Saya ingin melihat dua bagian itu sebagai satu bagian yang terintegrasi tidak bisa dipisah-pisahkan. Karena pencegahan dengan penindakan dalam isu terorisme itu adalah bagian yang menyatu dan bisa membuat dampak masing-masing, baik itu terhadap deradikalisasi maupun kontra radikalisasi. Kalau kami lihat di Pemuda Pusat Muhammadiyah, permasalahan utama munculnya permasalahan terorisme, salah satu yang menjadi sorotan penting itu adalah masalah keadilan. Di Indonesia kita menghadapi permasalahan keadilan yang pelik. Keadilan itu tidak hadir dalam konteks terlindung. Keadilan ini kita bisa bicara secara politik, kita juga bisa bicara secara ekonomi. Misalnya bapak-ibu perhatikan kesenjangan ekonomi kita itu makin lebar, di satu sisi yang kaya main kaya, yang miskin makin miskin, seperti lagunya bang Roma Irama.
Jadi, kesenjangan itu luar biasa. Itu adalah sinyal bahwasanya ketidakadilan itu hadir. Bayangkan lebih dari 80% dari kekayaan kita itu dikuasai oleh 10% oleh orang yang kaya. Sedangkan 20% nya lagi itu dikuasai atau dimanfaatkan oleh yang 20%. ini sinyal ketidakadilan di satu sisi.
Inilah yang kemudian menyebakan menjadi salah satu pull factor, faktor pendorong munculnya radikalisasi dalam satu konteks. Nah, maka PR kita untuk mendorong gerakan deradikalisasi salah satunya adalah menghadirkan keadilan. Ini penting sekali.
Saya berikan contoh, kenapa kemudian yang banyak terlibat dalam gerakan radikal itu adalah anak anak muda, dan di sini banyak hadir ibu-ibu yang bisa menyampaikan pesan ke rumah masing-masing. Menyampaikan pesan ini ke keluarga masing-masing. Anak muda, yang hari ini dapat injeksi nilai, seperti yang tadi disampaikan oleh tadi Prof. Irfan, itu diiming-imingi dapat surga, kemudian diiming-imingi dapat kehormatan dan semacamnya. Kenapa kemudian mereka mudah terjerumus dengan iming-iming itu? Sederhana.
Anak muda hari ini kehilangan harapan, Anak muda hari ini itu kehilangan mimpi, Anak muda hari ini itu kehilangan apresiasi. Kehilangan mimpi, harapan dan apresiasi. Dia melihat fenomena Indonesia misalnya ada ketidakadilan di situ, dia melihat fenomena mereka hadir tetapi dianggap tidak hadir, tidak diberikan apresiasi. Mereka mencari kerja misalnya itu sulit. Mereka ingin berkarya kemudian sulit, dan kemudian mereka seolah-olah terutama mereka yang miskin, walaupun dalam banyak kasus yang terlibat dalam terorisme itu adalah sepenuhnya dari keluarga miskin, ada juga salah satu harapannya adalah hilangnya harapan. Seolah-olah mereka tidak bisa mencapainya. Kemudian kehilangan apresiasi, tidak ada apresiasi yang datang dari masyarakat, tidak ada apresiasi yang datang dari keluarga. Keluarga tidak mendorong harapan dan sebagainya. Itu yang mereka alami.
Nah, ketika mereka kehilangan harapan, kehilangan apresiasi, kehilangan mimpi, kemudian datang sekelompok orang yang punya cara berpikir radikalis, dalam konteks tadi yang sudah dijelaskan oleh Prof. Irfan, itu mempengaruhi mereka. Apa yang ditawarkan? Mimpi yang baru? Apa yang ditawarkan? Harapan. Apa yang ditawarkan? Apresiasi. Mereka diberikan harapan. Harapannya itu salah satunya adalah itu tadi, surga dan macam-macam. Harapannya juga adalah akses ekonomi, misalnya mereka-mereka yang terindikasi bergabung dengan ISIS itu punya janji-janji ekonmi seperti itu, walaupun nanti Mas Hendrajit akan bisa menjelaskan ada konspirasi global. Tapi, saya tidak akan masuk ke situ.
