Membaca puisi, cerpen, novel, berbeda dengan membaca buku-buku ilmu sosial atau filsafat. Teori ilmu politik atau buku ilmu ekonomi, seperti karya Jonh Edwar Kaynes atau Adam Smith kita musti lebih serius.
Membaca karya sastra bisa sambil tiduran, bisa juga sambil berak di kamar mandi, bahkan bisa pula sambil berdiri berdesakkan di atas transportasi umum.
Membaca puisi, novel atau cerpen, bisa sambi lalu, karena kita kadang hanya ingin mengerti ceritanya. Apalagi kalau novelnya hanya 300 halaman, bukunya bisa ditekuk ketika kita sedang baca di atas kereta atau bis. Ringan dan mudah dibawanya. Kecuali novel tebal, 1000 halaman, seperti Musashi, karya Eiji Yoshikawa atau TAIKO, novel Eiji yang tebalnya seribu halaman lebih.
Membaca novel dulu, awalnya saya hanya ingin tahu detail ceritanya, kehidupan tokoh-tokohnya, struktur novel tersebut. Sekarang agak lain. Saya menikmati kalimat demi kalimat, terutama novel karya tokoh-tokoh posmodernisme, seperti karya-karya Milan Kundera.
Dengan menikmati kata-kata, diksi atau susunan kalimat demi kalimat, saya menikmati bahasa. Bahasa yang digunakan penulis novel tersebut. Ada kenikmatan yang saya peroleh dengan membaca kalimat demi kalimat itu dalam novel tersebut. Seorang penulis novel yang baik, pemilihan diksi, kalimat dan cara membuat struktur kalimat memang mengagumkan.
Kalau hanya ingin tahu kisahnya, cerita akhirnya dan ending dari novel tersebut itu bukan pekerjaan sukar. Baca saja, kita akan tahu kisahnya dan ending dari novel itu. Tetapi kalau tujuannya ingin menikmati keindahan kalimat demi kalimat kita perlu fokus membacanya dan tidak bisa sambil lalu.
Kalimat yang membentuk alinea, aliinea yang membentuk struktur cerita, cerita yang bagus itu yang sekarang saya nikmati . Saya pelan membacanya, menikmati kalimat, membutuhkan waktu lama, lama sekali. Novel karya-karya Eiji Yoshikawa, satu judul 4 sampai 5 bulan selesainya, karena membaca novel yang banyak halamannya, dan yang ingin saya ketahui tidak sekedar isi ceritanya dan tokoh-tokoh dalam novel itu, tetapi bagaimana saya merasa senang menikmati kalimatnya.
Itulah refleksi saya akhir-akhir ini dengan membaca karya sastra, terutama novel dan cerita pendek.
Bambang Isti Nugroho, Pengiat Seni Budaya, Tinggal di Yogyakarta