Era Babat Alas 2024-2029 dan Tujuh Prakiraan Kegaduhan

Bagikan artikel ini
Babat Alas berasal dari dua kata bahasa Jawa: “Babat dan Alas”. Babat artinya tebas/menebas, menumpas, membersihkan dan lain-lain. Arti Alas itu hutan atau rimba. Singkat kata, makna Babat Alas itu menebas, menumpas, dan membersihkan hutan.
Ungkapan ‘Babat Alas’ kerap dipakai orang untuk menggambarkan entitas tertentu yang memulai usaha baru. Atau, segala usaha yang dimulai dari nol. Dengan kata lain, semua upaya untuk mencari pola dan model keberhasilan demi masa depan mulai dari hal-hal terbawah alias titik nol. Dalam bahasa lazim, sering kali disebut dengan istilah tata ulang atau rekonstruksi, meski dalam praktik nanti — lebih dahsyat daripada sekedar tata ulang.
Babat Alas bukanlah ‘jalan di tempat’ atau langkah mundur (set back). Secara hakiki, justru merupakan ujud keberlanjutan (sustainable) dengan skala sangat selektif/prioritas setelah melalui tahap kajian secara komprehensif integral. Nah, faktor kajian inilah yang membuat Babat Alas dinilai sebagai ujud keberlanjutan.
Dalam Babat Alas, para pihak bertekad untuk menumpas, dan/atau menebas hal-hal buruk dan kontra produktif di masa lalu, kemudian menggelar akselerasi produktivitas di masa kini demi perubahan masa depan yang lebih baik. Itulah keterangan singkat ungkapan ‘Babat Alas’.
Bahwa Indonesia Emas 2045 bukanlah sekedar jargon, atau visi ‘kaleng-kaleng’ yang dengan mudah bisa dimanipulasi oleh program monumental namun tidak menyentuh pada Kepentingan Nasional RI. Bukan! Ia merupakan penyesuaian visi dan cita-cita para Pendiri Bangsa di era modern sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945.
Hari ini, visi (Indonesia Emas) itu tengah meresap di benak anak bangsa dan alam bawah sadar segenap tumpah darah Indonesia.
Indonesia Emas sebenarnya bukan konsep baru, cuma terminologinya saja yang baru. Ia adalah konsep lama yang kerap menjadi buah tutur leluhur tempo doeloe dengan istilah: “(Indonesia) Mercusuar Dunia”.
Di abad 21 ini, mungkin sudah kodrat Ilahi —wayah e— atas ridho dan rahmat Tuhan YME, restu para leluhur dan syuhada, serta didorongkan oleh keinginan luhur segenap bangsa, Indonesia bakal menjadi Mercusuar Dunia 2045. Pas seabad Indonesia Merdeka.
Itulah Nusantara III di abad 21. Konon ini merupakan perulangan Nusantara I abad ke-7 (Sriwijaya), dan Nusantara II di abad ke-14 (Majapahit). History repeats itself. Kejayaan Nusantata terulang serta berulang setiap tujuh abad.
Jika Kejayaan Nusantata terulang setiap tujuh abad, lantas mana ujud Nusantara di abad permulaan dulu?
Menurut Prof Arysio Santos dalam buku Atlantis the Lost Continent Finally Found, dan Stephen Oppenheimer di buku: Eden in the East, Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara. Singkat cerita esensi dua buku di atas menduga, bahwa jejak awal Nusantara adalah Atlantis, benua yang hilang. Ini sekedar intermezzo.
Kembali ke laptop. Perlu disadari bersama oleh segenap anak bangsa, Mercusuar Dunia bukanlah konsep Polisi Dunia yang diklaim sepihak oleh Amerika (AS) atas kiprahnya dalam geopolitik global; tidak pula status adidaya; ataupun superpower yang katanya mampu menjangkau belahan bumi dalam hitungan jam. Bukan. Sekali lagi, “Bukan!”
Mercusuar Dunia itu konsep metageopolitik, dimana poin intinya sebagai ‘penerang jalan’ bagi siapapun entitas dan/atau organisme baik lokal/nasional, regional, maupun entitas global dalam rangka menggapai tujuan secara berperikemanusiaan, berkeadaban alias melalui tata cara beradab, dan berkeadilan. Sudah barang tentu, ini bertolakbelakang dengan pola perilaku geopolitik sebelumnya dimana meraih tujuan dengan segala modus, bahkan dengan tata cara biadab. Mungkin, konsep Indonesia Emas alias Mercusuar Dunia itu seperti praktik ajaran bijak: Memayu Hayuning Bawana, ataupun Rahmatan Lil Alamin dan lain-lain.
