Membaca Perilaku Geopolitik Abad Ke-21 Melalui Clue Lokal

Bagikan artikel ini
Konflik di Antara Tamu Tak Diundang dan Perubahan Sistem
Beberapa peristiwa luar biasa —katakan itu fenomena— telah terjadi dan tengah berlangsung di awal abad 21 ini. Akan tetapi, publik global sepertinya gagal menarik hikmah, bahkan para ahli yang berkompeten pun kurang cermat dalam ‘membaca’. Gilirannya, beberapa fenomena tersebut dinilai hal yang lazim. Dianggap peristiwa biasa. Akibatnya apa? Bahwa perilaku geopolitik dan kondisi ke depannya masih sulit diprediksi, karena banyak para ahli (geopolitik) abai terhadap fenomena dimaksud.
Ini berbeda dengan prakondisi pasca Cold War alias Perang Dingin. Jauh-jauh hari, geopolitik sudah melempar clue bahwa ketika Perang Dingin berakhir, gangguan keamanan justru berasal dari aktor nonnegara (non-state actor) dan Islam (radikal). Itu sekilas perbandingan penggalan era.
Lantas, isu dan fenomena apakah yang luput dari cermatan publik?
Pertama, kekalahan atau mundurnya koalisi militer Barat pimpinan Amerika Serikat (AS) dari Afghanistan —termasuk Irak— pada peperangan 20-an tahun (2001-2021). Padahal, perbandingan kekuatan antara Barat dan Taliban (santri yang dipersenjatai) jauh lebih unggul Barat dalam segala hal baik jumlah pasukan, profesionalisme, maupun modernitas mesin perang. Namun, Taliban mampu memukul mundur koalisi militer profesional Barat (NATO dan ISAF) pimpinan AS. Itu fenomena pertama;
Kedua, dari fenomena pertama tadi, muncul varian isu-isu lain, misalnya, 1) dunia tak lagi percaya terhadap teknologi Barat terutama mesin perangnya; 2) runtuhnya hegemoni AS, dan 3) merebak benih kebangkitan Islam;
Ketiga, konflik Rusia-Ukraina (sejak Februari 2022) pada hakikatnya ialah peperangan antara Rusia versus koalisi Barat pimpinan AS, justru semakin menebalkan isu tentang ketidakpercayaan publik atas teknologi militer Barat;
Keempat, meski tidak linier, perlawanan Houthi kepada AS dan sekutu di Laut Merah, termasuk perlawanan Hamas terhadap Israel, kian menguatkan isu bahwa kebangkitan Islam itu ada, nyata dan berada (existance);
Kelima, kemunculan Cina lewat One Belt One Road (OBOR) alias Belt and Road Initiative (BRI) beserta pakta ekonomi (BRICS)-nya, membuat AS kedodoran dalam mengelola serta mempertahankan hegemoninya di panggung global. Ini di luar fenomena di Afrika, dimana beberapa negara (Mali, Burkina faso dan lain-lain) mulai dan berani melepaskan diri dari jerat kolonialisme Barat;
Keenam, penampakan Thucydides Trap dalam geopolitik. “Jebakan Thucydides“. Hal ini Ditandai oleh kebangkitan Cina di satu sisi, dan kemerosotan ekonomi AS pada sisi lain. Merujuk Thucydides Theory tersebut, bahwa peperangan antara kedua adidaya (Cina versus AS) sepertinya tak bisa dielakkan. Hanya menunggu waktu dan pemicu;
Hingga kini, belum ada clue alias petunjuk seperti apa pola perilaku, kondisi geopolitik kedepan, bagaimana negara dan kawasan bersikap. Para ahli yang berkompeten malah sibuk riset guna menemukan pola peperangan gaya baru seperti cyber war, misalnya, atau bio warfare, neocortex dan lain-lain sebagai konsekuensi atas masifnya peran Artificial Intelegent (AI) di masa kini. Siapa menguasai algoritma big data, itulah pemenangnya. Kredo ini ditelan tanpa kritik, lalu bergulir liar di lorong-lorong hegemoni.
