Menguatnya Sentimen Islamophobia di Jerman dan Eropa Barat

Bagikan artikel ini

Semakin menguatnya partai sayap kanan Jerman Alternative fur Deutschland (Alternatif untuk Jerman) pada tingkat nasional setelah berhasil menduduki peringkat kedua setelah Partai Kristen Demokrat, nampaknya memicu kekhawatiran dan ketakutan warga Muslim di Republik Federal Jerman, utamanya warga Imigran. Lantaran partai sayap kanan Jerman itu salah satu programnya adalah mengusung agenda anti-imigran dan Islamophobia. Apalagi ketika Robert Sesselman, calon walikota yang diusung partai AFD, pada Juni 2023 lalu berhasil memenangkan pemilihan walikota Sonneberg dengan meraih 47% suara, lebih unggul 10 persen dari pesaingnya dari Partai Kristen Demokrat. Inilah untuk kali pertama partai sayap kanan Jerman berhasil merebut pimpinan pada tingkat kotamadya.

 

Baca:

Muslims in Germany feel alienated after Hamas-Israel conflict

 

Bagaimana reaksi warga Muslim Jerman seturut semakin menguatnya partai sayap kanan Jerman yang cenderung rasialis dan anti-Muslim? Seorang warga Muslim Jerman, Suleman Malik yang berasal dari Pakistan dan mulai mukim di Jerman secara usia remaja, memang tidak menanggap partai AFD sebagai partai berhaluan fasis atau NAZI, namun ia berkeyakinan bahwa dengan semakin populernya partai AFD mencerminkan adanya ketakutan terhadap perubahan yang berkembang di masyarakat Jerman. Bahwa semakin meningkatnya kaum imigran dari luar Jerman, pada perkembangannya akan menggeser warga lokal Jerman di berbagai sektor.

Menurut Malik, saat ini Jerman merupakan negara penerima kaum imigran asing yang terbesar di Eropa, sehingga warga lokal Jerman merasa khawatir jangan-jangan membanjirnya kaum imigran akan mengubah jatidiri atau ciri khas Jerman.

Sinyalemen Malik sepertinya masuk akal juga. Saat ini menurut beberapa polling, partai AFD menempati peringkat kedua terpopuler di Jerman, dengan meraih 22%. Peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya meraup popularitas sebesar 11%. Dengan menduduki beberapa kursi di parlemen baik di tingkat negara bagian maupun federal.

Begitupun, beberapa partai politik arus utama Jerman sepakat untuk menghalangi terbentuknya koalisi dengan partai AFD, seraya mencegah AFD memiliki kekuasan untuk membuat proses pembuatan kebijakan. Namun demikian peningkatan suara yang cukup signifikan pada Juni-Juli 2023 lalu pada tingkat negara bagian Saxony-Anhalt, apalagi dengan keberhasilan merebut posisi walikota di Sonneberg, sangat masuk akal jika kaum imigran Jerman, utamanya warga Muslim, menaruh kekhawatiran yang cukup besar terhadap semakin menguatnya partai sayap kanan AFD.

Imigran dari negara-negara Muslim di Timur-Tengah ke Jerman semakin meningkat pada 2015, ketika warga masyarakat dari Suriah, Irak dan Afghanistan, berbondong-bondong tiba di negara-negara Uni Eropa, meminta perlindungan politik. Pemerintah Republik Federal Jerman yang kala itu di bawah pimpinan Perdana Menteri Angela Merkel, menerima 1,2 juta pengungsi berdasarkan an Open border policy. Akibat Open Border Policy yang diterapkan pemerintah Jerman, telah memicu kecaman dan protes dari beberapa kelompok sosial di Jerman.  Antara lain kelompok anti-Islam yaitu Pegida. Yang kemudian menggalang ratusan orang melancarkan aksi demonstrasi maupun menyerang para imigran, maupun melancarkan penyerangan terhadap masjid-masjid sepanjang tahun 2016 dan 2017.