Prakiraan terkait judul tulisan ini, bahwa kegaduhan bakal mewarnai Era Babat Alas. Kenapa begitu? Katakanlah, seandainya hutan atau alas —segelintir elit toxic— selaku pihak yang bakal ‘dibabat’ dipastikan melawan dengan sekuat tenaga. Ini keniscayaan. Karena mereka tidak ingin powernya, sumber daya yang dimiliki, atau segala privillege (hak istimewa) yang dinikmati selama ini menjadi berkurang. Apalagi sampai hilang. Maka, kompleksitas kegaduhan nantinya selain multidimensi, juga bersifat struktural dan masif. Mengapa? Kendati jumlahnya sedikit, elit toxic ini sangat powerful, memiliki jaringan luas, punya pengaruh dan pendukung tidak sedikit.
Lantas, prakiraan kegaduhan nanti dari sisi mana?
Pintu kegaduhan tidak hitam putih. Tidak dari pintu sebelah sini, tak pula sisi sana. Ada kegaduhan yang bersifat soft (adu konsep atau pemikiran), misalnya, itu terjadi di gedung-gedung megah. Tetapi, apa hendak dikata, political riot pun tumpah di ruang publik serta di jalan-jalan sebagai konsekuensi ‘api dalam sekam’ yang terpendam sekian lama.
Bahwa kegaduhan dimaksud bersumber dari beberapa sisi. Ibarat lempengan gempa (politik) bergerak. Bisa bergilir satu/per satu, atau serempak dengan intensitas berbeda mengarah ke epicentrum. Titik gempa.
Adapun prakiraan sebagai entry points ialah:
Prakiraan I: Upaya Kembali ke UUD 1945 Naskah Asli
Tak pelak, isu ini semakin mencuat justru usai Prabowo dilantik jadi Presiden RI ke-8 pada 20 Oktober 2024. Mengapa demikian, karena selain narasi dimaksud —kembali ke UUD 1945— tercantum dalam AD/ART Gerindra khususnya Pasal 10 dan 11; beredar jejak digital Prabowo ingin balik ke UUD 1945 dengan teknik adendum; adanya dorongan kuat dari old soldiers dan sesepuh, ulama, kaum nasionalis, golongan intelektual dan lain-lain; termasuk desakan eksternal berlatarbelakang bukti empirik bahwa UUD NRI 1945 hasil empat kali amandemen cenderung menjerumuskan bangsa dan negara ini pada ‘kekacauan sistem’ sebab sudah meninggalkan Pancasila selaku norma hukum tertinggi, juga UUD produk amandemen (1999-2002) telah mengubah wajah Konstitusi Indonesia menjadi liberal lagi kapitalistik.
Kemungkinan bakal tersebar isu santer di publik, “Siapa menolak kembali ke UUD Asli, identik menolak Gerindra dan menentang Prabowo”.
Retorika menggelitik muncul, bagaimana akan meraih Indonesia Emas jika konstitusinya liberal lagi kapitalistik, tidak sesuai dengan tekstur serta karakter bangsa ini?
Prakiraan II: Pemberdayaan Skema MLA
Rencana menarik dana Rp 11 ribu triliun yang diumpetin oleh segelintir kaum toxic di luar negeri —Swiss dan Singapura— melalui Skema MLA (Mutual Legal Assistance) antarnegara sebagai upaya pengembalian aset. Jika program itu sukses, kiranya cukup lumayan membiayai prioritas program seperti makan bergizi gratis, misalnya, menaikkan nominal bansos, memberlakukan kembali subsidi dan seterusnya. Infrastrukturnya pun telah tersedia yakni UU No 5 tahun 2000 tentang Pengesahan Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana Antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss. Ya. Tinggal political will dan tergantung political action dari pihak pemerintah.
