Rijal Mumazziq Z, Direktur Penerbit Imtiyaz Surabaya
Buku paling gres, “Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855)” (Penerbit Kompas: 2014) karya Peter Carey adalah mukhtashar alias ringkasan padat dari “Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855” sebanyak 3 jilid yang juga karya Carey, pria yang hampir 40 tahun meneliti sosok Diponegoro.
Sejarawan Inggris ini menggunakan “matan” berupa otobiografi Pangeran Diponegoro berjudul “Babad Diponegoro” sebagai salah satu sumber otentik.
“Babad Diponegoro”, naskah indah setebal 1.151 halaman yang ditulis selama 9 bulan (Mei 1831-1832) tatkala sang pangeran ini hidup di pengasingan Manado ini telah dinobatkan oleh UNESCO sebagai salah satu Daftar Ingatan Kolektif Dunia (Memory of The World Register). Hanya saja, salinan asli Pegon (Aksara Arab-Melayu) dari Babad Diponegoro di Perpustakaan Nasional nyaris hancur menjadi debu. Kehancuran kolosal juga ditandai dengan dijualnya rumah peninggalan janda Diponegoro, Raden Ayu Retnoningsih, di Jl. Irian 83 Makassar, oleh ahli warisnya ke pengusaha Tionghoa, pada tahun 2000 silam. Sketsa arang Diponegoro yang dibuat oleh pelukis A.J. Bik saat pangeran itu ditahan di Batavia, 1830, yang kemudian disimpan di museum sejarah Jakarta juga hilang digondol pencoleng pada 2006.
Dalam Kata Pengantar buku ini, Carey merasa “gelo” (Kecewa) manakala dia membaca berita di Suara Merdeka, bahwa dalam rangka menyambut mahasiswa baru di Universitas Diponegoro, 2 Oktober 2012, ternyata hanya 9% dari mahasiswa baru di Fakultas Kesehatan Masyarakat di universitas tersebut yang tahu siapa itu Pangeran Diponegoro, dan lebih sedikit lagi yang memahami dengan baik tentang Perang Jawa atau Perang Diponegoro. Masya Allah!
Dengan demikian, ada kemungkinan pula mahasiswa UIN Sunan Ampel dan kampus bernama anggota Walisongo lainnya, maupun Universitas Airlangga, Gajahmada, dan nama kampus yang dinisbatkan kepada tokoh besar, juga tidak mengenal dengan baik perjuangan tokoh yang diabadikan menjadi nama kampusnya.
Jika memang demikian, alangkah mirisnya, tuna sejarah benar-benar melanda. Manakala para pemuda tunasejarah, maka ia hanya bisa mencela tokoh historis, menista tempat bersejarah, dan menganggap kebesaran di masa lalu hanya sebagai dongeng tak berdasar.