Bahkan pada 19 Februari 2020 lalu, dewan pimpinan partai AFD melalui The Atlantic Magazine, menyatakan bahwa yang jadi penyebab keberhasilan partai AFD meraih dukungan popular dari masyarakat Jerman karena AFD mencanangkan slogan: Kami Anti Invasi Islam (We don’t like Islamic Invasion). Bahkan AFD secara tegas menyatakan mengusung Program anti-Muslim.

Maka itu bisa dimengerti jika Aiman Mazyek, sekretaris jenderal  Central Council of Muslim yang berbasis di Jerman, memandang meningkatnya prosentase dukungan terhadap partai AFD baik di tingkat nasional maupun negara bagian, pada perkembangannya akan mengobarkan rasisme dan pada akhirnya juga anti-Muslim di Jerman. Yang lebih buruk lagi, akan memicu prasangka rasial dan potensi meningkatnya serangan-serangan yang dimotivasi oleh kebencian dan sentiment rasial maupun agama terhadap warga imigran non-Jerman. Barang tentu warga masyarakat imigran utamanya warga Muslim di Jerman, merasa terancam keamanan dan jiwanya.

Pengalaman Malik, juru bicara komunitas Muslim Ahmadiya, merasakan langsung rasa permusuhan dari beberapa kalangan kelompok sosial Jerman yang berhaluan sayap kanan, ketika dirinya berperan aktif memprakarsai dibangunnya sebuah masjid baru di Erfurt. Ketika itu, pada 2016, beberapa pemimpin AFD pada tingkat negara bagian, menggalang aksi demonstrasi menentang dibangunnya masjid yang diprakarsai oleh Suleman Malik itu. Bahkan AFD secara terang-terangan mendorong kelompok anti-Muslim Jerman Pegida, agar ikut serta dalam menggalang aksi demonstrasi menentang pembangunan masjid di Erfurt itu. Bahkan pimpinan partai AFD setempat dari Erfurt, Bjorn Hocke, menggambarkan rencana pembangunan  masjid di Erfurt itu sebagai bagian dari upaya jangka panjang kaum Muslim untuk menguasai tanah di Jerman.

Semasa pembangunan masjid itu, Malik sempat mendapat ancaman pembunuhan lewat media sosial maupun via telpon. Adanya aksi dari kelompok sayap kanan baik Pegida maupun AFD, memang sempat memperlambat proses pembangunan masjid. Bahkan beberapa perusahaan kontraktor sempat menolak untuk bekerja bersama Malik. Ketika akhirnya berhasil memperoleh kontraktor melalui salah seorang kawannya, mereka meminta dirinya agar tidak mengumumkan ke publik bahwa dirinya bekerja untuk membangun masjid di Erfurt. Saat ini, masjid itu sudah hampir selesai.

Sekarang kembali ke inti cerita. Menguatnya popularitas partai sayap kanan AFD baik di tingkat nasional maupun di negara bagian, terutama negara bagian Thuringia, nampaknya juga mengundang kekhawatiran Georg Maier, politisi partai Sosial Demokrat Jerman (SPD). Meskipun Maier menilai walikota Sunnerberg Robert Susselman sebagai politisi yang berakal sehat, namun Maier secara frontal menggambarkan Bjorn Hocke, ketua partai AFD dari negara bagian Thuringia, sebagai kelompok eksktrem sayap kanan.

 

Baca:

Germany’s Far-Right Party Is Worse Than the Rest of Europe’s

 

Bahkan Kepala Badan Intelijen Dalam Negeri Thomas Haldenwang, menaruh kekhawatiran besar bahwa sosok macam Bjorn Hocke punya begitu besar pengaruhnya di dalam partai AFD.

