Pada Desember 2023 lalu pemerintah Amerika Serikat merilis apa yang disebut The Extended Continental Shelf Task Force (ECS) atau Landas Kontinen perairan laut AS yang diperluas. Sejatinya ECS adalah badan antar-lembaga yang dipimpin oleh Departemen Luar Negeri AS yang tugas utamanya adalah menentukan batas-batas landas kontinen perairan laut AS.
Lantas, apa yang krusial dari penetapan secara sepihak luas laut AS yang menyatakan bahwa landas kontinen berdasarkan skema ECS bukan merupakan perpanjangan dari Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) hingga 200 mil laut sebagaimana ditetapkan oleh UNCLOS di bawah payung Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dengan kata lain, AS telah melanggar UNCLOS karena telah melampaui batas-betas perluasan wilayah laut sebagaimana sudah ditetapkan oleh UNCLOS pada 1982.
The U.S. Initiates Extended Continental Shelf Claims
U.S. Extended Continental Shelf Project
Masalah semakin pelik ketika AS hingga kini belum meratifikasi Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS). Sehingga dengan belum meratifikasi UNCLOS, maka penyelesaian konflik di Laut Cina Selatan antar AS dengan Cina sebagai dua negara adikuasa di Asia Pasifik, dengan mudah bisa diselesaikan. Sebagaimana disampaikan oleh Hasyim Djalal, mantan diplomat senior Kementerian Luar Negeri RI dan pakar hukum laut: “Saya pikir jika AS meratifikasi UNCLOS di mana mereka bisa berpartisipasi secara aktif dalam negosiasi sejumlah persoalan di Laut Cina Selatan, bukan antara AS-Cina, melainkan juga dengan negara-negara ASEAN di Asia Tenggara. Sehingga bisa diselesaikan dengan lebih menjanjikan daripada sekarang, demikian disampaikan oleh Hasyim Djalal dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia pada Agustus 2020 lalu.
Kekhawatiran Hasyim Djalal yang diutarakan empat tahun lalu, nampaknya terbukti jadi kenyataan sekarang. Melalui pernyataan sepihak Kementerian Luar Negeri AS tentang ECS pada Desember 2023 lalu, pemerintah AS bisa seenaknya saja memperluas ekspansi pengaruh wilayah laut dan batas kontinennya tanpa harus mematuhi UNCLOS Perserikatan Bangsa-Bangsa. Atau dalam frase yang digunakan AS: Penetapan Batasan ECS akan menentukan landas kontinen AS dalam konteks geografis sehingga mampu melampaui 200 mil Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE).
Sepertinya itulah yang jadi dasar kepentingan AS untuk meluncurkan ECS, yang agenda terselubungnya adalah agar Washington memungkinkan melakukan eksplorasi ke wilayah-wilayah terpencil dan belum ada di peta, khususnya di wilayah Arktik yang tertutup es.
Ini sepertinya memang sudah direncanakan secara skematik sejak 2001 ketika Kongres AS memberi arahan kepada Pusat Hidrografi Gabungan (JHC) dari Universitas New Hampshire yang bermitra dengan National Oceanic Atmospheric Administration (NOAA) untuk melakukan penelitian dan mengevaluasi yang relevan dengan pembentukan ECS AS. Studi ini juga dimaksudkan untuk mengidentifikasi sejumlah wilayah wilayah yang memungkinkan AS bisa memperluas landas kontinennya seperti: Pantai Timur Atlantik, Teluk Meksiko, Teluk Alaskan, Laut Bering, Samudra Arktik, Kingman Reef/Palmira Attol, dan Kepulauan Mariana/Guam. Kesemua wilayah yang jadi sasaran ekspansi dan eksplorasi itu luasnya sekitar satu juta kilometer persegi atau dua kali luas California, AS. Sekaligus menguasai setidaknya tujuh kawasan.
Namun di sini pula masalah krusialnya. AS bukan saja tidak punya itikad baik meratifikasi UNCLOS, namun bermaksud melanggarnya secara terang-terangan. Pastinya para penyusun kebijakan strategis keamanan nasional di Gedung Putih menyadari betul bahwa Rusia maupun Cina akan bereaksi keras menolak klaim AS tersebut. Khususnya klaim AS terkait wilayah-wilayah yang berada dalam kawasan Samudra Arktik (Arctic). Bahkan Rusia bertekad akan all out mengamankan kepentingan nasionalnya secara geopolitik di kawasan Arctic.
Bagi Rusia dan Cina memang beralasan untuk gusar dan khawatir. Selain luasnya satu juta kilometer persegi dan meliputi tujuh kawasan, perluasan wilayah lepas pantai berdasarkan skema ECS yang dirilis Washington pada Desember 2023 lalu, praktis membentang dari Samudra Atlantik, Samudra Pasifik dan Teluk Meksiko sebagaimana tergambar lewat peta.
Padahal menurut pasal 76 ayat 8 dari UNCLOS, penetapan batas terluar landasan kontinen batas-batas landas kontinen yang ditetapkan oleh suatu negara di lepas pantai, harus berdasarkan rekomendasi dari The Committee on the Limits of Continental Shelf (CLCS) yang dipayungi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dan keputusannya pun bersifat final dan mengikat.
Maka dengan dirilisnya ECS oleh kementerian luar negeri AS, maka Washington telah melanggar ketentuan UCLOS. Lebih runyamnnya lagi, AS hingga kini belum meratifikasi UNCLOS sehingga merasa tidak terikat ketentuan-ketentuan hukum internasional yang diatur oleh CLCS. Alhasil, AS sejatinya bukan saja telah melanggar UNCLOS, bahkan tindakan AS sama sekali tidak berdasaran hukum internasional.
Manuver Washington dengan merilis ECS di tengah semakin memanasnya persaingan global AS versus Cina di Asia Pasifik, pada perkembangannya bisa meningkatkan eskalasi konflik AS versus Cina-Rusia di Asia Tenggara, Asia Timur dan Asia Tengah. Apalagi jika ECS AS akan memantik sikap yang semakin mengeras di pihak AS maupun Cina sehingga bisa saja pada perkembangannya kedua negara adikuasa pesaing AS tersebut memutuskan untuk keluar dari Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS).
Hal ini berarti, tidak tertutup kemungkinan semakin meningkatnya eskalasi konflik bersenjata di pelbagai kawasan seperti Asia Timur dan Asia Tenggara, Pasifik Selatan, maupun negara-negara yang berada dalam lintasan Jalur Sutra yang melewati Asia Tengah, Asia Selatan maupun Afrika. Saatnya bagi Indonesia dan negara-negara di ASEAN agar tidak memandang situasi dunia internasional seakan masih baik-baik saja.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)