Semua orang harus radikal secara holistic, obyektif, sistematik dan universal. Kemudian, proses itu radikalisasi. Tapi radikalisme, di situ mulai mengalami distorsi makna karena dianggap sebagai sebuah paham yang ingin membawa perubahan dengan cepat menggunakan kekerasan dan mengatasnamakan agama dan saya kira tidak ada agama yang mengajarkan umatnya, jemaatnya atau pengikutnya untuk melakukan aksi kekerasan. Nah disinilah perlu kita pahami bersama, bahwasanya radikalisme itu lahir karena banyak sebab.
Jadi, yang kita tangani di Negara kita ini kan ada istilah terorisme, terorisme itu bukan bagian dari BNPT, bagian penyidakan, bagian aparat, sudah banyak bagian yang menangani.
Kemudian BNPT itu menangani bagaimana kita menangani dan meminimalisir konflik yang terjadi di masyarakat atas nama sebuah paham. Terutama yang mengemas dengan bahasa agama, simbol keagamaan seolah-olah itu yang benar. Ciri-ciri teroris sekarang kan tidak ada secara fisik. Kalau 2001, masih ada kebetulan simbolnya seperti itu, tetapi sekarang tinggal dua.
Kalau ada orang yang suka mengkafir-kafirkan dan berbicara jihad secara ekstrem hanya dia yang memonopoli dan menafsirkan simbol-simbol, istilah-istilah hijrah, fai, galima, dan istilah-istilah lain yang ada dalam agama Islam kemudian dimaknai secara terbatas, sesuai dan menurut nafsu birahinya. Nah itu pengkafiran bahkan menghalalkan darahnya orang. Jadi deradikalisasi maknanya bagi kami adalah pembinaan.
Pembinaan itu ada dua, pembinaan kemandirian dan pembinaan kepribadian. Nah, ada pihak yang tidak mengerti program deradikalisasi, lantas menyalahkan program deradikalisasi. Tidak paham, tapi mau ngomong. Nah, kita bersyukur sekarang ada MUI mau bentuk deradikalisasi, teman-teman di Muhammadiyah juga ada deradikalisasi. Deradikalisasi itu sebenarnya program da’wah, pembinaan. Pembinaan kemandirian dan pembinaan kepribadian.
Pembinaan kemandirian adalah bagaimana kita mengajak, khusus di BNPT, mantan-mantan teroris ataupun warga ataupun jaringan ataupun yang terindikasi radikal terorisme, kita kumpulkan dan melakukan pembinaan kemandiriannya yaitu melakukan kewirausahaan. Apa yang ingin mereka lakukan? Padahal seperti sering kita dengar, nyaris orang miskin itu jadi kafir. Nah, kita tidak boleh membiarkan atau menjadi pembiaran, terjadi tempat kosong, kosong pikiran, kosong hati, kosong perut, apalagi kosong nya yang ini, ya sakitnya tuh kan yang di sini.
Kalau terjadi kekosongan-kekosongan itu apa saja bisa terjadi, apalagi kalau orang tidak paham. Jadi, terjadi teroris, karena dia radikal. Dan radikal itu banyak penyebabnya, bukan single factor. Mungkin kemiskinan, mungkin ketidakadilan, mungkin ketergantungan, kebodohan, tapi bukan single factor. Tapi kalau kebodohan, saya kira Dr Azhari apa kekurangannya?
Saya kira banyak faktor yang menyebabkan orang sehingga menjadi radikal, ya kecewa, ketidakadilan dan lain sebagainya,. Tapi, apa dengan melakukan aksi terror itu ketidakadilan itu hilang, kemiskinan itu hilang, kan tidak. Inilah dibutuhkan dan saya kira tepat sekali nawacita pertama bapak presiden kita hadirnya Negara atau Negara hadir, saya kira tidak cukup hanya dengan Negara yang melakukan, kehadiran lembaga-lembaga LSM, masyarakat madani, civil society untuk melakukan program-propgram pemberdayaan masyarakat. saya kira sangat membantu dan kita perlu untuk bersinergi. Kita perlu berkomunikasi, kita perlu berkoordinasi. Memang kata koordinasi terkadang sangat mudah diucapkan tetapi hard to do. Mudah diucapkan tetapi saat kita menjalankan sulitnya bukan main dengan birokrasi yang berbelit-belit.
