Bergabungnya Filipina Dalam Orbit Strategi Indo-Pasifik AS, Berpotensi Memicu Eskalasi Militer di Laut Cina Selatan

Bagikan artikel ini

Shofwan Al Banna Choiruzzad dalam bukunya bertajuk ASEAN Di Persimpangan Sejarah, Politik Global, Demokrasi & Integrasi Ekonomi, punya tesis cukup menarik. Menurutnya, dekade ini merupakan masa yang istimewa bagi ASEAN. Ketika negara-negara anggota ASEAN bersepakat pada 2015 untuk mempererat integrasi kawasan Asia Tenggara melalui perwujudan Masyarakat ASEAN 2015 (ASEAN Community 2015).

Pada saat yang sama, dinamika internal ASEAN juga diwarnai oleh benturan dua kepentingan dua negara adikuasa yang sepertinya punya maksud yang berbeda. Pertama, bangkitnya Cina sebagai kekuatan ekonomi dan politik dunia sekaligus sebagai negara adikuasa baru pesaing Amerika Serikat. Kedua, Amerika Serikat tetap berupaya untuk mempertahankan pengaruh dirinya di kawasan Asia Timur, yang mana Asia Tenggara termasuk di dalamnya.

Saat ini, dengan total populasi sebesar 686 juta jiwa, yang berarti 8,5 persen dari total penduduk dunia, dan jumlah total Growth Domestic Product (GDP) sebesar 3,3 triliun dolar AS, ASEAN  merupakan kawasan yang termasuk tumbuh-berkembang dengan sangat cepat (the most vibrant) pada skala global. Demikian menurut Xing Huang, staf pengajar bidang studi mikro-ekonomi di Universitas Portsmouth.

Lebih lanjut Huang sebagaimana dikutip dari artikel Benjamin Laker bertajuk South Asian Economies Expected to Grow, meski adanya peningkatan biaya perdagangan internasional akibat tantangan ekonomi yang dihadapi saat ini, ASEAN tetap menduduki posisi yang cukup baik mempertahankan sustained growth atau pertumbuhan berkelanjutan.

ASEAN saat ini melakukan beberapa prakarsa pembuatan undang-undang dan regulasi untuk mempromosikan inovasi dan perlindungan hak cipta/property right, sehingga mampu meningkatkan iklim investasi dan mendorong kemajuan ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Seperti ASEAN Intellectual Property Right Action Plan 2016-2025. Kebijakan ini mendorong inovasi, peningkatan persaingan usaha, dan menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif.

Maka itu wajar dan masuk akal jika pada 2050 nanti ASEAN dipersiapkan dan diproyeksikan untuk masuk dalam deretan 4 besar kekuatan ekonomi dunia, sebagaimana hasil riset yang dipublikasikan oleh Harvard Business Review.

ASEAN sebagai perhimpunan negara-negara di kawasan Asia Tenggara saat ini beranggotakan , Brunei, Kamboja, Timor Leste, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapore, Thailand dan Vietnam.

Baca:

US media’s vicious calculation to make ASEAN victim of US Indo-Pacific Strategy

Namun Prospek Ekonomi ASEAN yang cukup cerah dan menjanjikan tersebut, juga mengandung beberapa segi yang cukup rawan. Lingkungan Politik dan Ekonomi di ASEAN yang cukup kondusif tersebut sudah tentu mengundang daya Tarik bagi para investor asing. Maka di sinilah perang kepentingan antara AS versus Cina untuk menjadikan ASEAN masuk dalam orbit pengaruhnya atau sphere of influence (wilayah pengaruh) juga semakin menajam dan memanas akhir-akhir ini.

Beberapa perusahaan Amerika Serikat misalnya Microsoft, telah berupaya memperkuat kehadirannya di Asia Tenggara. Microsoft telah membuka kantor perwakilan baru di Singapore dan Indonesia. Sedangkan Citigroup telah meluncurkan apa yang disebut a digital-only bak di Thailand. India melalui India’s Reliance Industries telah berhasil menguasai saham terbesar di bidang mata-rantai pemasokan di Indonesia.

Salah satu strategi AS untuk membujuk negara-negara ASEAN masuk dalam orbit pengaruhnya adalah lewat Strategi Indo-Pasifik AS. Sebuah artikel menarik yang dilansir the Global Times 8 September 2023, Presiden AS Joe Biden tidak hadir dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN  dan pertemuan-pertemuan terkait lainnya, yang berlangsung di Jakarta.

AS nampaknya sangat tidak senang dengan perkembangan yang berlangsung di di KTT ASEAN tersebut, yang mana Cina telah mempertunjukkan peta di depan para delegasi peserta ASEAN Summit, dalam rangka untuk mendorong hubungan yang semakin erat antara ASEAN dan India, khususnya di bidang keamanan dan ekonomi. Beberapa analis Cina mengatakan bahwa beberapa media Amerika secara sengaja memanaskan situasi dengan mengeksploitasi habis-habisan adanya indikasi persekutuan Cina-ASEAN. Dalam beberapa tahun akhir-akhir ini,

Cina memang secara gencar menglaim beberapa wilayah yang masuk kawasan Laut Cina Selatan berada dalam dalam wilayah kedaulatannya. Sehingga sangat masuk akal ketika Washington sangat resah bahwa apa yang disebut China’s New Map atau Peta Baru Cina dimaksudkan untuk memprovokasi negara-negara ASEAN maupun negara-negara yang juga mengklaim beberapa wilayah di Laut Cina Selatan termasuk wilayah kedaulatan nasionalnya.