Ibu-ibu, di rumah anak-anak kita kehilangan harapan, kemudian datang kelompok lain memberikan harapan, datang kelompok lain memberikan mimpi, maka mereka pun bergabung denga kelompok itu, karena mereka ada harapan, ada mimpi dan ada apresiasi. Ketika mereka dijanjikan ada kehormatan, ada surga, ada apresiasi, ada kepentingan ekonomi si situ mereka bergabung dan jadi komunitas itu.
PR kita tentu kalau kita bicara berkaitan dengan gerakan deradikalisasi, gerakan anti teror maka kita harus masuk kepada menangkal usaha pihak lain itu untuk memberikan harapan, memberikan apresiasi dan memberikan mimpi yang baru terhadap mereka. Kita harus duluan memberikan apresiasi. Kita harus duluan memberikan mimpi. Kita harus duluan memberikan harapan. Anak muda ini butuh mimpi, anak muda ini butuh harapan. Jangankan anak muda, ibu-ibu ini yang setengah tua ini juga mimpi dan harapan. Bapak-bapak yang hampir maghrib begitu, bahkan yang hampir isya saja itu butuh harapan.
Anak-nak kita kehilangan harapan. Maka kami misalnya di Pemuda Muhammadiyah, PR awal kita itu adalah menghadirkan harapan, menghadirkan mimpi, menghadirkan apresiasi kepada anak-anak muda untuk tidak dimasuki oleh kelompok-kelompok tadi. Ini yang harus dilakukan oleh gerakan anti teror. Di sisi lain ada kontra teror atau penindakan, kami termasuk yang mempunyai perspektif seperti yang tadi saya sebutkan, nggak mau memisahkan antara program anti teror dengan kontra teror atau penindakan, deradikalisasi dengan penindakan. Dalam ini kalau negara dilakukan oleh aparatur hukum, yaitu kepolisian kemudian nanti yang diwakili oleh Densus 88 dalam hal penindakan, kemudian dalam hal pencegahan itu dilakukan oleh BNPT.
Bagi kami ini harus satu paket, gagalnya BNPT melakukan pencegahan misalnya gagalnya densus 88 melakukan penindakan itu kesalahan bersama, koreksi bersama ya tentu juga koreksi bersama masyarakat. Jadi koreksi bersama. Saya sebutkan begini, Muhammadiyah, NU dan banyak organisasi Islam yang awalnya itu memang berdiri, kalau Muhamdiyah itu lahir 1912 dan NU 1926, itu lahir memang betul-betul dari rahim NKRI. Bukan NKRI ini yang melahirkan muhammadiyah dan NU. Tapi NU dan Muhammadiyah yang melahirkan NKRI ini, kira-kira begitu. Jadi, nggak mungkin Muhammdiyah dan NU itu mau merusak NKRI ini. Itu sesuatu yang masuk akal. Wong yang melahirkan NKRI ini sampai merumuskan dasar-dasar negara itu tokoh-tokoh Muhamadiyah dan NU. Tokoh Muhamadiyah melalui Ki Bagus Hadikusumo, tokoh NU melalui Wahid Hasyim itu merumuskan pendahuluan di undang-undang dasar, merumuskan kata-kata Ketuhanan Yang Maha Esa, yang waktu itu perdebatannya dengan piagam Jakarta kemudian ada agreement.
Di Muhammadiyah itu kami menyebut Pancasila itu adalah final, itu adalah ahbi wassyahadah. Pancasila itu adalah konsensus, Pancasila itu adalah kesaksian kita sebagai bangsa. Saya pikir sama dengan apa yang dilakukan oleh NU. Jadi kalau kemudian, kami sempat ketika kami melakukan advokasi terhadap Siyono yang ada di Klaten itu, ada yang ngomong, itu kenapa Muhamdiyah kenapa dikendalikan oleh kelompok teroris? Loh, ini cara berpikirnya ndak nalar.