Jadi, deradikalisasi menurut kami adalah pembinaan. Pembinaan kemandirian dan pembinaan kepribadian. Kemandirian itu adalah bagaimana untuk memiliki usaha agar kita hidup di masyarakat ada kegiatan dan sibuk. Dan kepribadian itu adalah mindset. Di sinilah perlunya kita perpadukan antara bagaimana menjalin keutuhan NKRI. Ada empat kontra yang perlu kita lakukan di dalam menghadapi dan meminimalisir tumbuhnya isme. Untuk menghilangkan radikal saya kira tidak akan bisa. Tetapi bagaimana kita meminimalisir, karena akan selalu ada. Bukan belakangan aksi-aksi teror itu muncul, tetapi sejak manusia diciptakan, sudah ada pergolakan.
Nah, meminimalisir semuanya itu ada 4. Saya kira termasuk kontra ideologi, bagaimana kita perkuat ideologi Pancasila. Empat konsensus dasar berbangsa termasuk keutuhan NKRI, salah satunya itu yang perlu kita besarkan. NKRI, Bhinnneka Tunggal Ika, Pancasila dengan UUD atau konstitusi Negara Indonesia, ini yang perlu kita hidangkan, kita racik setiap saat. Kenapa banyak anak-anak generasi muda, dalam pencarian jati diri mereka mengorbankan segalanya. Berangkat ke Siria melakukan bom bunuh diri karena ideologi yang kita yakini sebagai bangsa yang besar itu tidak terhidang di atas meja sama. Oleh anak-anak kita datang haus dan lapar mencari ideologi berbangsa dan bernegara tidak mereka temukan. Empat konsensus dasar berbangsa hanya terlalu cantik dalam sebuah etalase, tetapi tidak diracik untuk dihidangkan untuk generasi muda kita. Manalagi serangan media yang begitu keras.
Bagaimana upaya media menanamkan kebencian-kebencian, permusuhan kemudian mengatasnamakan agama katanya dakwah, ini taklim, ini tarbiyah, padahal yang dijelek-jelekan adalah orang lain. Seperti itu jadi hate speech, penanaman kebencian. Kontra ideologi. Kalau kita sering membahas isu komunisme, isu ISIS sebenarnya mereka dikasih panggung, yang perlu kita lakukan bagaimana kita membuat ideologi kita dalam berbangsa, bagaimana Pancasila kita bunyikan. Sekarang ini anak-anak kita yang lahir belakangan pasca era reformasi itu, yang disebut Pancasila, yang terbayang orde baru, yang terbayang penataran P4, padahal tidak seperti itu. Tugas kita, saya kira selain Negara, tugas kita adalah bagaimana membumikan nilai-nilai Pancasila, nilai 4 konsensus dasar bangsa berdasarkan kearifan lokal kita masing-masing, karena tidak ada nilai-nilai dalam Pancasila atau dalam 4 konsensus itu yang bertentangan dengan semua agama, dengan 6 agama yang secara konstitusional yang diakui di Negara kita, tidak ada yang bertentangan.
Kemudian yang kedua, kontra narasi. Kita harus memperbanyuak narasi-narasi, tulisan-tulisan, terus penuhi media dengan yang mencerahkan, jangan ikut larut mempropokasi masyarakat. Kan biasa ada prinsip bad news is a good news. Jadi, kalau berita tidak bagus itu bagus kalau dibaca masyarakat. Jadi, media juga sangat besar perannya, dalam membentuk dan mencerahkan masyarakat. Nah, sekarang yang mendominasi narasi-narasi itu adalah buku-buku yang menafsirkan isu-isu yang berdasarkan kemauan kelompok-kelompok radikal untuk membenarkan dan melancarkan legimitasi politik yang memuaskan birahinya, terutama ingin membentuk khilafah global. NKRI ini katanya syirik, dan lain-lain sebagainya. Ini yang kurang, mau melakukan bantahan-bantahan narasi-narasi yang masyarakat bisa baca, dan kan sangat mudah disenangi dan digandrungi oleh masayarakat berita-berita yang sudah sangat propokatif hidupnya, tidak mau mengkonfirmasi. Dan ada juga sebagian media yang itu itu terus yang ditayang, angel angel tertentu.
