“Aroma Dendam” Menghiasi Pilpres 2014

Bagikan artikel ini

Andreawati, pemerhati masalah politik. Tinggal di Ambon, Maluku

Rencana pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang akan digelar pada 9 Juli 2014 masih diliputi berbagai praktek pelanggaran dan kecurangan disetiap tahapannya. Pelanggaran tersebut  dilakukan para pendukung dari kedua kubu Capres/Cawapres, baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terbuka dengan memanfaatkan media massa, terutama media massa partisan ataupun media mainstream yang sudah mulai ragu dalam menegakkan “khittah atau kredonya” membela kepentingan khalayak, bukan kepentingan yang membayar. Sejak awal sudah terjadi pertentangan antara para elite partai politik, baik karena dendam masa lalu maupun karena terjadi perbedaan pandangan politik.

Publik tahu persis bagaimana perseteruan antara Ketua Umum DPP PDIP,  Megawati Soekarno Putri dengan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhojono yang kemudian mengambil alih jabatan Ketua Umum DPP Partai Demokrat. Perseteruan terjadi sejak Mega menjabat Presiden dan SBY adalah Menko Polkam dibawahnya. Konon sampai saat ini Mega belum mau memaafkan SBY.

Ruhut Sitompul dalam deklarasinya mendukung Jokowi-JK yang juga masih berharap agar hubungan Mega-SBY semakin membaik. Menjelang masa kampanye Pemilu Legislatif Megawati juga menyerang lembaga intelijen, mungkin karena dipikiran Mega,  SBY sebagai Presiden tentu akan memanfaatkan institusi intelijen untuk kepentingan Partai Demokrat. Kecurigaan tersebut ternyata tidak terbukti, nyatanya Partai Demokrat dibawah SBY hanya menempati pemenang nomor urut 4.

Megawati Soekarnoputri bahkan mencurigai BIN “bermain” dalam Pemilu Legislatif 2014, namun ternyata BIN “tidak bermain” buktinya jika aparat negara “bermain” seharusnya partai penguasa atau presiden akan memperoleh suara signifikan dalam Pemilu Legislatif yang lampau.

Tidak hanya itu saja, Luhut Binsar Panjaitan seusai acara “Kata Hati Ruhut Poltak Sitompul Dukung Jokowi-JK” di Horapa, Menteng, Jakarta Pusat (23/6) seperti tertulis dalam situs berita merdeka.com yaitu “Sekarang itu sudah ada hitung-hitungannya, orang  tuh enggak bodoh juga bahwa posisi  Jokowi bagus dan makin bagus, ya kalau Jokowi sampai menang, kita pasti tahu. Saya khan orang intelijen juga, saya lama kan. Saya tahu juga kan kalau mereka main-main. Kalau menang, kami libas nanti. Gitu saja, simple kan,” kata anggota timses Jokowi-JK, Luhut Panjaitan.

Setelah itu, Luhut menyatakan, “Jadi ngak boleh itu, dia (BIN) harus taat kepada hukum dan aturan bukan soal libasnya tadi. Dia harus taat  kepada ketentuan dan netral. Sebab enggak mungkin itu ditutupi, itu pasti ketahuan. Dan kalau ketahuan berarti  kau melanggar Sapta Marga Sumpah Prajurit kalau di TNI. Kalau di BIN, berarti kau melakukan pelanggaran umum,” tambah Luhut seperti pernah dimuat situs berita merdeka.com (23/6).

Penulis sendiri pernah membaca pemberitaan terkait netralitas BIN bahwa seperti dikatakan oleh Marciano Norman yang juga Kepala BIN menyebutkan, bahwa institusi yang dipimpinnya akan netral dalam Pileg maupun Pilpres 2014.

Bahkan dalam pemberitaan di beberapa media massa tanggal 23 Juni 2014, Marciano Norman mengatakan, pada puncak pesta demokrasi ini rakyat Indonesia betul-betul bisa menentukan hak pilihnya dalam situasi tanpa terintimidasi oleh  pihak manapun dan bisa memberikan pilihan sesuai kata hatinya.