Saya mau sebut begini, kenapa saya ambil kasus itu? Misalnya kasus Siyono, data komnas HAM dalam konteks penindakan itu ada 120 orang yang mati, penindakan dalam konteks out of law, di luar jalur hukum. Ini masalah, ini yang menjadi kritik kami dalam penindakan dalam terorisme. Jadi ada 120 plus Siyono, ini jadi 121. Mereka yang diduga teroris kemudian itu meninggal tanpa ada proses hukum yang jelas. Argumentasi yang selalu dibangun adalah mereka itu berbahaya, nggak mungkin kita berdiskusi masalah hukum dan tindakan macam-macam dengan mereka. Tapi, kalau situasi seperti ini itu justru bukan mengurangi kelompok-kelompok terror, tetapi justru yang terjadi melakukan atau kita sebut deradikalisasi, muncul kelompok-kelompok teror yang baru. Kenapa saya sebut begitu?
Saya berikan contoh kasus Siyono. Siyono ini diangkut oleh densus 88 setelah ia selesai sholat maghrib. Kami di Muhamdiyah ndak tau sama sekali apakah Siyono ini teroris atau bukan. Siyono ini bukan warga Muhammadiyah, bukan kader Muhammadiyah, tapi kemudian istrinya itu datang ke Muhammadiyah mengadu bersama dengan Komnas HAM. Komnas HAM ini negara tapi mengadu ke Muhammadiyah. Kami menganggap wajar saja negara mengadu ke Muhamadiyah. Kan tadi saya sebutkan Muhamadiyah dan NU itu pendiri negara ini. Kalau mengadu ke pemilik saham ya ndak apa apa, kira-kira begitu.
Mengadu Suratmi ini, istrinya Siyono itu minta tolong supaya dicarikan keadilan buat dia. Dalam usaha kenapa suaminya ini mati? kenapa suaminya ini diangkut tiba-tiba kemudian diangkut dalam kondisi tidak bernyawa. Nah tentu Muhammadiyah bantu melakukan advokasi, sejak awal kami ini tidak tahu Siyono ini teroris atau bukan. Bukan itu konteksnya, yang ingin kami pastikan adalah penegakan hukum itu harus dikedepankan. Proses hukum harus didepankan, jadi penindakan terorisme itu harus dalam bahasanya itu justice system, atau di dalam hukum. Kita lihat UU No 15 tahun 2003 itu, tentang terorisme, konteks penindakan itu semuanya harus dilakuakn dalam konteks penegakan hukum. Bukan out of law. Bukan hukum perang yang seperti dilakukan oleh AS, ketika Bush bilang ketika Anda tidak ikut dengan kami, ya Anda teroris, kira-kira begitu. Ketika robohnya gedung WTC itu.
Keluarga ini datang ke Muhammadiyah untuk advokasi supaya tau penyebab kematian suaminya. Coba bapak ibu bayangkan, kalau Muhammadiyah tidak ambil tidak membantu mereka, tidak ada satupun kelompok yang mau membantu mereka. Kalau suami meninggal tapi nggak atau penyebabnya apa, kemudian diangkut oleh suatu kelompok dan kembali menjadi mayat itu pasti marah luar biasa, pasti benci luar biasa, pasti dendam luar biasa. Itu pasti. Bukan cuma ibu, anak ibu, keluarga ibu. Ini yang terjadi pada Suratmi, dia keluarganya, anaknya lima masih kecil-kecil sekali itu pasti punya kebencian luar biasa, dendam yang luar biasa.
