Artificial Intelligence Sangat Potensial Dimanfaatkan Untuk Pengembangan Program Laboratorium Bio-Militer

Bagikan artikel ini

Mungkinkah Artificial Intelligence alias Kecerdasan Buatan akan merambah ke aktivitas-aktivitas terkait laboratorium biologi militer seperti NAMRU-2 Amerika Serikat maupun yang sejenisnya? Rasa-rasanya sangat mungkin terjadi mengingat kenyataan bahwa penggunaan Kecerdasan Buatan terus bertumbuh secara eksponensial sehingga dari waktu ke waktu semakin meresap ke dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Tak terkecuali di ranah kegiatan pelbagai riset di bidang biologi kemiliteran yang dalam beberapa pengkajian terdahulu, telah berhasil menciptan senjata biologis dan senjata pemusnah massal dengan menggunakan virus.

Menarik pengamatan Tamim Ansary dalam bukunya yang bertajuk The Invention of Yesterday. Selagi menyorot mengenai semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan digital dewasa ini, Tamim Ansari Menulis:

“Pada 2018, para ahli nanoteknologi-insinyur spesialis benda-benda amat kecil-sudah hampir bisa membuat gawai seperti komputer yang cukup kecil untuk disuntikkan ke tubuh manusia, Barangkali waktu anda membaca ini mereka sudah berhasil, lalu beralih ke hal lain. Yang jelas, pada 2018, rangkaian dapat ditumbuhkan secara organic karena beberapa enzim ternyata punya sifat semi konduktor mirip silicon. Para ahli nanoteknologi dapat membuat bakteri melakukan fungsi seperti komputer. Komputer jadi makin mirip DNA-dan sebaliknya, karena para ahli nano-bio-teknologi juga sedang menyempurnakan kemampuan ‘menyunting gen’. 

AI Command of the military forces on the tablet computer with augmented reality. Internet, Programming control with artificial intelligence, online coordination of the military team

Setelah menyimak secara seksama Tamim Ansary yang dalam The Invention of Yesterday banyak mengupas perkembangan bangkit, berkembang dan runtuhnya beberapa peradaban dunia, maka kiranya sangatlah mungkin jika lewat Artificial Intelligence atau Kecerdasan Buatan, pada perkembangannya juga akan merambah ke bidang militer, baik terkait persennjataan militer konvensional maupun nonkonvensional termasuk senjata biologis dengan menggunakan virus-virus mematikan.

Dengan kata lain, pendayagunaan Kecerdasan Buatan untuk digunakan dalam bidang pertahanan dan militer, sangatlah potensial meskipun saat ini masih pada taraf dini.

Baca Sebagai bahan perbandingan: Penggunaan kecerdasan buatan dalam konteks militer: pengembangan skala sikap terhadap AI dalam pertahanan (AAID)

Namun meskipun penelitian dan riset seputar potensi penggunaan Artificial Intelligence bidang pertahanan dan militer masih pada tahap awal, namun hal ini sudah cukup beralasan bagi berbagai komponen bangsa yang menaruh perhatian terhadap adanya potensi ancaman nir-militer yang berasal dari negara-negara adikuasa yang mendayagunakan Soft Power alih-alih Hardpower (militer), untuk semakin meningkatkan kewaspadaaan seraya menyusun strategi pertahanan untuk menangkal potensi ancaman nir-militer semacam itu.

Sebab seperti diwartakan oleh Tamim Ansary saat masih dalam proses penulisan bukunya sekitar 2016 hingga saat terbit kali pertama pada 2019, para insinyur medis di University of Arizona sedang menggarap komputer biologis sebesar bakteri yang mereka harap bisa disuntikkan ke aliran darah manusia untuk memburu sel kanker.

Bahkan jika proyek tersebut berhasil, tulis Ansary, mereka bisa menggunakan teknologi yang sama untuk memperbaiki cacat genetis di dalam rahim. Dan komputer biologis yang berintekraksi dengan sel-sel  bisa mengubah bahan bakar biologis-yang dihasilkan tubuh kita dari makanan yang kita makan—menjadi listrik yang cukup untuk menjalankan organ buatan dalam tubuh.

Melalui cerita tersebut, Tamim Ansary sebenarnya sedang mengingatkan kita semua ihwal “pisau bermata dua” seturut semakin pesatnya perkembangan Artificial Intelligence yang didukung sepenuhnya oleh teknologi digital. Bahwa selain bisa membawa kemanfaatan bagi umat manusia, namun pada saat yang sama  bisa membawa akibat yang menghancurkan bagi umat manusia, bahkan pada skala yang bersifat massif.