Pada tahap ini, dipastikan akan timbul ‘gempa politik’ karena salah satu persyaratan MLA harus menghadirkan para pelaku (tersangka), sedang selama ini mereka dikenal sebagai oligarki ekonomi;
Prakiraan III: Terbitnya UU Perampasan Aset
Seiring diajukannya RUU Perampasan Aset, otomatis isu korupsi yang dulu ‘diendapkan’ oleh rezim masa lalu, mutlak dibuka kembali. Hal ini, bakal ada gempa lagi dalam politik tanah air. Itulah yang dipersepsikan oleh banyak pihak, bahwa kegaduhan nantinya bersifat struktural dan masif, karena disinyalir para mafia (elit toxic) selaku unsur utama dalam tindak korupsi justru memiliki proksi oknum (berseragam) serta elit politik. Negara cq pemerintah tidak boleh kalah melawan mafia manapun. Harus tegas. Tidak boleh hanyut oleh arus kegaduhan antarbeking sebagaimana isu-isu tambang, misalnya, atau mafia impor, isu mafia tanah dan lain-lain, sehingga nantinya justru melupakan hal pokok (merampas aset) yang jumlahnya mencapai ratusan, bahkan ribuan triliun rupiah;
Prakiraan IV: Bangkitnya “Ruh” dan Semangat Kerajaan Nusantara, Kaum Ulama serta Golongan Intelektual
Tak boleh dielak, bahwa raja-raja nusantara dan bangsa-bangsa lama ialah pemilik sah negara ini sebelum NKRI berdiri. Mereka pemilik wilayah (teritori), kekuasaan, rakyat, bahkan yang mempunyai kekayaan (uang/emas) dan secara sukarela disumbangkan kepada Ibu Pertiwi demi tegaknya NKRI. Namun, ketika Indonesia Merdeka, mereka —para raja— justru ditinggal. Demikian juga dengan para ulama dan kaum intelektual yang selama ini sekedar ‘stempel kekuasaan’. Seiring kebangkitan raja-raja nusantara, mereka pun bersatu, bangkit dan bergerak bersama-sama;
Prakiraan V: Pembatalan IKN sebagai Ibukota Negara
Isu ini nantinya selain sexy di dalam negeri, juga bakal menyedot perhatian publik global. Menarik. Terutama beberapa negara yang memiliki hidden agenda atas pemindahan ibu kota ke IKN. Selain pertimbangan infrastruktur yang belum lengkap, diendus banyak pihak bahwa IKN merupakan ‘geostrategi asing’ dalam rangka melemahkan NKRI dari sisi internal secara asimetris. Alasan lain yang tak kalah vital bahwa disinyalir ada upaya dari segelintir elit hendak menjual aset-aset negara di Jakarta kepada pihak swasta dan asing.
Nah, kelima hal di atas merupakan pintu dan prakiraan kegaduhan tapi bersifat soft power. Artinya, tidak ada letusan peluru. Tanpa asap mesiu;
Prakiraan VI: Kerusuhan Massa di Ruang Publik
Yang mutlak diwaspadai justru kegaduhan di luar kelima prakiraan di atas, yaitu prakiraan pintu ke-6. Atas nama ‘api dalam sekam’ yang sudah terpendam sekian lama, berbagai elemen masyarakat turun di jalan-jalan melakukan aksi demonstrasi menuntut rezim sebelumnya agar diadili dengan aneka tuduhan. Banyak isu akan diusung. Hal ini yang perlu antisipasi sejak dari sekarang. Kenapa? Sebab, eskalasi kegaduhan diperkirakan akan lebih dahsyat daripada kerusuhan massa pada Mei 1998 silam;
Prakiraan VII: Kegaduhan di Dunia Maya
Sangking bertubi-tubi serta bersifat kolosal, kegaduhan kelompok nitizen di dunia maya tak bisa diantisipasi secara optimal oleh alat kelengkapan negara yang berwenang. Di- take down satu, muncul lagi sepuluh. Dihapus dua, muncul dan muncul kembali. Bahkan, narasi di dunia maya terutama media sosial menjadi penyulut kegaduhan di dunia nyata. Dua atau tiga kelompok nitizen yang dahulu saling berhadapan, entah kenapa, kini justru bersatu-padu seperti memiliki common enemy. Musuh bersama.
Demikian sekilas gambaran prakiraan keadaan yang bakal muncul di Era Babat Alas (2024-2029).
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com