Belajar dari Asuransi Jiwa Para Pemantau Pemilu

Bagikan artikel ini

Pipit Apriani, mahasiswa Program Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia, Research Associate Global Future Institute

Orang Eropa dan Amerika adalah orang yang rasional bahkan untuk hal-hal yang untuk orang Indonesia termasuk kategori religious dan berjangka panjang. Misalnya dalam menyikapi kematian, karena mati atau meninggal adalah sesuatu yang pasti cuma waktunya yang kita tidak tahu. Maka mereka pun mewajibkan rakyat di negara mereka untuk memiliki bermacam-macam asuransi mulai dari asuransi pension, kematian, sakit hingga pengangguran. Maksud dari asuransi terakhir adalah ketika seorang pekerja kehilangan pekerjaan karena suatu sebab, maka orang tersebut masih dapat memiliki penghasilan dari pemerintah. Penghasilan tersebut didapat merupakan klaim asuransi pengangguran ketika orang itu bekerja.

Karena terbiasa bergaul dan bekerja dengan orang asing, maka saya pun menyiapkan asuransi pensiun dan jiwa. Apalagi saya bukan pegawai negeri, sehingga negara Republik Indonesia tidak punya kewajiban untuk menanggung masa depan saya ketika saya memasuki usia senior. Mengingat buruknya sistem di negara ini untuk para senior, dan saya tidak mau terlantar di masa tua saya, jadi saya harus mempersiapkan pensiun saya sendiri. Ada sejumlah teman yang kemudian saya beri tahu pentingnya asuransi jiwa dan pensiun, tetapi jawabannya khas orang Indonesia “saya percaya Tuhan”. Artinya, lihat nanti saja. Ya, saya percaya Tuhan juga, tapi saya percaya masa depan saya akan lebih baik jika saya mengatur masa depan saya melalui berbagai asuransi ketika saya masih mampu membayar preminya. Minimal, ketika saya meninggal nanti, keluarga yang saya tinggalkan tidak dipusingkan lagi dengan biaya ambulans, biaya mengurus penguburan dan tahlilan 40 harian saya.

Setiap kali saya ikut misi pemantauan pemilu di luar negeri, pihak pengundang selalu menyiapkan asuransi kesehatan sekaligus asuransi kematian bagi para pemantau pemilu. Pemantau pemilu baik nasional maupun internasional adalah pekerjaan yang memiliki potensi bahaya, karena akan ada saja pihak yang tidak suka dengan kehadiran pemantau pemilu di wilayah mereka. Jadi selain diminta menyebutkan pihak keluarga yang bisa dihubungi dalam keadaan darurat, juga ahli waris jika terjadi kematian.

Yang menarik, dalam misi yang terakhir kami diminta tidak hanya menyebutkan seorang ahli waris jika terjadi kematian, tetapi boleh menuliskan sejumlah ahli waris termasuk persentase dari klaim asuransi yang akan kami dapat kepada mereka. Sehingga saya pun mau tak mau belajar membuat testament atau surat warisan, siapa saja yang akan mendapatkan klaim asuransi tersebut, berapa persentase untuk mereka masing-masing, dan apa yang saya ingin mereka lakukan dengan uang klaim tersebut.

Untuk orang Indonesia, apalagi yang tak terbiasa dengan wilayah konflik, mungkin ini adalah sesuatu yang terlalu jauh ke depan atau justru ‘memancing’ bahaya atau kematian. Tapi sekali lagi, orang bule adalah orang yang rasional dan selalu belajar memperbaiki kekurangan dalam pekerjaannya. Pada misi pemantauan sebelumnya, pada 20 Maret 2014 malam hotel tempat kami menginap di Kabul diserang oleh kelompok militan. Seorang rekan kami, professor Ilmu Politik dari Paraguay, meninggal dan uang klaim diserahkan ke pihak keluarga almarhum. Keluarga almarhum menggunakan uang tersebut dengan membuat yayasan Fundación Luis Maria Duarte, dengan tujuan utama untuk mempromosikan budaya dan penelitian di bidang ilmu-ilmu sosial. Website yayasan tersebut adalah luismariaduarte.org, website dalam bahasa Spanyol.

Apa yang saya inginkan jika saya meninggalkan dunia ini nanti? Saya percaya bahwa amal manusia akan putus kecuali tiga hal, doa’a dari anak sholeh, amal jariah dan ilmu yang tak terputus. Jadi saya ingin uang warisan saya digunakan untuk membuat sekolah gratis. Insya allah.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com