Serangan 6 Jam di Yogyakarta yang Membuka Mata Dunia

Bagikan artikel ini

Dede Kartika, Mahasiswa FISIP Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila

Saya suka menulis. Menulis apa saja yang terlintas di pikiran. Tidak melulu tentang cinta pastinya. Benar-benar apa saja, bahkan terkadang hal sepele sekalipun saya tulis. Salah satu yang saya suka adalah menulis sejarah. Tidak mudah menuliskannya, karena terlebih dulu saya harus membaca banyak buku dan informasi yang bertebaran untuk kemudian merangkumnya menjadi satu.

Setelah saya menulis, saya berpikir, ah sepertinya belum ada note di Facebook yang berisi ulasan sejarah. Jika, teman-teman sekalian suka membaca, silahkan baca tulisan saya yang belum ada apa-apanya ini. Tidak ada niatan lain, karena inilah salah satu cara saya mencintai Negeri Indonesia. Dengan menceritakan sejarahnya dengan teman-teman, agar kalian mengetahui betapa gagahnya para pahlawan kita mengusir Negeri Belanda yang dengan tak tahu malunya menduduki negara kita tercinta. Oke, mungkin hanya saya yang cinta? baik, kalau begitu negeriku tercinta.

Selamat kembali ke masa lalu ….

Anda masih ingat lirik lagu perjuangan Maju Tak Gentar? Mari lisankan sekali lagi dan hayati maknanya sepenuh hati. Maju tak gentar, membela yang benar. Maju tak gentar, hak kita diserang. Maju serentak, mengusir penyerang. Maju serentak, tentu kita menang.

Ya, lagu perjuangan itu yang akan mengantar kita kembali ke masa 66 tahun silam pada Serangan Umum 1 Maret 1949. Dimana perlawanan spektakuler tengah diperjuangkan segenap jiwa untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sebuah perlawanan besar yang mengantarkan rakyat Indonesia ke pintu kemenangan.

Indonesia, 66 Tahun Silam

Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan resolusi pada 28 Januari 1949 yang menyatakan bahwa Belanda secara de facto harus meninggalkan daerah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, resolusi ini tak digubris Belanda. Mereka bahkan mempropaganda dengan menyebutkan bahwa RI dan TNI telah lumpuh dengan jatuhnya ibukota Yogyakarta beserta beberapa pejuang yang tertawan.

Saat itu, posisi Indonesia berada hampir di ujung tombak. Rakyat menganggap TNI setengah hati melakukan perlawanan terhadap Belanda. Rakyat seolah tak punya lagi pegangan. TNI yang mereka harapkan seolah mati suri, sedangkan keberingasan Belanda semakin menjadi. Bukan sekali dua, pemuda dan anggota keluarga laki-laki ditarik paksa untuk kepentingan Belanda. Jeritan dan tangisan ibu, istri, dan anak menjadi nyanyian pilu yang begitu dinikmati tentara Belanda.

Sementara itu, pertikaian Indonesia-Belanda akan disidangkan kembali oleh Dewan Keamanan PBB pada Maret 1949. Berita tentang sidang tersebut berhasil dimonitor oleh Komandan PHB. WK III Mayor Poerhadi melalui siaran berita All India Radio. Mayor Poerhadi melaporkan apa yang didengarnya kepada Letnan Kolonel Soeharto.

Sri Sultan Hamengkubuwono IX juga sangat rajin mendengarkan siaran radio luar negeri, sehingga mengetahui perkembangan perdebatan masalah pertikaian antara Indonesia dan Belanda di Dewan Keamanan PBB. Soeharto maupun Sri Sultan berpendapat bahwa Sidang Dewan Keamanan PBB merupakan kesempatan sangat baik untuk dimanfaatkan secara optimal, yakni untuk membuktikan bahwa TNI dan RI masih kuat dan mampu melakukan perlawanan.

Para pejuang

Butuh kekuatan besar untuk menghalau propaganda Belanda yang ingin merebut kembali NKRI di bawah kaki mereka. Panglima Besar Sudirman segera membentuk kekuatan yang tak terperikan. Tersebut Letkol. dr. Wiliater Hutagalung yang ditugaskan membentuk jaringan di wilayah Divisi II dan III. Sebagai orang kepercayaan Sudirman, Hutagalung dapat berkomunikasi langsung dengan panglima besar sekaligus menjadi penghubung antara Sudirman dengan Panglima Divisi II, Kolonel Gatot Subroto, dan Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng. Tidak hanya itu, sebagai dokter spesialis paru, ia juga merawat Sudirman yang kala itu menderita penyakit paru-paru.

