Toas H, pengamat politik dari Galesong Institute, Jakarta
Keberadaan Qanun Aceh nomor 3 tahun 2013 tentang bendera dan lambang Provinsi Aceh sudah bermasalah sebelum disahkan. Karena bertentangan dengan PP nomor 77 tahun 2007 tentang lambang daerah. DPRA dinilai bermain-main dengan isu bendera dan lambang Aceh, walau sejatinya paham akar persoalan.
Dalam penjelasan pasal tersebut ikut disebutkan bahwa atribut yang dilarang itu berupa logo dan bendera bulan sabit yang digunakan oleh separatis di Aceh, logo mambruk dan bintang kejora di Papua serta benang raja di Maluku. “PP itu lebih dulu lahir dari Qanun Bendera produk DPRA. Secara hirarki perundang-undangan saja sudah salah. Aturan lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan lebih tinggi,” terang Safar.
Letak ketidak setujuan pihak Jakarta di sana, karena produk Qanun itu bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi serta menyalahi UU Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. “Hirarki Undang-undang sesuai pasal 7 adalah: UUD1945, Tap MPR, UU, PP penggantian UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Perda Propinsi, Perda kabupaten/ Kota,” ujar Safar.
Safar berharap DPRA, khususnya Fraksi PA tidak lagi menjual isu penolakan bendera bulan bintang oleh Jakarta Sebagai bahan kampanye. Karena kalau serius ingin Menetapkan bulan bintang sebagai bendera provinsi, maka harus ada pihak yang menggugat PP 77 ke Mahkamah Konstitusi. “Masyarakat juga harus melek hukum. Jangan terus-terusan ditipu oleh politisi,” imbuhnya.(www.acehtrend.co)
Tidak Perlu Serius
Adanya pihak-pihak yang menyuruh masyarakat Aceh untuk mengibarkan bendera dan lambang Aceh dengan harapan bahwa perjuangan qanun bendera Aceh merupakan tuntutan seluruh masyarakat Aceh sebenarnya hanya menunjukkan mereka adalah korban politisasi pihak pihak tertentu, sehingga tindakan mengibarkan bendera Aceh tersebut hanya membuang-buang energi saja karena itu tidak perlu diseriusi, seperti kata pepatah : “Anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”, sebab masih banyak yang lebih penting untuk diperjuangkan oleh pemerintah dan rakyat Aceh, seperti menjaga perdamaian, memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat Aceh, pendidikan dan lapangan pekerjaan serta mengikis semangat separatisme yang masih tumbuh di kelompok tertentu, separatisme ini tidak layak diperjuangkan karena pemerintah pusat sudah memperhatikan Aceh jauh lebih baik.
Menurut saya pendapat Safaruddin, SH, Direktur YARA alias Safar adalah benar, sehingga pengamat seperti Safar ini yang perlu didukung karena mengajak rakyat Aceh menuju kepada perubahan yang lebih baik dan tidak perlu lagi untuk menuntut Qanun bendera Aceh dan hal lainnya ini karena sejak dibuat sudah bermasalah, sehingga inkonstitusional, karena berdasarkan pasal 6 ayat (4) PP 77 menyebutkan: desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo atau bendera organisasi /perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam negara kesatuan Republik Indonesia.
Masalah Qanun bendera Aceh menurut penulis tetap akan digunakan oleh kelompok kepentingan tertentu di Aceh sebagai salah satu isu kampanye dalam Pilkada 2017, walaupun sebenarnya menyuarakan masalah Qanun ini diperkirakan tidak akan laku dijual karena bukan masalah yang strategis untuk diperjuangkan di Aceh. Bahkan Qanun ini jika salah dalam pengelolaannya dapat merusak komunikasi politik antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Pusat.
Tidak hanya itu saja, masalah Qanun ini secara politis dapat diterjemahkan sebagai salah satu pengalihan isu atas kurang berkembangnya pembangunan SDM, reformasi birokrasi maupun pembangunan fisik yang selama 10 tahun terakhir, manajemen pemerintahan di Aceh dipegang oleh Partai Aceh karena pada 2009 perolehan suara PA mencapai 1.007.173 suara (47%), sehingga mampu mendominasi DPRA dengan 33 kursi dari 69 kursi yang tersedia dalam parlemen tingkat DPRA. Sedangkan, pada Pileg dua tahun lalu, Partai Aceh hanya mampu memperoleh 29 kursi dari 81 kursi DPRA.
Karena itu masyarakat Aceh agar lebih berhati-hati atas provokasi atau himbauan yang akan memperjuangkan qanun dan bendera Aceh, karena hal ini akan menumbuhkan kembali bibit-bibit rasa permusuhan pada Jakarta dan kondisi ini menciptakan suasana yang tidak kondusif ibarat “bara dalam sekam” yang suatu saat akan menjadi api.
Sudah saatnya masyarakat Aceh untuk menyingsingkan lengan baju bersama pemerintah provinsi dan kabupaten bergandengan tangan dalam membangun daerahnya yang telah lama “tertidur” sehingga kesejahteraan masyarakat meningkat dengan pembangunan infrastruktur yang sedang digalakkan Presiden Jokowi, dengan pemberdayaan ini masyarakat merasa dilibatkan dan tanggung jawab untuk kemajuan daerah masing-masing dan pada saatnya nanti memposisikan mereka sejajar dengan daerah-daerah lain di Indonesia.
Facebook Comments