Boikot Produk-Produk Zionis Israel

Bagikan artikel ini

Dina Y. Sulaeman, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Untuk kesekian kalinya, saya didebat soal gerakan boikot produk Zionis. Kalimat dibawah ini saya ubah redaksinya, tapi esensinya sama saja. “Kamu kan juga pake produk Zionis?! Tak perlu pula sok-sokan memboikot produk Zionis! Hampir semua yang kita pakai ini produk Yahudi: computer, hp, facebook, blog…!”

Ini jawaban saya:

1.Yahudi tidak selalu sama dengan Zionis. Ada Yahudi yang Zionis, ada juga Yahudi yang anti Zionis. Yang perlu kita boikot adalah produk perusahaan-perusahaan yang sebagian labanya disalurkan untuk Israel, atau jelas-jelas berdiri di Israel. Daftarnya ada di sini.
Bisa jadi itu perusahaan milik Yahudi yang Zionis, tapi bisa jadi milik Kristen yang Zionis [maaf, bukan bermaksud SARA, tapi istilah “Kristen Zionis” sudah jadi istilah umum dalam kajian Politik Internasional. Salah satu tokohnya adalah Joe Biden, wapres AS. Dia berkata, “I’m a Zionist. You don’t have to be a Jew to be a Zionist.” ] atau bahkan mungkin Muslim yang Zionis. [Muslim Zionis..? Well.. sangat mungkin kok. Contohnya, ada sebuah perusahaan yang jelas-jelas masuk daftar boikot, lalu buka cabang di Indonesia, lalu ada penguasaha Indonesia muslim yang membeli sebagian sahamnya.] Sekali lagi, yang dilihat adalah kemana aliran dananya mengalir.
2. Gerakan boikot produk Zionis tidak hanya ditujukan untuk muslim, tapi semua pihak yang berhati nurani. Bahkan gereja Inggris pun melakukan boikot (dengan cara menarik sahamnya) pada Caterpillar karena terbukti produk Caterpillar (buldozer) berperan besar dalam penghancuran rumah-rumah bangsa Palestina. Human Rights Watch dan Amnesty International pun memboikot Caterpillar.
3. Bagaimana kalau ternyata kita terpaksa pakai produk Zionis?
Sebelum saya jawab, saya tanya dulu: kalau Anda ujian di kampus, ada 4 soal, Anda cuma bisa jawab 2 soal, apa yang Anda lakukan? Keluar ruangan dan tidak menjawab sama sekali? Tentu tidak. Anda tetap jawab 2 soal, dan berharap minimalnya dapat B atau C.
Begitupun saya. Saat saya beli laptop, saya pilih produk perusahaan yang tidak termasuk dalam daftar boikot. Prosesornya memang buatan Intel (pendukung Zionis), tapi karena saya tidak punya pilihan lain, apa boleh buat. Minimalnya saya sudah menjawab 1 soal, daripada menyerah keluar ruangan dan tidak menjawab sama sekali. Got it?
Dalam kehidupan sehari-hari pun, saya melakukan pilihan-pilihan. Saat berbelanja, saya pilih supermarket lokal, bukan Carrefour. Saya pilih minum teh botol Sosro, bukan Coca Cola. Saya pilih Burger Edam, bukan McD, dan seterusnya.
Sekali lagi, hal ini berkaitan dengan hati nurani…
4. Khusus untuk muslim, terkait fatwa haram (di antara ulama yang mengharamkan menggunakan produk-produk dari perusahaan menyalurkan dananya kepada Israel adalah Ayatullah Khamenei, bisa baca di sini: dan Syekh Yusuf Qardhawi, baca di sini): ada kaidah ta’arudh bainal amrain (kontradiksi antara dua hal). Bila ada pertentangan kepentingan, maka pilihlah yang manfaatnya lebih besar dan keburukannya lebih kecil.
Misalnya, alkohol haram, tapi bila ada obat yang mengandung alkohol yang harus dimakan, dan obat itu satu-satunya yang tersedia, kalau kita tak makan obat itu penyakit kita akan semakin parah… nah, pada saat itu, kita dihadapkan pada dua hukum yang kontradiktif “alkohol haram” dan “menyelamatkan nyawa adalah wajib”. Dalam situasi ini, kita harus memilih menyelamatkan nyawa dengan tetap makan obat tersebut (kita tidak bisa berkata, “mending mati deh daripada makan obat itu”, karena mempertahankan nyawa jauh lebih penting).