“BIN menghimbau agar masyarakat berpartisipasi serta tidak mudah terpancing kampanye-kampanye hitam. BIN dan pihak-pihak terkait akan berupaya semaksimal mungkin memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada untuk menyukseskan Pemilu 9 Juli mendatang,” kata Marciano Norman seperti dikutip dalam portal beritasatu.com (23/6/2014).

Oleh karena itu, terasa menggelikan pernyataan Luhut Binsar Panjaitan terkait dengan netralitas BIN bahkan melontarkan ancaman-ancaman terhadap institusi negara ini. Kita sebagai masyarakat yang awam sebenarnya geli, mengapa untuk meraih kemenangan dan mencari jabatan kok harus menghalalkan segala cara. Kalau perkembangan seperti ini terus menerus terjadi, demokrasi Indonesia mengarah kepada uncivilized and uneducated demokrasi. Salah satu indikator uncivilized and uneducated demokrasi adalah banyaknya “kutu loncat” menjelang Pileg dan Pilpres 2014 ini.

Perseteruan lain adalah antara Surya Paloh dengan Abu Rizal Bakrie karena kalah dalam pemilihan Ketua Umum DPP Partai Golkar. Karena kecewa, Surya Paloh membentuk Ormas Nasdem sebagai jembatan untuk membentuk partai politik. Terbukti Ormas Nasdem kemudian diubah menjadi partai politik agar  bisa bertarung dalam Pileg maupun Pilpres.  Ambisi Surya Paloh tersebut memunculkan resisten dari dalam, mengakibatkan Hari Tanoesudibyo hengkang dari Nasdem dan kemudian berlabuh di Partai Hanura. Ketua Umum DPP Partai Hanura, Wiranto secara tiba-tiba memberikan jabatan istimewa kepada Hari Tanoe sebagai Ketua Bapilu Partai Hanura, bahkan kemudian keduanya menyatakan maju sebagai pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.

Pasangan calon ini kemudian pecah setelah perolehan suara Hanura jeblok karena hanya menempati nomor urut 10. Wiranto bersama gerbong partainya kemudian memilih  bergabung dalam koalisi Jokowi/JK yang mengusung Joko Widodo dan Jusuf Kala sebagai Capres dan Cawapres, walaupun menurut Kivlan Zen dalam sebuah wawancara di televisi swasta nasional yang pro Prabowo-Hatta menyebutkan, sebelum Wiranto berlabuh ke Jokowi, sebenarnya sudah pernah bertemu dengan  Prabowo dan menyatakan mendukung mantan Danjen Kopassus tersebut. Sementara Hari Tanoe memilih bergabung dengan koalisi Merah Putih yang mengsung Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa sebagai Capres dan Cawapres.

Suhu politik kemudian  meningkat tajam sejak penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang dimulai dengan adanya kampanye negatif bahkan kampanye hitam. Kubu Capres  yang diserang beranggapan kubu lawan adalah pihak yang menyerang, sehingga  kemudian terjadi saling serang, saling fitnah bahkan saling ancam. Kondisi ini lebih diperparah dengan munculnya saling dukung pasangan calon oleh para purnawirawan jenderal yang kemudian dikenal publik sebagai perang bintang.

Beredarnya copy surat dari Surat Rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira tentang pemecatan Pangkostrad, Letjen Prabowo Subianto pada Mei 1998  membuat suhu politik langusng meningkat tajam. Apalagi hal itu dikuti dengan tampilnya sejumlah mantan perwira  tinggi dari kubu Jokowi/JK yang hendaknya mengklarifikasi bahwa copy surat tersebut mengandung unsur kebenaran. Puncaknya dengan adanya klarifikasi dari Jenderal (Purn) Wiranto sebagai Panglima ABRI kala itu, yang mengungkap alasan pembentukan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang oleh kubu Prabowo dianggap bernuansa politis.

