“Bagi-Bagi Daerah Jajahan” dan Dampaknya Bagi Indonesia

Bagikan artikel ini

Batara R Hutagalung, Investigator Sejarah Kolonial di Indonesia

Sejarah mencatat, bahwa Belanda menguasai beberapa wilayah di bumi Nusantara selama lebih dari 300 tahun, terutama Sunda Kalapa (Jayakarta, Jakarta), yang oleh Belanda dinamakan Batavia. Sementara di beberapa daerah, seperti Aceh, Tanah Batak, Bali dan beberapa daerah lain, kekuasaan Belanda hanya berlangsung selama sekitar 30 atau 40 tahun saja. Namun permasalahannya bukanlah pada lama atau tidaknya penguasaan suatu bangsa atau negara terhadap bangsa atau negara lain, melainkan pada keabsahan penguasaan tersebut, yang lazim disebut sebagai kolonialisme atau penjajahan.

Tidak ada satu hukum internasionalpun yang memberikan legitimasi kepada suatu bangsa atau negara untuk menguasai atau merampok negara lain. Yang dilakukan oleh banyak negara-negara Eropa bukan hanya menjajah dan menguras kekayaan wilayah yang dikuasainya, melainkan juga memperbudak bangsa yang dijajahnya, bahkan memperjual-belikan manusia. Satu-satunya hukum yang ada hanyalah “hukum rimba”, yaitu berdasarkan atas kekuatan: siapa yang lebih kuat memangsa yang lemah.

4 Negara “Penguasa Hukum Rimba di Abad 15

Pada abad 15 dua negara katolik, Portugal dan Spanyol saling memperebutkan wilayah-wilayah di luar Eropa untuk menguasai perdagangan atau untuk dijadikan jajahan. Untuk menghindari konflik berkelanjutan di antara kedua negara katolik tersebut, Paus Alexander VI memfasilitasi perundingan antara keduanya dan pada 7 Juni 1494 di Tordesillas, Spanyol ditandatangani kesepakatan yang dinamakan Perjanjian Tordesillas. Isinya adalah membagi dunia menjadi dua bagian, yaitu separuh untuk Spanyol dan separuh lagi untuk Portugal.

Namun ketika Belanda dan Inggris memasuki kawasan-kawasan tersebut, kedua Negara yang belakangan ini tidak merasa terikat dengan Perjanjian Tordesillas. Sering terjadi pertempuran baik di laut maupun di darat di antara keempat Negara tersebut dalam memperebutkan hegemoni atas suatu wilayah di luar Eropa. Prancis, Italia dan Belgia kemudian ikut meramaikan kwartet ini.

Negara-negara tersebut bukan hanya memperebutkan dan memperjual-belikan wilayah yang mereka kuasai, mereka kemudian juga memperjual-belikan manusia, yang lazim disebut sebagai perbudakan. Sejak abad 18 praktek jual-beli atau “tukar guling” jajahan sangat marak. Belanda juga pernah menawarkan wilayah jajahan yang waktu itu dikuasainya di Asia Tenggara untuk dijual. Belanda termasuk Negara terbesar dalam perdagangan budak.

Di wilayah jajahannya, Nederlands Indië (India Belanda) diberlakukan undang-undang perbudakan antara tahun 1640 – 1862. Undang-undang perbudakan ini dihapus oleh Inggris ketika Inggris berkuasa antara tahun 1811 – 1816, namun diberlakukan kembali, ketika jajahan tersebut “dikembalikan” kepada Belanda.

Ketika Napoleon Bonaparte berkuasa di Prancis, Belanda yang kalah perang, berada di bawah kekuasaan Prancis dari tahun 1806 sampai tahun 1813. Perubahan situasi di Eropa juga berimbas ke kawasan Asia Tenggara, di mana terdapat persaingan kekuasaan antara Belanda dan Inggris. Lord Minto, Gubernur Jenderal Inggris di India (1807 – 1813), memimpin armada Inggris menyerbu Jawa, dan pada 6 Agustus 1811, bersama Thomas Stamford Raffles, pasukan Inggris mendarat di Jawa, tanpa suatu perlawanan yang berarti dari tentara Belanda-Prancis. Inggris menduduki pulau Jawa dan kemudian menguasai seluruh wilayah Belanda-Prancis. Raffles, diangkat menjadi Letnan Gubernur Jenderal untuk India-Belanda. Itulah awal penjajahan Inggris di Indonesia, yang juga disebut sebagai The British Interregnum.

