun begitu saya sangat menghargai beberapa kajian teori konspirasi yang dipaparkan oleh M Arief Pranoto maupun mas Hendrajit New akhir-akhir ini dalam beberapa karyanya. Karena itulah sejatinya dinamika berpikir manusia yang bersifat heterogen dan saling mengisi.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com