Jadi, pada Mei tahun 2015 berdasarkan laporan masyarakat dan analisa dari tim BNPT mengajukan, karena kita hanya memiliki kewenangan mengajukan pemblokiran kepada Kominfo, karena hanya Kominfo yang memiliki potensi untuk melakukan itu, mau dia blokir atau tidak ya terserah yang penting sudah kita katakan ada sekian situs yang kontennya, bukan situsnya yang radikal tapi ada konten-kontennya yang seolah-olah orang lain salah semua, hanya dia saja di dalam surga. Dia sebutkan yang dilakukan ini bid’ah, ini neraka, ini sesat, ini kafir, jadi dimana kesejukan beragama itu. Jadi orang mau bersimpati pada sebuah agama akhirnya menjauh, karena dikatakan ternyata sangat seram itu yang namanya agama.
Ada kontra propaganda, kita membangun propaganda yang positif. Jangan yang ditonton anak-anak kita yang di youtube itu, yang anak- anak kumpul latihan senjata, latihan perang, bagaimana mereka mengumpulkan dulu baru dibakar. Itu kan di youtube yang mewarnai propaganda-propaganda yang cenderung kita larut dan tidak membuat, kita tidak punya steady point untuk melawan dan melakukan counter terhadap fenomena-fenomena yang seperti itu, yang membentuk opini masyarakat. Manalagi sudah ada kekurangan-kekurangan yang dilakukan pemerintah ya sudah saatnya, banyak orang-orang kecewa terhadap kebijakan akhirnya mencari angel angel tertentu tanpa melihat nilai-nilai positif yang ada di dalam kebijakan tersebut.
Kemudian, khusus untuk deradikalisasi mungkin nanti saya minta Pak Herwan Chaidir secara umum dari BNPT. Kita sangat bersyukur kalau ada lembaga yang mengundang kami karena kita bisa meperkanalkan bahwasanya ada lembaga Negara yang mengutamakan pencegahan. Ada dua dasar yang disampaikan ketua BNPT, Pak Tito Karnavian yang segera setelah dilantik untuk mengedepankan upaya rehabilitasi dan upaya pencegahan. Mencegah untuk tidak berpengaruh dan merehabilitasi agar jangan kembali menjadi pelaku atau kelompok-kelompok radikal. Jadi, secara internal di Direktorat Deradikaliasi yang kami pimpin, di tahun 2015, bahwa orang yang tidak mengetahui deradikalisasi itu dia harus mengetahui kami berbuat. Untuk dikatakan kami belum maksimal, ya jelas di sana sini masih ada kekurangan. Karena baru 5 tahun, lembaga atau ormas yang usianya saja sudah 70 tahun saja, apalagi kita yang seperti new baby born, yang baru lahir tapi disuruh lari kencang oleh isu radikalisme yang berkembang dan memecah belah persatuan dan persaudaraan serta keutuhan umat di Indonesia, ini sangat mengguncang persaudaraan kita.
Jadi, deradikalisasi yang ada yang kita laksanakan dalam program itu ada dua, pembinaan di dalam masyarakat dan pembinaan di dalam lapas. Di dalam lapas itu kini ada 266 napi teroris yang ditahan di 60 lapas. Nah, ini yang kita lakukan program-program ada 4, di luar lapas juga seperti itu. Di tahun 2015 kami menemukan warga masyarakat yang pernah ditahan, dipenjara dan lain sebagainya itu 527 orang. Tahun ini kita kembangkan terus ke 7 provinsi dengan pendekatan yang soft approach. Pendekatan yang ramah, lunak jadi kami tidak ada acara resmi, tidak ada Indonesia Raya, tidak ada pembukaan tidak ada moderator. Kami silaturahim dari pintu menggandeng tokoh-tokoh agama, akademisi, psikologi agar mereka bisa curhat. Mereka menyampaikan, tidak sedikit dari mereka bahkan di Jawa yang terakhir mnegumpulkan 30 orang itu punya prinsip hidup segan mati tak mau. Kenapa hidup segan? karena tidak punya pekerjaan. Dan kenapa mati tak mau? Karena tak mau lagi jadi pelaku, mereka hanya ikut-ikutan, didoktrin, di cuci otaknya, katanya masuk surge, katanya dijemput bidadari ternyata yang kita tahu bagaimana sebenarnya yang terjadi. Yang terpenting adalah bagaimana kita menjalin komunikasi dalam konteks pertemanan. Jadi konteks understanding dan masing-masing menginterprestasikan, ini yang terjadi dalam masing-masing lembaga merada programya lah yang paling benar. Kami katakan kami tidak mau dianggap berhasil, tapi untuk dikatakan gagal, saya kira juga tidak gagal-gagal amat.