Hutagalung berpikir tangkas dengan menyusun strategi perang, yang disebutnya dengan serangan spektakuler. Poin utama yang dipegang kukuh ialah meyakinkan dunia internasional terutama Amerika Serikat dan Inggris, bahwa Negara Republik Indonesia masih kuat, ada PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) dan TNI. Untuk meyakinkan dunia internasional, serangan ini harus diketahui UNCI [United Nations Commission for Indonesia] dan wartawan asing untuk disebarluaskan ke seluruh dunia. Kuncinya ialah diperlukan pemuda berseragam TNI yang bisa berbahasa Inggris, Belanda atau Perancis yang bisa tampil meyakinkan. Sudirman menyetujui gagasan tersebut dan menginstruksikan Hutagalung agar mengkoordinasikannya dengan Panglima Divisi II dan III.

Sesuai tugas yang diberikan oleh Panglima Besar Sudirman, Hutagalung menyampaikan gagasan pada rapat Pimpinan Tertinggi Militer dan Sipil di wilayah Gubernur Militer III di markas lereng Gunung Sumbing pada 18 Februari 1949. Hadir Komandan Wehrkreis II, Letkol. Sarbini Martodiharjo, dan pucuk pimpinan pemerintahan sipil, yaitu Gubernur Sipil, Mr. K. R. M. T. Wongsonegoro, Residen Banyumas R. Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking, dan Bupati Sangidi.

Agar dapat diketahui internasional, serangan tersebut perlu mendapat dukungan dari Wakil Kepala Staf Angkatan Perang guna berkoordinasi dengan pemancar radio yang dimiliki oleh Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), Koordinator Pemerintah Pusat, dan Unit Pendidikan Politik Tentara (PEPOLIT) Kementerian Pertahanan. Pemancar radio menjadi bagian penting untuk dapat menyiarkan serangan spektakuler ke penjuru tanah air sesegera mungkin agar diketahui masyarakat internasional.

Serangan spektakuler

Pada 1 Maret 1949, pagi hari serangan besar-besaran serentak dilakukan di seluruh wilayah Divisi III/GM III dimulai dengan fokus serangan Ibukota Yogyakarta, serta pasukan Brigade X yang diperkuat satu Batalyon dari Brigade IX. Pada saat bersamaan, serangan juga dilakukan di wilayah Divisi II/GM II dengan fokus penyerangan kota Solo guna mengikat tentara Belanda dalam pertempuran agar tak dapat mengirimkan bantuan ke Yogyakarta.

Pos komando ditempatkan di desa Muto. Malam hari menjelang serangan umum itu, pasukan telah merayap mendekati kota dan dalam jumlah kecil mulai disusupkan ke dalam kota. Pagi hari pukul 06. 00, sirene dibunyikan menjadi tanda serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota. Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas Malioboro. Sektor Timur dipimpin Ventje Sumual, sektor selatan dan timur dipimpim Mayor Sardjono, sektor utara oleh Mayor Kusno. Sedangkan untuk sektor kota ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki sebagai pimpinan. Suara tembakan memenuhi langit Yogyakarta pagi itu. Suara hingar bingar peluru tembakan tak menciutkan nyali para pejuang. Mereka terus maju tanpa gentar hingga TNI berhasil mendesak tentara Belanda dan menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Tepat pukul 12.00 siang, sebagaimana telah ditentukan semula seluruh pasukkan TNI mundur.

Dampak Internasional Serangan Umum 1 Maret 1949

Kerja keras TNI membuahkan hasil manis. Serangan Umum 1 Maret mampu menguatkan posisi tawar RI di mata internasional sekaligus mempermalukan Belanda yang telah mengklaim bahwa RI sudah lemah. Dalam serangan tersebut Indonesia mengalami banyak kehilangan. Sebanyak 300 prajurit tewas, 53 anggota polisi, dan ratusan rakyat tewas tak dapat dihitung dengan pasti. Menurut majalah Belanda De Wappen Broeder terbitan Maret 1949, korban di pihak Belanda selama bulan Maret 1949 tercatat 200 orang tewas dan luka-luka.

TNI telah kembali mendapatkan kepercayaan rakyat. Panglima Besar Sudirman secara langsung menyaksikan bendera Belanda yang diturunkan untuk digantikan dengan bendera merah putih Indonesia. Gaung kemerdekaan kembali terdengar. Dalam pidato singkatnya, Sudirman berpesan Anak-anakku teruskan perjuangan, korban sudah banyak berjatuhan.

66 tahun sudah bangsa Indonesia melewati masa kritis. Namun, bukan berarti perjuangan telah terhenti. Seperti pesan Sudirman, bangsa Indonesia harus tetap meneruskan perjuangan. Merdeka!

**Tulisan ini dimuat di Tabloid Nusantara edisi 004, tanggal 9-23 Maret 2015, dengan judul asli “Dahsyatnya Serangan Umum 1 Maret 1949”.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com