 

Bagi kalangan warga imigran dan warga Muslim Jerman pada umumnya, meningkatnya Islamophobia di Jerman pada perkembanganya telah memantik kekhawatiran yang kian meluas di kalangan para pakar Muslim. Sentimen Islamophobia mulai terdeteksi seturut serangan militer Israel ke Gaza. Apalagi ketika para politisi dan berbagai instant di Jerman secara gencar menggalang dukungan berbagai kalangan figur publik untuk mendukung rakyat Palestina.

Kekhwatiran komunitas Muslim maupun para pakar Muslim terhadap semakin menguatkanya sentimen Islamophobia, bukan saja sebatas di lingkup negara Jerman. Kalangan Muslim juga mengkhawatirkan sentimen Islamophobia itu akan meluas ke negara-negara Eropa lainnya. Sebab menurut salah seorang pakar Muslim Mathias Rohe yang meneliti ihwal Islamophobia di Jerman, menyatakan bahwa komunitas Muslim di negara-negara Eropa secara nyata menghadapi diskriminasi sosial akibat sentimen Islamophobia di bidang pendidikan dan pasar tenaga kerja. Hal ini merupakan masalah yang sangat urgent kata Rohe. Dan warga Muslim jangan sampai dibiarkan sendirian tanpa dukungan dalam menghadapi diskriminasi rasial sekaligus sentiment Islamophobia.

Lebih parahnya lagi, menyusul meletusnya perang Israel-Hamas Palestina di Gaza, komunitas Muslim di Jerman dan Eropa merasa semakin terpinggirkan dan terasing. Hal ini disuarakan oleh beberapa perwakilan komunitas Muslim di Jerman. Saat in ini warga Muslim yang mukim di Jerman sebesar 5,5 juta jiwa. Sehingga Jerman boleh dibilang merupakan terbesar penduduk Muslimnya di seluruh Eropa.

 

Baca:

Rise of Islamophobia in Germany Sparks Widespread Concerns From Muslims, Experts

 

Begitulah. Prasangka buruk yang semakin menguat terhadap warga Muslim di Jerman dan Eropa pada umumnya kemudian diikuti dengan proses menyingkirkan dan menafikan aspirasi umat Islam maupun suara kaum Muslim di Eropa, pada perkembangannya telah menciptakan krisis kepercayaan terhadap praktek sistem demokrasi dyang berlangsung di Eropa Barat saat ini.

Ironisnya ketika agresi militer Israel terhadap Hamas meletus pada Oktober 2023 lalu kemudian memicu timbulnya aksi anti-semit di Eropa, umat Islam yang justru seakan harus bertanggungjawab atas aksi anti-semit dari segelintir orang tersebut. Seperti dikatakan oleh Scharjil Khalid, Imam Masjid komunitas Muslim Ahmadia di Berlin, “Para politisi selalu mengatakan bahwa kita tidak boleh mencurigai semua muslim sebagai pelaku anti-semit, pada prakteknya Umat Islam yang selalu dicurigai.”

Sepertinya sentimen Islamophobia makin menjadi-jadi di Jerman dan Eropa. Dan pemerintah Jerman baik di tingkat federal maupun negara bagian, membiarkan saja hal tersebut terjadi. Sebuah laporan yang dibuat oleh the German Center for Integrationa and Migration Research (DeZIM) sebelum meletusnya kontak senjata antara Israel-Hamas, bahwa sejak 2017 terdapat 700 sampai 1000 kasus kejahatan yang bermuatan sentimen Islamophobia yang telah tercatat dan dilaporkan pada pihak kepolisian. Namun dari riset itu juga muncul dugaan kuat bahwa ada banyak lagi kasus serupa yang tidak tercatat di kepolisian.

Namun ada temuan lain yang tak kalah penting, bahwa dari ada satu di antara 2 orang Jerman yang menyetujui adanya pernyataan-pernyataan anti-Muslim yang dikumandangkan oleh para aktivis sayap kanan seperti Pegida atau partai AFD.