Balik ke judul catatan. Adakah clue di level lokal terkait perilaku politik ke depannya? Ternyata ada, meski samar lagi senyap. Sedikit golongan mampu menangkapnya. Ya. Lokal pada catatan ini maksud ialah Indonesia. Negeri yang kaya akan sumber daya dimana mayoritas rakyatnya —secara struktural— justru masih miskin. Sedangkan clue ialah petunjuk guna mencermati benang merah di masa yang akan datang. Entah itu berupa indikator, sketsa, ataupun kilasan-kilasan baik dari sisi logika geopolitik maupun perspektif alam sunyi. Aspek spiritual.
Ada tiga clue di tingkat lokal yang mutlak dicermati bersama, antara lain yaitu:
Clue I. Bahwa akan meletus konflik besar melebihi kerusuhan Mei 1998 karena bahan-bahannya terakumulasi sejak 2004 akibat sistem politik liberal ala Barat semenjak UUD 1945 diamandemen (1999-2002). Konon, ‘ada darah semata kaki’. Ini clue pertama. Ngeri. Maka minimalizir konflik agar tidak menimbulkan luka sosial mendalam dan trauma politik yang meluas di tanah air;
Clue II. Usai konflik, tepatnya pada 2025-an nanti — justru di luar dugaan siapapun, Indonesia mulai menapaki tangga Indonesia Emas 2045. “Menuju Mercusuar Dunia”. Entah semacam apa realitasnya. Akankah seperti Nusantara I pada abad ke-7 era Sriwijaya; atau, seperti Nusantara II di abad ke-14 zaman Majapahit; atau, Indonesia Emas merupakan perulangan Kejayaan Nusantara setiap tujuh abad yaitu Nusantara III di 2045 nanti?
Pertanyaan filosofi, “Mampukah kita meraih Indonesia Emas melalui Sistem dan Asas Negara berbasis UUD hasil empat kali amandemen (kerap disebut UUD 2002) yang nir-kedaulatan rakyat?”
Clue III. Bahwa akan muncul tamu tidak diundang pada Pemilu 2024. Makna lain tamu tak diundang ialah orang dan/atau golongan yang tidak memiliki kepentingan pragmatis, atau kelompok yang tak terafiliasi dengan partai politik manapun atau capres siapapun. Mereka tak ikut hiruk pikuk copras-capres namun mengikuti geliatnya secara detail. Inikah silent majority?
Konon. Dalam prakiraan alam sunyi, yang bakal “jadi” nanti justru tamu tak diundang. Artinya, bukan si A, B, C dan tak pula si D yang ikut kontestasi. Entah siapa.
Gambaran konflik pada Clue I di atas, ibarat dua arus sungai bertemu di satu titik, maka benturan arus menimbulkan pusaran kuat searah jarum jam. Berputar lagi berdaya hisap kuat. Apapun yang melintas niscaya tersedot dalam pusaran konflik. Herannya, tatkala terdapat perahu kecil melintasi dalam pusaran arus secara santai maka itulah fenomena tamu tak diundang.
Demikian pula pola dan perilaku geopolitik di level global. Merujuk pada clue lokal di atas, bahwa sistem unipolar yang selama ini dinikmati oleh Barat cq AS diramalkan bakal segera berakhir, diganti dengan sistem multipolar sebagaimana yang kini tengah diperjuangkan oleh Cina, Rusia dan aliansi “BRICS Plus”-nya. Akan tetapi, perubahan niscaya tak akan berjalan mulus dan lancar, kenapa? Sebab, rezim lama (unipolar) akan dipertahankan secara mati-matian oleh AS dan sekutu.
Di sini, Thucydides Trap menjadi relevan dan menemukan momentum. Ketika pecah perang antara adidaya Timur dan Barat tak terhindarkan, misalnya, apakah ini ujud dari Perang Dunia III secara militer, bercampur dengan peperangan lain semacam cyber war, bio warfare dan lainnya? Wallahualam. Beberapa kawasan diramalkan luluh lantak akibat hybrid war. Kalah jadi abu, menang pun menjadi arang.
Lantas, siapa tampil dan negara mana menggantikan AS sebagai superpower nantinya?
Singkat kata, sesuai clue lokal bahwa yang kelak tampil adalah tamu tak diundang. Dalam konteks ini, mereka —kelompok negara— yang tidak ikut berperang dan tak terafiliasi pihak manapun dalam pakta pertahanan dan keamanan.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com