Kalau tidak ada satupun insan dari suatu kelompok di negeri ini yang membantu mereka mencari keadilan, apa yang terjadi? Datanglah kelompok lain yang punya perspektif radikal kemudian mempengaruhi mereka, ini negara tidak betul, ini Negara tidak adil, ini Negara togut kita harus lawan kita harus apa. Pasti kalimat itu, yang terjadi apa? negeri ini memproduksi teroris baru. Kenapa? Karena mereka tidak dapat keadilan, karena mereka tidak didampingi secara hokum. Kalau terjadi seperti ini, penindakan terorisme, jadi apa yang dilakukan penindakan di luar jalur hukum itu justru bukan mengurangi teroris tapi malah menambah teroris, malah justru lebih berbahaya.
Coba kondisi Suratmi ini ibu-ibu rasakan, kebenciannya itu sama, apapun mau ibu lakukan, karena suami saya yang saya cintai, kecuali ibu-ibu tidak mencintai suaminya ya, saya tidak tau, itu pasti luar biasa punya dendam, keluarga juga begitu. Kami bekerja pada poros itu. Untuk memastikan anak-anaknya tidak lahir dendam, kebencian. Tapi kemudian kok ada yang menuduh misalnya, kok Muhammadiyah membantu teroris? Kalaupun memang benar mereka itu teroris, kami akan tetap bantu, untuk mencari keadilan. Kenapa? Supaya tidak muncul dendam, kami tidak melihat konteks teroris yang kami lihat adalah keadilan, bukan membela Siyono tapi diksi yang kami gunakan untuk advokasi adalah mencari keadilan untuk Suratmi, untuk keluarganya itu luar biasa tidak memupuk dendam, kebencian. Itu komitmen yang kami buat. Nah yang luar biasanya lagi dari 120 yang berani melakukan perlawananan secara hukum itu kan Suratmi.
Saya sering sebutkan Suratmi ini seperti Suciwati yang berani mencari keadilan terus-menerus. Bayangkan ibu, dia kondisi suaminya meninggal, kemudian ada yang disebut oleh Densus 88 itu uang duka yang kemudian dibuka di Komnas HAM itu nilainya 100 juta. Perempuan ini tidak kalah dengan uang 100 juta. Ini pesan buat kita lagi, jadi saya mau sampaikan begini di tengah carut-marut moral kita dimana akhlak tidak hadir dalam negeri ini. Ada perempuan yang menjunjung tinggi akhlaknya dan berani menolak uang itu. Ini kan pesannya luar biasa.
Pesan penolakan uang itulah yang kemudian proses mencari keadilan terhadap dia kita lakukan. Di tengah banyak tokoh Islam, dan di tengah segala macam, ini ada perempuan yang tidak kalah dengan uang. Jadi, yang merusak negeri ini bukan komunisme, kapitalisme atau isme-isme itu, yang melahirkan radikalisme itu bukan hanya isme-isme itu tapi sebetulnya ketika tokoh, negarawan, Polisi itu kalah dengan uang-uang itu, kalah dengan korupsi dan sebagainya. Ini adalah pesan yang disampaikan ke Indonesia, ada perempuan miskin itu berani menolak uang itu.
Ini terjadinya deradikalisasi dan advokasi kepada mereka agar tidak menyimpan dendam dan melakukan perlawanan itu harus massif dilakukan. Saya pikir BNPT sudah melakukan sebagian dalam konteks beberapa kasus. saya kasih kasus misalnya Imam Samudera, ada anaknya yang kemudian berangkat ke Suriah tapi ada juga saudaranya yang kemudian itu tidak menyimpan dendam, kenapa? Karena didekati oleh kelompok masyarakat lain.
Misalnya kasus Iman Samudera di Serang, itu anaknya meninggal di Suriah, tapi ada adiknya, dia punya perspektif yang berbeda. Dia menyimpan dendam, tapi kemudian didekati oleh ormas Islam seperti Persis, kemudian dibina kemudian dia jadi pekerja sosial. Jadi, ketika ada keluarga yang teroris kemudian kita memberikan stigma yang sama kepada keluarga-keluarga yang lain, itu sama sekali tidak membantu, justru kemudian membuat mereka terasa terasing, terisolasi dari komunitas kemudian mereka akan jadi teroris beneran. Sama dengan perspektif korban pemerkosaan, masyarakat kita ada yang salah dengan menyikapi korban pemerkosaan, mereka korban kok negara juga menghukum mereka. Sama dengan keluarga teror itu, jadi peran masyarakat juga penting untuk supaya tidak muncul dendam dan sebagainya.