Sama halnya dengan komputer/laptop. Jika laptop saya pakai prosesor Intel, apa yang harus dilakukan? Apa saya memilih tidak menggunakan laptop sama sekali?
Jawabannya ada pada urgensinya. Bila bagi saya laptop bermanfaat untuk menyebarkan kebaikan dan manfaat saya dalam menggunakan laptop jauh lebih banyak daripada bila saya berdiam diri, tentu saja, pilihannya adalah menggunakan laptop. Bahkan saya menggunakan laptop ini untuk menyuarakan pembelaan kepada Palestina dan memberitahukan kepada dunia betapa kejamnya Rezim Zionis.
[Catatan: “manfaat” yang dimaksud adalah manfaat yang diridhoi Allah ya.. Bisa saja saya menggunakan laptop utk hal-hal yang buruk dan tetap mendatangkan manfaat, tapi kan tidak diridhoi Allah.]
Sebaliknya, bila urgensi untuk menggunakan laptop ternyata tidak ada (misalnya, pakai laptop hanya untuk berleha-leha, membuang-buang waktu main game atau internetan gak jelas).. nah… silahkan pikirkan sendiri bagaimana hukumnya!
Jangan disangka langkah boikot adalah langkah yang ‘kecil’ dan tiada arti. Afrika Selatan berhasil menumbangkan Rezim Apartheid berkat aksi-aksi boikot dari seluruh dunia. Kita tidak sedang berusaha menindas kaum Yahudi, tapi berusaha menumbangkan Rezim Zionis. Bila rezim yang sangat rasis dan kejam ini tumbang dan digantikan oleh Rezim yang demokratis, kaum Yahudi, Islam, dan Kristen bisa hidup berdampingan dengan damai di Palestina, seperti yang dulu terjadi sebelum Rezim Zionis berdiri.
5. Masih terkait hukum fiqih di atas, bisa jadi ada yang mengaitkannya dengan tulisan teman saya- yang saya sunting ulang- “Surat Terbuka untuk Pak Tifatul”. Ada penanggap yang menyatakan, kurang-lebih “Sulit bagi pemerintah kita untuk tidak memakai rekanan perusahaan Israel, tidak semudah membalik telapak tangan. Kalau pemerintah bikin kebijakan melarang produk Israel dilarang, maka berapa investasi tambahan yang harus dikeluarkan oleh masing-masing perusahaan utk membeli peralatan dan sistem baru, yang mana tidak memberi benefit secara bisnis buat mereka.”
Tanggapan saya:
Dalam kasus AMDOCS yang menjadi rekanan Telkomsel, yang terjadi lebih dari sekedar ‘boikot’ yang bisa dilakukan oleh orang-orang biasa. Yang terlibat di sini adalah negara dan TNC (transnational corporation). Jika negara yang terlibat, artinya punya kekuasaan untuk berkata ‘ya’ atau ‘tidak’. Apa gunanya negara (=pemerintah) kalau kemudian tunduk saja oleh kepentingan bisnis TNC? Apa gunanya Tifatul dan PKS berdemo untuk menentang Zionisme tapi ketika dia punya kekuasaan untuk berkata ‘tidak’ pada perusahaan yang jelas-jelas didirikan di Israel (dengan segala konsekuensinya), dia tidak melakukan hal itu?
Hitung-hitungan yang dilakukan negara seharusnya jauh lebih fundamental daripada yang dilakukan oleh rakyat. Lagipula, masih perlu dilakukan hitung-hitungan yang lebih valid mengenai untung-rugi tidak menggunakan rekanan dari Israel. Apa betul secara bisnis akan rugi? Itu kan klaim si penanggap saja. Bagaimana kalau dihitung cost kerugian bocornya data intellijen yang pasti merembet kepada hal-hal besar lainnya?
Analogi kasus ini, pembela industri rokok memberikan hitung-hitungan berapa besar kerugian negara kalau industri rokok diharamkan. Padahal, kalau dihitung lagi berapa banyak biaya kesehatan yang harus ditanggung seluruh rakyat Indonesia gara-gara rokok, ternyata jumlahnya jauh lebih besar.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com