Wiranto juga mengungkapkan bahwa pernyataan Prabowo kalau aksi penculikan yang dilakukan oleh anggota Kopasus atas perintah atasan tidak terbukti alias palsu. Menurutnya penculikan itu adalah atas inisitif Prabowo karena salah menganalisa situasi dan kondisi kamtibmas saat itu.  Wiranto menegaskan tidak ada perintah dari petinggi TNI untuk melakukan penculikan.  Penculikan berlangsung saat Panglima ABRI Jenderal (Purn) Feisal Tanjung dan kasusnya  dibongkar kebetulan saat swaya (Wiranto) yang menjadi Panglima ABRI. Saat melakukan pengusutan penculikan itu, Wiranto sempat bertanya kepada Feisal Tanjung apakah dirinya saat menjabat sebagai Panglima ABRI memerintahkan untuk melakukan penculikan. Saat itu Feisal Tanjung menegaskan tidak pernah mengeluarkan perintah untuk penculikan.

Bantahan dari kubu Prabowo kemudian muncul, mantan Kasum TNI, Letjen (Purn) Johanes Suryo Prabowo menduga, ada konspirasi sejumlah perwira ABRI (TNI) yang masuk dalam DKP, untuk menjadikan Prabowo Subianto sebagai kambing hitam serangkaian peristiwa 1998. Ironisnya ketika DKP berjalan, ada tim gabungan pencari fakta (sudah membuka hasil investigasinya), namun Prabowo tetap  dihukum administrasi. Upaya itu dinilai bernuansa politis untuk menjegal Prabowo dari kontestasi Pilpres 2014. Suryo juga menegaskan bahwa Mensesneg,  Muladi kala itu juga telah mengeluarkan pernyataan yang intinya menyatakan mantan Panglima Kostrad tersebut tidak terkait dengan penculikan 13 aktivis, penembakan Mahasiswa Trisakti, dan kerusuhan Mei 1998. Bantahan juga datang dari mantan Kaskostrad, Kivlan Zein, Dr. Elsa Syarif yang sama-sama dengan Wiranto membentuk Partai Hanura, termasuk salah seorang Komisioner di Komnas HAM.

Lembaga survei dan media massa tertentu juga berupaya “memanaskan” situasi baik melalui hasil survei yang dilakukannya, terbukti 7 lembaga survei dalam negeri selalu hasil surveinya mendukung pasangan Jokowi-JK, dan 2 lembaga survei yang pro Prabowo-Hatta serta 1 lembaga survei internasional yang berkredibel mendukung Prabowo-Hatta (Gallup Poll Daily Tracking). Sementara itu, beberapa media massa baik melalui pemberitaan, angle yang dipilih, tajuk rencana/editorial yang dibuat ataupun melalui pemilihan bahasa menunjukkan ideologi beberapa media massa sudah tidak netral, bahkan mulai menjual atau menggadaikan “kredo jurnalistiknya”.

Secara kasat mata, TV One dan Metro TV adalah dua media massa yang sudah kebablasan dan vulgar dan “taked for granted” dalam mendukung salah satu pasangan capres-cawapres, sehingga Remotivi salah satu organisasi yang memantau soal frekuensi publik sudah mengumpulkan petisi mendukung Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menghukum TV One dan Metro TV.

Beberapa media massa cetak dan online yang sebenarnya selalu bersikap kritis sudah mulai tidak kritis dan menjadi “uncivilized” dan “uneducated” dalam pemberitaannya terkait Pilpres. Masyarakat dan pengiklan pasti akan mencatatnya, termasuk kubu masing-masing capres-cawapres sudah pasti mencatatnya, sehingga media massa partisan ini kemungkinan akan menuai “getah politik” pasca Pilpres.

Jika mengacu pada fakta-fakta diatas, penulis melihat ada sejumlah permasalahan yang mesti diselesaikan oleh seorang tokoh nasional yang bisa didengar oleh pendukung dari kedua kubu yang berseteru. Jika dendam-dendam tersebut tidak diselesaikan sebelum pelaksanaan Pilpres 2014, dikhawatirkan bisa berlanjut pada pertikaian  antara massa pendukung pasca Pilpres 9 Juli 2014, yang “warming up”nya sudah terjadi di Yogyakarta pada 24 Juni 2014.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com