Catatan Geopolitik atas/akan Dibukanya Empat Jalur Perdagangan Baru
Merujuk judul dan clue di atas, saya memberanikan diri menyebut jalur baru kelak (yang akan kita bahas) dengan istilah ‘Jalur Kontra Jalur Sutra’. Itulah prolog tulisan tak ilmiah ini, sekaligus sebagai asumsi untuk mengurainya.
Geopolitik mengajarkan, bahwa motif dan urgensi mendasar peperangan apapun, semata-mata faktor (geo) ekonomi. Dimanapun. Kapanpun. Entah di tingkat lokal, regional, apalagi di level global. Ketika ada perang antaretnis, misalnya, atau konfik antarkelompok, antarnegara dll maka itu hanya tema belaka. Sekedar agenda. Sebab, skema besarnya ialah geoekonomi.
Jadi, konflik Ambon, konflik Dayak melawan Madura, konflik Budha radikal versus etnis Rohingya di Myanmar, perang di Afghanistan, di Irak, Syria, konflik Rusia – Ukraina, ataupun peperangan di Gaza sekali pun, motifnya tidak lain karena geoekonomi.
Lantas, apa sebenarnya geoekonomi itu?
Terlalu panjang jika mengutip satu persatu pendapat para ahli tentang geoekonomi. Selain akan banyak versi, substansinya toch juga sama.
Menurut KBBI, geoekonomi ialah faktor ekonomis dan geografis yang berpengaruh terhadap perdagangan internasional. Itu poin utama. Artinya, geoekonomi tidak melulu harus komoditas perdagangan yang bernilai ekonomis. Tak begitu tafsirnya. Bahkan (geo) posisi suatu selat yang bernilai strategis karena terletak di jalur perdagangan dunia pun tergolong geoekonomi. Terusan Suez misalnya, atau Selat Hormuz, Red Sea, Selat Malaka, Bab el-Mandab, Laut China Selatan, dan lain-lain.
Jadi, geoekonomi itu tak selalu komoditas (rempah, emas, minyak, gas dll), tetapi posisi strategis suatu wilayah/tempat juga masuk geoekonomi. Isu Rohingya misalnya, tiba-tiba wilayahnya berubah strategis karena di bawah permukaan dibangun pipa minyak dan gas yang menghubungkan antara Kunming, China dengan/ke Pelabuhan Kyaukpyauk, Myanmar. Atau, Jalur Gaza semakin strategis di mata Rezim Zionis karena akan dibangun Kanal Ben Gurion oleh Israel —konon kanal itu mampu menyaingi Terusan Suez— dan projek kanal tersebut, ternyata melintasi Jalur Gaza.
Apa boleh buat. Setiap tujuan niscaya membawa korban. Itu sudah jamak di dunia (geo) politik. Maka kedua entitas tadi, baik etnis Rohingya maupun warga Gaza pun ditumbalkan dan ‘diusir’ dari tanah yang mereka tempati sejak nenek moyang mereka. Nah, kedua lokasi tersebut — itulah geoekonomi dari perspektif geopolitik.
Sekarang membahas Jalur Sutra selaku geoekonomi dalam konstelasi geopolitik global. Tak pelak. Sejak Perang Dunia (PD) I, PD II, dan perang-perang lain ternyata berkutat di Jalur Sutra dan sekitarnya. Singkatnya, itu peperangan memperebutkan (geoekonomi) Jalur Sutra.
Apa dan mengapa Jalur Sutra diperebutkan oleh para adidaya dari masa ke masa?
Awalnya, Jalur Sutra ialah sebuah jalur perdagangan darat dari China, Asia Tengah, Timur Tengah, Afrika Utara, hingga Maroko sepanjang 1000-an Km. Rute perdagangan antarnegara dan lintas benua. Jalur itu membelah antara Dunia Barat dan Timur.
Menurut Wikipedia, Jalur Sutra dibagi menjadi dua: Jalur Utara dan Jalur Selatan. Rute utara melewati Bulgar-Kipchak ke Eropa Timur dan Semenanjung Crimea, Laut Hitam, Laut Marmara, kemudian ke Balkan ke Venezia; sedang rute selatan melewati Turkistan-Khorazan menuju Mesopotamia dan Anatolia, Laut Tengah, melalui Levant ke Mesir dan Afrika Utara. Jalur rel yang sempat hilang pun, kini sudah dibuka kembali pada 1992 yang menghubungkan Almaty-Urumqi.
Ada pepatah kuno, siapa menguasai Jalur Sutra maka akan menjadi kunci pengendali dunia. Mungkin, inilah motif kenapa para adidaya berebut pengaruh di Jalur Sutra. Ya. Disebut Jalur Sutra karena komoditas unggulan kala itu adalah kain sutra.
