Indonesia adalah salah satu negara pengekspor minyak sawit terbesar di dunia dan salah satu pasar ekspor terbesar Indonesia adalah Uni Eropa. Setidaknya nilai eksport minyak sawit Indonesia ke pasar Uni Eropa ditaksir mencapai US$ 4 Miliar, tentu hal ini adalah jumlah yang sangat besar.
Namun baru-baru ini Uni Eropa menerbitkan peraturan baru yang isinya menghentikan impor minyak sawit dari Indonesia, setidaknya terhitung mulai 2021 nanti. Uni Eropa beralasan bahwa minyak sawit adalah bahan yang tidak ramah lingkungan, sehingga Uni Eropa berdalih bahwa mereka akan menjadi agen pembaharuan lingkungan yang sesuai dengan cita-cita Sustainable Development Goals (SDGs).
Uni Eropa bersikeras bahwa minyak sawit harus dibatasi mengingat minyak sawit menghasilkan karbondioksida yang cukup tinggi, maka Uni Eropa juga berdalih bahwa minyak sawit adalah salah satu bahan yang menimbulkan bahaya lingkungan.
Namun langkah sepihak Uni Eropa tentu saja menimbulkan keresahan terhadap pihak Indonesia. Mengingat kenyataan bahwa minyak sawit merupakan penyumbang terbesar terhadap devisa Indonesia. Alhasil, hal ini membuka perselisihan antara Indonesia dengan Uni Eropa. Indonesia mengancam jika Uni Eropa tidak membatalkan kebijakan tersebut, maka Indonesia siap membalas perlakuan serupa dengan cara memboikot produk industri pesawat Airbus.
Indonesia sendiri menyumbang 5,7% pasar Airbus di wilayah Asia Pasifik. Indonesia juga mempertanyakan bagaimana konsistensi dari Sustainable Development Goals (SDGs), karena selain lingkungan, poin utama dari SDGs adalah memberantas kemiskinan, sejalan dengan itu pemerintah Indonesia menilai bahwa ekspor komoditi CPO adalah salah satu cara pemerintah Indonesia dalam memberantas kemiskinan.
Hal tersebut membuat Indonesia benar-benar harus berupaya keras mencegah pemboikotan tersebut, karena bagaimanapun pemerintah Indonesia tetap harus melindungi kepentingan rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945.
Setidaknya ada beberapa upaya yang bisa dilakukan Indonesia dalam mencegah pemboikotan tersebut. Salah satunya dengan melakukan upaya hukum ke World Trade Organization (WTO).
Sebagai badan yang bertindak dalam mengawasi perdagangan dunia, WTO telah menyiapkan beberapa upaya hukum yang dapat ditempuh, sesuai dengan artikel XXII dan XXIII GATT 1994 dan Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU). Negara yang bersengketa boleh mengajukan mediasi terlebih dahulu, jika mediasi gagal maka negara yang bersengketa boleh menggugat ke panel WTO yaitu Dispute Settlement Body (DSB).
Tentu melakukan upaya hukum ke WTO bukanlah perkara sederhana, setidaknya ada beberapa faktor yang bisa mendukung argumentasi Indonesia di panel WTO, guna mendukung hal tersebut.
Indonesia memang sebaiknya memaksimalkan peran politik kawasan, politik kawasan pada lingkup ASEAN tentu saja akan meningkatkan bargaining position Indonesia. Indonesia dapat mengajak Malaysia dan Thailand yang juga sama-sama produsen minyak sawit untuk melakukan sebuah langkah kongkret agar panel WTO bisa mempertimbangkan seberapa pengaruhnya minyak sawit dalam kawasan regional. Indonesia juga bisa memanfaatkan Malaysia yang notabene sebagai negara persemakmuran Inggris, dengan iklim politik yang sedang tidak sehat antara Uni Eropa dengan Inggris terkait BREXIT hal itu tentu bisa membuat Malaysia didukung Inggris dapat ikut serta membantu Indonesia dalam menghadapi diskriminasi non tariff yang dilakukan oleh Uni Eropa.
Meskipun tidak serta-merta berhasil, tentu Indonesia perlu memaksimalkan segala upaya agar nantinya Uni Eropa bisa berpikir lebih jauh tentang kebijakan mereka, hal ini juga menjadi ajang Indonesia unjuk keberanian bahwa Indonesia tidak pernah merasa takut kepada siapapun yang bisa mengganggu kepentingan rakyat Indonesia.
Ramadhani Syahputra, mahasiswa Jurusan Bisnis Law, Universitas Binus, Jakarta.