Semakin menguatnya tren anti-Islam yang seiring dengan diskriminasi rasial atas dasar perasaan superior sebagai ras kulit putih yang sudah berurat-berakar di Jerman dan Eropa Barat pada umumnya, ada baiknya kita merenungkan kembali pandangan pakar Studi Islam dan Arab dari Universitas Leiden, Christian Snouck Hurgronjepada 8 Februari 1922 di Universitas Leiden, dengan topik: Islam dan Masalah Ras.  Snouck Hurgronje saat itu sudah memperingatkan bahwa terpecah-pecahnya manusia akibat faktor-faktor kekerabatan fisik (ras atau etnik) tertentu lebih cepat membawa dunia ke dalam kesulitan-kesulitan besar. 

Hurgronje saat itu sama sekali tidak bermaksud meramal masa depan, namun apa yang terjadi di Jerman semasa Nazi di bawah kepemimpinan Hitler yang memicu Perang Dunia II, dengan mengusung slogan Jerman Ras Aria yang paling ungguk, apa yang dikhawatirkan Hurgronje saat itu jadi kenyataan. Sebab Hurgonje sebagai akademisi yang cukup tajam analisisnya, sudah melihat gejala semakin menguatnya diskriminasi warna kulit dan ras yang disertai pula dengan tindak kekerasan, intimidasi dan teror. Padahal menurut Hurgronje, ras kulit putih sama sekali tidak lebih tinggi atau lebih unggul daripada peradaban-peradaban lainnya.

Maka itu sangatlah patut kita apresiasi ketika Hugronje menutup pidatonya dengan menegaskan: Bentuk-bentuk egoisme ras dan kesombongan ras dalam hal itu hanya akan menimbulkan masalah. Keberhasilan hanya dapat dicapai jika kita sepenuhnya siap mewujudkan kerja sama antara kulit putih dan kulit berwarna atas dasar prinsip persamaan ras.

Sungguh menarik pidato dan pandangan Hugronje tersebut meski hal itu disampaikan pada 1922 saat masyarakat dan kaum cendekiawan Eropa saat itu pun belum membayangkan bakal meletusnya Perang Dunia II yang salah satu faktor pemicunya adalah diskriminasi rasial yang dikobarkan kanselir  Jerman Adolf Hitler. Dengan begitu kiranya juga tidak terlalu berlebihan jika apa yang mendasari kekhawatiran Hurgronje dalam pidatonya  pada 1922 bisa saja terulang kembali saat ini meski dalam bentuk peristiwa yang berbeda, dan para pelaku yang tentunya berbeda pula.

Sudah saatnya bagi Indonesia maupun negara-negara berpenduduk Muslim di Asia, Afrika dan Timur Tengah, mulai memprakarsai forum-forum pertemuan membahas semakin meningkatnya Islamophobia di Jerman, Belanda, Denmark, Swedia dan negara-negara lainnya di Eropa.

Penting untuk mengangkat agenda pembahasan bahwa menguatnya kelompok politik sayap kanan seperti partai AFD atau Pegeda yang kerap digunakan digunakan sebagai ujung tombak aksi anti-Muslim maupun anti-kulit berwarna di Jerman, sejatinya merupakan isyarat semakin menguatnya  kembali superioritas ras kulit putih terhadap ras kulit berwarna d Jerman maupuni kawasan Eropa umumnya. Jika hal itu semakin menguat, maka sistem politik demokrasi berbasis parlementer multi-partai sudah tidak relevan lagi sehingga cepat atau lambat akan segera kehilangan legitimasinya dalam mewadahi pluralisme dan keanekaragaman ras dan agama.

Dengan begitu, adanya Pusat-Pusat Kebudayaan seperti  Goethe Institut yang beroperasi di pelbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, sangat masuk akal untuk ditinjau kembali  visi-misi dan efektivitas perannya sebagai sarana untuk menjalin saling pengertian antar-bangsa melalui kerja sama dan pertukaran budaya.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com