Raffles kemudian diganti oleh John Fendall sebagai Letnan Gubernur Jenderal, yang memegang jabatan ini sampai “penyerahan” kembali India Belanda kepada Belanda. Setelah tentara Prancis pada 18 Juni 1815 di Waterloo dihancurkan oleh tentara koalisi di bawah Jenderal Wellington dan Jenderal Blücher, Di Eropa terjadi perubahan situasi politik, di mana Inggris berdamai lagi dengan Belanda. Sebagai akibat perdamaian ini, pada 19 Agustus 1816 wilayah India-Belanda “diserahkan” kembali kepada Belanda, tak ubahnya seperti menyerahkan suatu barang. Ini juga merupakan akhir dari British Interregnum. Setelah itu, Inggris hanya menguasai Bengkulu dan Belanda masih berkuasa atas Singapura.

“Tukar Guling” Belanda dan Inggris atas Singapura

Belanda dan Inggris kemudian sepakat untuk melakukan “tukar guling” atas Singapura dan Bengkulu. Dalam Traktat London tanggal 17 Maret 1824, Belanda melepaskan seluruh haknya atas Singapura kepada Inggris dan sebagai imbalan, Belanda memperoleh Bengkulu. Selain itu, Inggris dan Belanda beberapa kali mengadakan perundingan bilateral untuk membagi kekuasaan di Irian dan Kalimantan. Belanda dan Portugal juga sepakat untuk membagi dua Pulau Timor.

Kalau melihat perilaku para penjajah untuk membagi-bagi wilayah kekuasaan, maka akan terlihat, ini adalah perilaku kelompok gangster/Mafia yang membagi-bagi wilayah kekuasaan, apakah itu kota, wilayah di dalam suatu kota, bahkan membagi atau menentukan lahan parkir untuk kelompok-kelompok yang terlibat!

Asia Tenggara Dibelah Atas Dasar Kesepakatan Negara-Negara Penjajah

Dalam perebutan wilayah di Asia Tenggara yang berlangsung selama berabad-abad, akhirnya Belanda berhasil mengungguli Inggris, Spanyol, Portugal dan kemudian juga Prancis, dengan menguasai sebagian besar kerajaan-kerajaan di Nusantara. Inggris tetap berkuasa di Malaya (Malaysia) dan di East New Guinea (Irian Timur), Spanyol di Filipina, Prancis di Indochina dan untuk Portugal hanya tersisa Timor Timur (Timor Leste), Goa di India dan Macau.

Untuk “melancarkan” perdagangan dan menghindari konflik di antara Negara-negara Eropa agar tidak saling memperebutkan wilayah di Afrika, Perdana Menteri Prusia, Otto von Bismarck mengundang 11 negara Eropa ke Berlin untuk mengadakan perundingan. Selain itu, juga diikutsertakan Amerika Serikat dan Turki yang merupakan Negara-negara yang sangat kuat. Pertemuan yang kemudian dikenal sebagai Berliner Kongokonferenz (Konferensi Berlin mengenai Kongo) berlangsung dari 15 November 1884 sampai 26 Februari 1885.

Konferensi ini membagi-bagi wilayah di Afrika untuk Negara-negara Eropa, seperti layaknya orang membagi-bagi kue ulang tahun kepada para tamu. Kalau melihat batas Negara-negara di Eropa dan Asia yang berlika-liku, kemudian memperhatikan batas-batas Negara di Afrika, Irian dan Timor, nampak dengan jelas perbedaan yang mencolok. Penetapan batas Negara-negara tersebut bukan berdasarkan etnis, atau kerajaan sebelumnya melainkan dibagi-bagi kepada Negara-negara penjajah berdasarkan kesepakatan di antara mereka, sehingga batas wilayah jajahan merupakan garis lurus, karena menggunakan penggaris (mistar).

Hal ini berdampak terbelahnya desa-desa yang terkena imbas “pembagian kue” di Eropa. Pemisahan keluarga-keluarga secara paksa di desa-desa tersebut dialami oleh banyak Negara di Afrika dan Asia, termasuk Indonesia, seperti di Kalimantan, Timor dan Irian (Papua).

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com