A Philippine vessel approaches a China Coast Guard vessel in a dangerous manner and leads to a bump in waters off China's Ren'ai Reef in the Nansha Islands in the South China Sea on October 22, 2023. Photo: Screenshot from a video released by China Coast Guard

Manuver beberapa media AS untuk mengaitkan KTT ASEAN 2023 di Jakarta tahun lalu dengan China’s New Map, nampaknya dimaksudkan sebagai cipta kondisi bagi Washington untuk melakukan kontra aksi terhadap langkah yang dilakukan Cina dengan menggalang negara-negara ASEAN yang selama ini pro AS maupun yang merasa terancam oleh Cina, untuk melakukan aksi bersama membendung meluasnya pengaruh Cina di ASEAN.

Bila tren itu semakin menguat, maka kondisi di lingkungan Laut Cina Selatan yang saat ini relatif damai akan bergolak kembali. Sehingga bisa membahayakan stabilitas dan keamanan di kawasan Asia Tenggara. Akibat AS berupaya secara intensif untuk menarik negara-negara di ASEAN masuk dalam orbit Strategi Indo-Pasifik AS.  Untuk mengimbangi Silk Road Maritime Initiative Cina yang kemudian dikembangkan jadi Belt Road Initiative atao One Belt One Road.

Dalam perspektif analisi Ma Bo, guru besar dari School of Intenational Studies dan asisten direktur dari the Collaborative Innovation Center of South China Sea Studies di Universitas Nanjing, hal ini bukan kali pertama bagi AS untuk memanfaatkan momentum KTT ASEAN sebagai forum untuk mengusung isu Laut Cina Selatan. Seraya mengeksploitasi sengketa wilayah perbatasan antara Cina dan negara-negara tetanggannya di Asia Tenggara, untuk merusak lingkungan yang kondusif bagi Cina untuk membangun wilayah pengaruh di ASEAN.

Dalam kondisi di ASEAN yang saat ini menjadi medan proxy antara AS dan Cina sebagai dua negara adikuasa, Washington nampaknya sama sekali tidak berkepentingan terciptanya Kesatuan dan Soliditas ASEAN sebagai kekuatan kolektif/Collective Power. AS juga sama sekali tidak menginginkan terciptanya Pembangunan Ekonomi yang berkelanjutan/Sustained Growth.

Maka itu Indonesia maupun negara-negara ASEAN lainnya harus tetap menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif, sehingga tidak terbujuk untuk masuk dalam orbit pengaruh AS seperti misalnya dengan bergabung ke dalam blok militer bersama yang berada di bawah pengaruh AS dan NATO seperti persekutuan empat negara QUAD (AS, Australia, Jepang dan India).

Sebaliknya, Indonesia harus mendorong dan berperan lebih pro aktif memperkuat hubungan kerja sama dengan negara-negara yang tergabung dalam Global South.

Perkembangan terkini di Filipina, rasanya cukup mengkhawatirkan. AS berhasil membujuk pemerintah Filipina di bawah Presiden Ferdinand Marcos Jr atau Bongbong, kembali menjadi sekutu strategisnya. Padahal sewaktu masa kampanye pemilihan presiden, Bongbong sempat mengatakan bahwa membiarkan AS masuk ke Filipina, hal itu sama saja membuat Cina jadi musuh anda.

Baca:

Marcos, Back in Arms of U.S., Is Making His Own Name in Foreign Policy

Namun setelah terpilih menjadi presiden Filipina, Bongbong membuat manuver politik luar negeri yang bertentangan dengan ucapannya saat kampanye pilpres. Hanya selang setahun setelah berkuasa, Bongbong kembali menjalin kerja sama erat dengan AS untuk menghadapi Cina. Bahkan segera setelah pelantikan dirinya sebagai presiden, Bongbong langsung bertemu dengan pejabat tingkat tinggi Pentagon dan segera membriefing Bongbong sehubungan dengan aksi militer Rusia ke Ukraina, yang kemudian disetarakan dengan potensi serangan Cina ke Taiwan, yang mana hanya terletak di seberang wilayah perairan Filipina.

Rupanya Bongbong ketakutan juga dengan potensi serangan Cina ke Taiwan yang akan berimbas ke Filipina, sehingga dengan segera Bongbong mengumumkan bahwa AS akan diberi akses untuk membangun pangkalan militer di Filipina.  Bongbong yang saat ini memproleh approval rating 78 persen, nampaknya menggunakan dalih hasil surveI yang menunjukkan kekhawatiran warga Filipina terhadap ancaman dari Cina. Dan hasil surveI juga mendesak Bongbong menjalin hubungan kerja sama yang kian erat dengan AS untuk membendung pengaruh ekspansif Cina. Demikian hasil survei yang diadakan oleh Pulse Asia.

China urges some Philippines ships to immediately cease its infringing actions on November 10, 2023. Two small Philippine transport ships and three Philippine Coast Guard ships illegally entered the area on that day without China's permission. Photo: Visual News

Mencermati perkembangan yang cukup mengkhawatirkan di Filipina tersebut, pada perkembangannya bisa memperluas eskalasi konflik militer bersenjata di Asia Tenggara, khususnya di Laut Cina Selatan.  Keputusan AS untuk memberikan akses kepada AS untuk kembali membuka pangkalan militernya di Filipina, pada gilirannya akan mendorong Cina untuk juga memperkuat kekuatan dan kehadiran militernya secara lebih agresif di Laut Cina Selatan dan Asia Tenggara pada umumnya.

Maka tiada lain bagi Indonesia, sebagai negara terbesar di ASEAN, untuk mengingatkan kembali negara-negara mitranya di Asia Tenggara agar tetap dalam skema Zona Damai, Bebas dan Netral (Zone Peace, Freedom and Neutrality/ZOFPAN). Sehingga bebas dari pengaruh dan campurtangan kekuatan-kekuatan asing yang ditandatangani di Kuala Lumpur, pada KTT ASEAN 1971.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI) 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com