Contempt of Parliament Terhadap DPD RI

Bagikan artikel ini
Telaah Kecil Konstitusi
Di dunia hukum ada istilah contempt of court. Poin intinya, suatu perbuatan yang merendahkan wibawa, martabat dan kehormatan badan peradilan. “Penghinaan terhadap Pengadilan.” Ini delik, perbuatan yang dapat dihukum.
Pertanyaannya, “Kenapa delik itu harus ada?”
Sebab, kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri mutlak harus dilindungi oleh negara guna menemukan kebenaran dan keadilan. Begitu idealnya.
Sangat pentingnya contempt of court bagi operasional penegakkan hukum, selain deliknya diatur dalam 15 pasal di KUHP (209, 210, 211, 212, 216, 217, 221, 222, 224, 231, 233, 242, 420, 422, 522), dua pasal di KUHAP (pasal 217 dan 218), dan juga pada aturan lainnya.
Lain dunia hukum, lain pula di dunia politik. Contempt of Parliament ialah penghinaan terhadap parlemen. Yaitu pelanggaran yang menghalangi lembaga/badan legestatif dalam menjalankan fungsinya, atau menghalangi legislator manapun dalam menjalankan tugasnya.
Unsur-unsur pokok keduanya nyaris sama. Intinya, bahwa perbuatan tersebut merendahkan wibawa, martabat dan kehormatan parlemen/lembaga dalam dinamika politik. Si pelaku bisa terkena delik, atau minimal dikenakan pelanggaran etik.
Namun, praktik contempt of parliament di Indonesia masih ‘timbul tenggelam’. Entah kenapa. Mungkin kuatnya retorika dalam politik, misalnya, atau hukum permakluman, ataupun faktor kompromi dan seterusnya.
Isu contempt of parliament paling populer di era reformasi yakni saat Gusdur mengatakan DPR seperti taman kanak-kanak. Seketika, parlemen pun tidak terima atas pernyataan Presiden yang merendahkan martabat DPR. Ucapan Gusdur menuai gejolak. Akan tetapi, toch tidak ada tindak lanjut atas penghinaan dimaksud. Ujungnya begitu-begitu saja. Berbeda dengan contempt of court, niscaya ada tindak lanjut dari aparat penegak hukum sepanjang pihak korban (Pengadilan) melaporkan kejadian dimaksud.
Beberapa hari yang lalu, digelar Sarasehan DPD RI Bersama Calon Presiden 2024 di Gedung Nusantara IV, Komplek Parlemen Senayan, Jumat (2/2/2024) bertema: ‘Menatap Kemajuan Daerah dan Sistem Ketatanegaraan’. Secara konstitusi, DPD RI berwenang menguji para calon presiden (capres) melalui delapan pertanyaan penting terkait isu daerah dan kebangsaan. Ya. Komite I DPD bertanya soal Otonomi Daerah; Komite II tentang Sumber Daya Manusia, Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Buatan; Komite III bertanya tentang Kesejahteraan Sosial; Komite IV bertanya soal Fiskal Daerah; dan Ketua Kelompok DPD di MPR tentang Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Ekonomi lainnya, dan seterusnya.
Namun, secara output niat mulia para senator kurang optimal. Dari ketiga capres yang diundang, hanya satu capres yang hadir (01), sedang kandidat lain tidak hadir dengan aneka alasan. Padahal, secara mekanisme — sarasehan di DPD RI bukanlah diskusi ataupun forum debat yang kerap saling menjatuhkan antara satu dan lainnya. Bukan. Sarasehan hanya tanya jawab guna menggali ‘isi kepala’ para capres. DPD benar-benar ingin memahami visi misi para capres soal daerah dan kebangsaan.
Akibat ketidakhadiran dua capres lainnya (02 dan 03), secara tak sengaja, forum sarasehan di DPD justru menjadi panggung bagi capres 01.
Kedepan, terutama bagi para elit dan rezim yang akan datang, seyogianya dapat merumuskan delik contempt of parliament secara riil agar bisa dioperasionalkan dalam penegakkan hukum. Kenapa? Sebab, membiarkan pelanggaran dan delik akan membuat perbuatan melawan hukum semakin kompetitif dan akumulatif.
Demikianlah adanya, demikian sebaiknya.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com