Adapun Analis Pertahanan Negara Kementerian Pertahanan Republik Indonesia,  Gede Priana Dwipratama, S.E., M.M, juga memandang potensi ancaman dari Kecerdasan Buatan di sektor pertahanan khususnya subsktor industri pertahanan. Gede Priana Dwipratama dalam sebuah artikelnya bertajuk

IMPLIKASI KECERDASAN BUATAN DALAM INDUSTRI PERTAHANAN : TANTANGAN DAN PELUANG BAGI INDONESIA 

Menulis: Perkembangan teknologi akibat hadirnya Revolusi Industri 4.0 telah meningkatkan penggunaan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) dalam berbagai sektor termasuk sektor pertahanan subsektor Industri Pertahanan. Para ahli dan akademisi telah lama memprediksi bahwa kecerdasan buatan akan menjadi realita di masa depan. Pemimpin dan tokoh negara-negara besar di dunia juga memberikan pernyataan akan pentingnya pengembangan kecerdasan buatan, dimana muncul anggapan bahwa siapapun yang akan menjadi pemimpin dalam kecerdasan buatan akan dapat mengendalikan dunia. Kecerdasan buatan telah berkembang dengan pesat dalam beberapa tahun terakhir termasuk dalam sektor dual-use (militer dan sipil).” 

AI Command of the military forces on the tablet computer with augmented reality. Internet, Programming control with artificial intelligence, online coordination of the military team

Yang lebih menarik lagi, dalam artikelnya  Gede Priana merujuk pada proyeksi yang disampaikan pakar militer Andi Widjajanto. Menurut proyeksi Andi Widjayanto, dalam pemaparan tentang Pertahanan 5.0 (2023) yang diadopsi dari Cohen et.al, Future Warfare 2030, proyeksi perang tahun 2030 dibagi menjadi beberapa zonasi.

Proyeksi zonasi perang di wilayah Laut Baltik dan Ukraina, Taiwan, Diaoyou/Senkaku dan Laut Natuna Utara dengan perang lintas medan, bayang-bayang penggunaan nuklir, gelar kecerdasan buatan dan gray zone.

Proyeksi zonasi perang dengan penetralan kapasitas unggulan negara revisionis dan serangan konvensional berpusat daya hancur di Wilayah Teluk Persia dan Semenanjung Korea. Proyeksi zonasi terorisme/perang proksi dengan taktik nonkonvensional atau hibrida di Wilayah Afrika Tengah.

Pemaparan Pertahanan 5.0 tersebut juga menjelaskan tentang Tipologi perang tahun 2030 dimana perkembangan dinamika global menghadirkan berbagai tren pada berbagai bidang, salah satunya bidang militer berupa modernisasi persenjataan negara-negara revisionis, peningkatan kapabilitas militer negara kekuatan menengah, kombinasi penggunaan taktik konvensional dan nonkonvensional, berkurangnya dominasi negara dalam penggunaan instrumen kekerasan dan disrupsi kecerdasan buatan.

Disrupsi kecerdasan buatan, menurut Andi Wdjajanto,   sudah barang tentu dapat mengakibatkan peningkatan kompleksitas perang di masa depan. Nampak jelas bahwa baik Gede Priana maupun Andi Widjajanto sepakat bahwa potensi penggunaan Kecerdasan Buatan dalam bidang militer dan pertahanan, pada perkembangannya bisa membuka berbagai kemungkinan baru yang tak terduga dan hal-hal yang tidak diketahui sebelumnya.

Maka itu sangat tepat seruan Gede Priana agar Indonesia khususnya sektor pertahanan subsektor Industri Pertahanan baik BUMN dan BUMS diharapkan dapat mempersiapkan diri dengan turut membangun dan mengembangkan sistem persenjataan otonom sebagai salah satu upaya agar Industri Pertahanan nasional dapat maju, kuat, mandiri dan berdaya saing.

Sekaligus sebagai langkah antisipasi Indonesia dalam menghadapi situasi lingkungan strategis yang terus berkembang ke depannya dan demi melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia dari kemungkinan penggunaan senjata sistem otonom penuh dan mematikan baik oleh state maupun non-state actor.

Peran pemerintah negara-negara maju baik AS maupun Eropa Barat dalam penelitian, pengembangan dan rekayasa melalui perencanaan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), memang sama sekali bukan omong kosong. Termasuk di sektor industri pertahanan dan militer, yang mana sudah tentu termasuk pengembangan laboratorium-laboratorium bidang biologi-militer, sebagai salah satu perangkat pendukungnya yang paling penting. Seperti dari jenis info, bio, nano, info-technology,

Yang harus diwaspadai dan diantisipasi adalah ketika pemerintah AS yang biasanya berkolaborasi dengan sekutu-sekutu strategisnya yang tergabung dalam NATO, mengembangkan program yang mengaitkan perencanaan pengembangan IPTEK dengan upaya untuk membangun dan melestarikan Supremasi Militer sebagai bagian dari Skema Military Industrial Complex (MIC).

Dalam konteks seperti tersebut tadi, maka kolaborasi antara pemerintah dan pebisnis swasta yang bergerak dalam bidang industri pertahanan, akan semakin erat dan solid. Kalau tak mau dikatakan saling tumpeng-tindih satu sama lain. Menyadari fakta bahwa aktivitas-aktivitas laboratorium biologi-militer AS berada dalam supervise dari Pentagon, maka semakin menguatnya penggunaan Kecerdasan Buatan dalam bidang subsetor industri pertahanan, pada perkembangannya Kecerdasan Buatan juga sangat potensial untuk dimanfaatkan dalam program-program pengembangan laboratorium-laboratorium biologi militer dan pembuatan senjata-senjata biologis (senjata nonkonvensional).

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com