Seorang Umar Patek, bukan yang belakangan yah. Karena ada juga yang mengatakan bahwa radikalisasi tidak jalan, karena lebih seperti ke Pak Nashir Abbas, Ali Fauzi yang kakaknya ditembak dieksekusi mati yang dua orang di Nusakambangan. Itu terjadi sebelum Nusakambangan. Sedangkan program yang kami jalankan di dalam lapas, ada 4, yaitu indentifikasi secara benar, kemudian merehabilitasi, meredukasi dan mesosialisasikan kembali ke masyarakat karena ada juga program asimilasi mereka, mereka kembali ke masyarakat, tidak sedikit. Di Nusakambangan itu sudah diasimilasi. Biar mereka dikasih kunci untuk pulang juga mereka tidak mau, karena mereka sudah menyatu, taubat sudah kita hadirkan keluarganya setiap saat. Jadi program deradikalisasi itu didirikan oleh semua lembaga, BNPT hanya badan hukum koordinasi.
Misalnya kementerian agama, ini perannya sangat besar, bagaimana anak-anak yang orang tuanya di dalam lapas, itu disekolahkan di pesantren-pesantren, oleh kementerian agama dikasih beasiswa. Seperti di NTB adanya 150 yang sering ditahan kemudian Kementerian Koperasi Kecil Menengah mengidentifikasi koperasi-koperasi yang resmi kemudian diberikan suntikan dana, kemudian koperasi itu yang akan membuat mereka sibuk. Karena kalau tidak sibuk ya tinggal di rumah dan nanti jadi lagi dari pada hidup panjang-panjang kita langsung aja potong dan langsung jihad saja. Kalau ini semua masih kosong.
Kemudian dalam pembinaan masyarakat ada identifikais ada kewirausahaan, ada pembinaan keagamaan, pembinaan wawasan kebangsaan. Ini real yang kami lakukan karena ada inspectoral, ada biro perencanaan yang kami lakukan yang kami miliki untuk kita laporkan secara berkala kepada Negara. Hanya sekali lagi orang yang tidak mengerti program deradikalisasi menyatakan gagal, tetapi kami bersyukur kalau ada yang menyatakan gagal.
Dua tiga bulan saat BNPT hadir itu sangat gencar informasi itu, tetapi sebenarnya dia mengangkat, ikut mengangkat program deradikalisasi kalau dia katakan gagal, jadi masyarakat datang bertanya apakah betul program gagal. Yang tidak benar kalau kami disamakan antara Densus dengan BNPT, makin tidak mengerti. Karena kenapa, satu pada penindak satu pada pencegah. Kalau di Densus itu semuanya aparat keamanan, saya sendiri tugas pokok saya adalah mengajar di perguruan tinggi. Saya mendalami dulu S1, S2, S3 bidang Syariat Islam, makanya saya katakan kepada mantan-mantan teroris yang ada di dalam lapas, saya berdialog dengan pendekatan keagamaan, saya mulai dengan konsep syariah. Mereka mau menegakkan syariah tapi tidak paham syariah. Membedakan istilah syariah dengan hukum saja sudah bingung. Dr. Fadlsalah satu pendiri Al Qaidah setelah membaca Asyatiri, konsep Syatiri baru dia tersadar dan meningalkan organisasinya. Karena kenapa? Ada lima hal yang harus ada ketika berbicara syariah, yaitu jiwa, agama, akal, keturunan dan harta.