Sedang the New Silk Road alias Jalur Sutra Baru merupakan pengembangan jalur lama, karena tidak hanya melalui darat, tapi juga lewat laut alias jalur perairan. Perbedaan antara jalur lama dan baru tersebut selain terletak pada negara-negara yang terlibat, rute yang dilalui, juga teknologi dan prasarana yang dipergunakan.
Bung Karno (BK) menyebut Jalur Sutra ini dengan istilah ‘Garis Hidup Imperialisme’.
“Garis itu terbentang mulai Selat Gibraltar, melalui Laut Tengah, Terusan Suez, Laut Merah, Lautan Hindia, Laut China Selatan sampai Laut Jepang. Daratan sebelah-menyebelah garis hidup yang panjang itu sebagian besar adalah tanah jajahan. Rakyatnya tidak merdeka. Hari depannya terabaikan kepada sistem asing. Sepanjang garis hidup itu, sepanjang urat nadi imperialisme itu, dipompakan darah kehidupan kolonilisme,” papar BK.
Barangkali, paparan BK soal Garis Hidup Imperialisme menjadi inspirasi bagi publik global terutama Imperium Barat cq Amerika Serikat (AS) untuk mengembangkan Jalur Sutra Laut seperti yang kini berlangsung. Termasuk mendirikan choke points pengendalian melalui penyebaran pangkalan militer dan armada-armada (US Command) di seputaran Jalur Sutra. Armada Ke-7 misalnya, didirikan di Yokosuka, Jepang dengan fokus pengamanan di Selat Malaka dan Laut China Selatan; atau, Armada Ke-5 guna mengamankan jalur energy security di Selat Hormuz, Iran, selat paling sibuk di dunia, dan lain-lain. Belum lagi ribuan pangkalan militernya yang tersebar dimana-mana. Tujuannya mengamankan jalur energy security, mempertahankan dan memperluas hegemoni AS di Jalur Sutra.
Sesuai clue dan judul tulisan di atas, tampaknya dinamika geopolitik di abad 21 akan/tengah membidani jalur laut baru di luar Jalur Sutra meskipun masih ada irisan – irisan kecil dengan Jalur Sutra. Nah, jalur baru tersebut niscaya akan mengubah pola jalur perdagangan serta investasi global. Dan diperkirakan selesai dalam satu atau dua dekade mendatang.
Adapun jalur baru dimaksud, antara lain sebagai berikut:
Jalur I: Kra Thailand. Ya. Jalur sepanjang 102 Km nantinya mampu memangkas sekitar 1200 Km daripada melewati Selat Malaka. Banyak negara diuntungkan dengan hadirnya Kra Thailand kelak;
Jalur II: International North South Trade Corridor (INSTC) menghubungkan Rusia – Eropa Timur – Timur Tengah – Afrika Utara – Asia Tengah – Iran dan India;
Jalur III: Rute Laut Artik; dan
Jalur IV: Pembaruan Jalur Sutra (Renewed Silk Road) yang menghubungkan antara China – Pakistan – Asia Tengah – Iran dan Afrika.
Pertanyaannya adalah, ” Apa dampaknya bagi geopolitik serta geostrategi global, dan bagaimana layaknya Indonesia bersikap?”
Jalur I akan membuat Pelabuhan Sabang hidup kembali. Di sini, pemerintahan baru pasca Jokowi seyogianya bisa menangkap peluang ini;
Jalur II niscaya mengakibatkan pantai Barat Sumatera lebih hidup seperti era sebelum Terusan Suez dibangun;
Jalur III akan mengakibatkan jalur pengapalan energi dan perdagangan antara Rusia, Baltik dan Eropa Timur ke Asia Timur bakal lebih pendek;
Jalur IV mengakibatkan terbuka serta pesatnya perdagangan antar Rusia – China versus Asia Tengah, Asia Selatan dan Afrika. Dan ketiga jalur baru tadi belum tereksploitasi secara optimal oleh Indonesia.
Yang paling utama dan pokok, bahwa keempat jalur baru di atas di luar kendali Barat khususnya AS yang selama ini menempatkan armada perang dan pangkalan militernya dalam rangka mengkontrol choke points tersebut.
Simpulan prematurnya, bahwa beroperasinya keempat jalur baru kelak, entah secara simultan atau bersama-sama bakal mengubah pola perdagangan dan investasi global yang justru keluar dari domain Barat. Maka, ada tiga pilihan bagi Indonesia: 1 tetap bersolo karir dengan Non Blok-nya; 2 bergabung dengan BRICS; atau 3 memilih OECD?
Semoga catatan ini menginspirasi para elit dan para calon pengambil kebijakan di republik ini.
Demikianlah adanya, demikian sebaiknya.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments