Membaca Turbelensi dan Perang Proksi di NKRI

Bagikan artikel ini
Prakiraan Singkat Skenario Pasca Pilpres 2024
Dulu. Amandemen UUD 1945 (1999-2002) itu hajatan Barat di bawah kendali Amerika (AS) cq National Democratic Institute (NDI) pimpinan Madane Albright. Sekarang. Setelah 20-an tahun UUD NRI 1945 Produk Amandemen beroperasi yang paling menikmati justru Cina. Inilah kecanggihan smart power-nya Xi Jinping menelikung lewat berbagai program Silk Road atau dikenal Belt and Road Initiative (BRI) yang berbasis panda approuch seperti pemberian utang, misalnya, atau kebijakan Dwi Kewarganegaraan dan lainnya.
Xi Jinping menerapkan lebensraum atau teori ruang (living space) dalam Geopolitik dan Geostrategi BRI-nya terutama menyasar pada hajat hidup orang banyak (kesehatan, digital dan lain-lain) dan program infrastruktur di pelbagai belahan dunia.
Sebenarnya, AS bukan tidak tahu kondisi faktual yang berkembang. Ia sangat memahami. Maka, baik di dunia maya maupun offline ditebar propaganda dan kontra narasi guna menggiring opini seolah-olah pelaku amandemen UUD 1945 ialah Cina. Salah satu contoh, berbaliknya haluan para die hard Jokowi di ujung masa jabatannya merupakan upaya kontra dimaksud. Ya. Geliat kelompok neoliberal (neolib) ini semata-mata untuk menghambat atau mengkanalisasi agar gerakan kembali ke UUD 1945 tidak membesar serta meluas. “Taktik tendangan pisang”. Kenapa demikian, bahwa UUD Produk Amandemen dengan aneka UU/aturan turunannya justru memberi berbagai keuntungan serta kemudahan bagi asing dan swasta mengeksploitasi hajat hidup orang banyak (vide Pasal 33 Ayat 4 UUD NRI 1945). Bahkan, secara ugal-ugalan.
Dalam konteks itu pula, tampilnya beberapa ulama melalui isu negara tanpa partai juga bagian dari kaum neolib menghambat gerak laju isu kembali ke UUD 1945.
Tak boleh dipungkiri. Indonesia hari ini, masih merupakan medan tempur (proxy war) antara AS melawan Cina pada satu sisi, sedang di sisi lain, siapa berani menjamin upaya Cina ataupun kontra narasi AS tidak bakal out of control?
Bisa jadi, bola proksi ini menggelinding liar. Dan sebelum 20 Oktober 2024, tahap Pelantikan Presiden RI, terjadi turbulensi politik dalam bentuk kekacauan (riot). Kenapa demikian, karena keduanya baik AS maupun Cina tidak memiliki metode kontrol terhadap proxy agents masing-masing.
Terlalu banyak isu strategis yang harus ditangani oleh para adidaya di level global, misalnya, konflik Ukraina-Rusia yang tidak kunjung usai; atau, perang Israel Vs Palestina semakin meluas; bangkitnya non-state actors di Timur (Hamas, Hizbullah, Houthi, dan lain-lain); memanasnya situasi di Semenanjung Korea; shock and awe antara Cina Vs Taiwan; atau konflik perbatasan di Laut Cina Selatan yang sampai kini tidak ada akurasi solusi, dan lain-lain.
Mencermati kondisi global yang tanpa kepastian di atas, muncul persepsi umum bahwa turbulensi politik di republik ini niscaya pararel dengan kondisi global. Konflik lokal merupakan bagian dari konflik global. Itu sudah jamak di dunia geopolitik.
Lantas, peristiwa apa yang bakal terjadi atas nama turbulensi politik? Wallahualamn bissawab.
Yang jelas, merujuk berita dari ‘UTARA’ bahwa 2024-2029 merupakan Era Babat Alas bagi bangsa ini menuju Indonesia Emas 2045 alias Indonesia Mercusuar Dunia. Ini harus tertanam kuat di benak segenap anak bangsa dan tumpah darah Indonesia sebagai kekuatan batin di alam bawah sadar.
Hayo, bangkitlah bangsaku!
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com