Dan berikutnya dalam kasus terorisme yang kami temukan adalah ada potensi perburuan rente dalam kasus-kasus itu, termasuk kasus terakhir yang ditangani oleh Muhammadiyah, kasus Siyono. Ada perburuan rente di balik itu, nanti mas hendrajit bisa bantu jelaskan dalam konteks perspektif global. Jadi ada uang dibalik itu, ada proyek dibalik itu. Nah itu yang kemudian harus kita lawan. Karena korban pertama dari isu teroris ini pasti umat Islam, stigmatisasi dan sebagainya. Maka gerakan-gerakan deradikalisasi memang penting kemudian untuk kita dorong, tetapi hati-jati juga kemudian dengan stigma dengan labelling yang kemudian justru yang memperkuat seolah-olah Indonesia ini basisnya terorisme. Betul terorisme itu berbahaya, betul terorisme itu harus dilawan, tapi tindakan labeling, mendigma itu yang kemudian membuat memperlemah Negara kita sebagai Negara yang berbasis terorisme.
Ada orang yang berkepentingan dengan semakin maraknya kasus terorisme di Indonesia baik untuk ekonomi maupun yang lainnya. Saya berikan contoh, beberapa hari yang lalu saya dengan PPATK berkaitan dengan isu uang aliran terorisme yang diduga teroris. Satu-satunya negara yang tidak mau memblokir mereka yang diduga, orang-orang yang diduga institusi yang diduga terlibat dengan jejaring terorisme itu. PPATK itu tidak mau memblokir aliran dana dan sebagainya. Kenapa? Karena tidak ada landasan hukumnya. Nah, di dunia internasional di pemeringkat, ada namanya lembaga pemeringkat ekonomi, nah Indonesia itu selalu pada poin B-, bahkan C+ dan seterusnya.
Ada beberapa negara yang berkepentingan terhadap pemeringkat-pemeringkat itu, salah satunya dengan isu terorisme. Kalau semakin banyak isu terorisme di Indonesia maka peringkat ekonomi kita, peringkat likuiditas kita itu akan semakin rendah, B-, bahkan C+, yang bagus itu A- atau A+. Nah, ketika kita dapat peringkat buruk, maka investasi ke sini otomatis berkurang, tidak berkepentingan. Siapa yang paling diuntungkan?
Di Negara tetangga, ada yang menyebut begini Negara yang mendanai isu terorisme itu adalah Amerika, Inggris dan sebagainya, nanti cek lagi datanya. Singapura itu paling berkepentingan dengan isu ini, karena ketika investasi kita buruk maka yang paling diuntungkan itu adalah Singapura, yang paling diuntungkan adalah Negara tetangga dan sebagainya.
Jadi ada skema yang luar biasa mungkin dari sisi ekonomi, politik yang dibantu diterjemahkan oleh teman-teman dari Global Future Institute. Jadi kita harus hati-hati dalam konteks terorisme ini jangan sampai kemudian kita terjebak pada stigma labelling dan stigmasisasi.
Terakhir, saya ingin menyampaikan bahwasanya pemberantasan teroris, terutama penindakan itu harus tetap bekerja pada konteks istilahnya criminal justice system, harus bekerja pada ranah hukum, tidak bekerja pada ranah out of law. Dan pencegahan itu harus menyatu dengan program-program penindakan, mungkin itu yang bisa saya sampaikan. (dede kartika/rusman/GC)
*) Paparan Dr. Dahnil Anzar (Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah) pada Seminar Nasional bertajuk: “Membangun Deradikalisasi Eefektif dalam Upaya Menjaga Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” yang diselenggarakan oleh Grahana Casta di Hotel Bidakara, Jakarta, 30 Mei 2016.