Jiwa yang pertama, kenapa kita harus menegakan syariat Islam dengan menghukum orang? Itu sesuatu yang bertentangan. Saya kira kalau kelima konsep ini masuk, bisa kita katakan bahwa Indonesia sudah menegakan syariat Islam. Yang tidak perlu kita diskusikan atau kita buka forum adalah formalisasi syariat Islam, karena Negara kita adalah negara hukum bukan Negara agama. Cuma negaranya orang beragama, untuk menyatakan bahwasanya Indonesia itu bukan Negara atheis. Kebebasan beragama. Banyak Negara yang kami kunjungi bersama bapak kepala BNPT yang sangat sangat kafir dengan Indonesia yang meskipun di sana sini ada kekurangan ada letupan-letupan, ada konflik syiah, ahmadiyah, tolikara dan lain-lain sebagainya itulah dinamikanya. Tetapi, kami terus terang rasakan itu justru di Negara kita bangsa kita, teman kita saudara kita mengatakan Negara yang menciptakan teroris atau deradikalisasi gagal.
Saya pernah didatangi 3 media, satu dari Australia, satu dari Abudhabi, satu dari Amerika datang khusus ke Indonesia mengkonfirmasi antara dua pernyataan karena di luar negeri yang beredar adalah Indonesia adalah contoh yang terbaik untuk melakukan deradikalisasi, tetapi di dalam negeri itu dikatakan deradikalisasi itu gagal. Tetapi the show must go on, khafilah harus berlalu walau banyak anjing yang mengonggong.
Saya katakan kepada mereka orang yang mengatakan deradikalisasi gagal itu teroris, karena kalau deradikalisasi berhasil mereka tidak bisa lagi melampiaskan nafsu birahinya untuk merongrong pemerintah dan merubah Negara bangsa menjadi Negara agama.
Perlahan tapi pasti kita menggandeng kader-kader ulama, tokoh-tokoh masyarakat civil society dalam melakukan pembinaan keagamaan dan pembinaan wawasan kebangsaan. Tentu tidak semuanya bisa kami ekspos. Coba lihat bahwasannya ada Pepi Fernando yang mengotaki peledakan bom bobu di KBR 68, nah itu yang meminta untuk difasilitasi agar dia bisa mengibarkan bendera merah putih seperti yang dilakukan Umar Pateh. Ada 10 teroris yang melakukan aksi bom di Maluku itu mengundang BNPTN mengatakan setia pada NKRI, karena pada PP 99 tahun 2012, kalau mereka ingin mendapatkan remisi harus melakukan kesetiaan kepada NKRI dan mengikuti program deradikalisasi. Terakhir deradikalisasi yang kami lakukan di sentul itu ada namanya pusat pembinaan atau pusat deradikalisasi yang saat ini kami manfaatkan sebagai kantor. Di sana nanti akan kita kumpulkan sebahagian napi teroris yang sudah kooperatif untuk kita lakukan pembinaan, bukan BNPT yang melakukan tapi tokok-tokoh agama, tokoh budaya, tokoh pendidik jadi yang hadir di situ melakukan dialog yang sudah mau menjalani pembebasan seperti di Saudi Arabia dan Negara-negara maju lainnya yang dilakukan.
Saya kira ini yang paling inti yang bisa kami sampaikan. Dinamika selalu ada, perbedaan pendapat, pendapatan. Tugas kita bukan menyamakan tapi tetap keragaman, tapi itulah Bhineka Tunggal Ika, karena kita memang diciptakan berbeda-beda, yang pasti jangan terjadi clash, jangan terjadi anarkisme hanya karena berbeda. Terkadang kita tawuran bergesekan bukan karena berbeda tetapi cara pandang kita terhadap perbedaan itu masih butuh pendalaman, yang penting kita duduk bersama untuk keutuhan NKRI yang kita cintai bersama. (dede kartika/rusman/gc)
*) Paparan Prof. Dr. Irfan Idris, MA (Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Teroris-BNPT) pada Seminar Nasional bertajuk: “Membangun Deradikalisasi Eefektif dalam Upaya Menjaga Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” yang diselenggarakan oleh Grahana Casta di Hotel Bidakara, Jakarta, 30 Mei 2016.