Mengenal Sosok Katharine Meyer Graham

Bagikan artikel ini

Katherine Graham, pemimpin umum harian Washington Post antara 1963-1991 Dan pemilik harian terkemuka Amerika tersebut hingga akhir hayatnya pada 17 Juli 2001 lalu. Dalam usia yang cukup lanjut, 84 tahun.

Apa segi menarik dari cerita tentang Katherine Graham dengan sapaan akrab Kay ini? Pesan sentral cerita simpel saja. Jangan anggap remeh emak-emak atau ibu rumah tangga biasa. Sebab siapa tahu kelak, akan membuat sejarah.

Katharine Meyer Graham, merupakan putri dari pemilik surat kabar Washington Post, Eugene Meyer. Ketika Kay menikah dengan Philip Leslie Graham, Eugene Meyer menyerahkan pengelolaan Washington Post kepada Phil, anak menantunya dan Kay. Hanya saja, seperti penuturan . dalam biografinya, Personal History, suaminya dapat kepemilikan saham yang lebih besar daripada istrinya.

“Tak pantas seorang suami bekerja untuk istrinya,” Eugene memberikan alasan,” begitu kira kira Eugene ngasih alasan kepada putrinya. Kay boleh dibilang sudah dari sananya anak orang kaya raya. Sedangkan Phil, suami Kay, orang dari kalangan sederhana. Meskipun lulusan fakultas hukum Universitas Harvard.

Tapi mungkin karena kufur nikmat, Phil yang sudah diserahi mengelola perusahaan media Washington Post, gaya hidupnya acak adul. Tukang minum, main perempuan, dan sebagainya. Dah gitu, dalam mengelola Washington Post, merugi terus. Untung aja bapak mertuanya masih berbaik hati menopang keuangan Washington Post, sehingga tidak bubar tengah jalan.

Singkat cerita, di tengah kegalauan Phil yang gagal membikin Washington Post meroket, tiba-tiba pada 1963 Phil alami depresi, lalu mati bunuh diri di kamarnya. Tragedi buat Kay dan anak-anaknya. Namun di sinilah titik balik kehidupan Kya Meyer Graham.

Begitu suaminya meninggal, maka tak pelak Kay, yang sejak suaminya mengelola Washington Post,cuma ibu rumah tangga dan pendukung suami dari belakang layar, sontak harus mengambil alih Washinton Post. Bahkan bukan Washington Post saja. Juga majalah Newsweek, beberapa stasiun radio dan televisi, serta beberapa media lain.

Dan satu hal lagi. Sontak dia menyadari bahwa Kay merupakan satu-satunya perempuan di jajaran struktur manajemen Washington Post.

Bisa dibayangkan toh. Ibu rumah tangga, emak-emak yang hari-harinya antar jemput anak ke sekolah, nyiapin masak buat suami dan keluarga, tiba-tiba jadi pemimpin umum sebuah media besar yang hanya bisa ditandingi oleh New Yor Times.

Dalam situasi galau kayak gini, di sinilah pentingnya masukan dari sahabat akrab. Salah satunya adalah Luvie Pearson. Luvie bilang: “Tentu saja kamu mampu…. Di tubuhmu ada semua gen itu. Semua kemampuanmu hanya terpendam sangat lama sehingga kamu tak sadar apa yang kamu mampu lakukan.”

Rupanya frase kalimat Luvie merasuk benar dan menyugesti dirinya. ” Semua kemampuanmu hanya terpendam sangat lama sehingga kamu tak sadar apa yang kamu mampu lakukan.” Artinya Kay nyadar jangan jangan memang dirinya punya kekuatan dan kemampuan yang dia sendiri tidak sadari sebelumnya.

Kalau kata pakar psiko-analisis, seseorang begitu menyadari arkitepe-nya atau pola dasar kejiwaannya, maka lambatlaun akan mengenali talenta atau bakat khususnya. Maka Kay sejak itu memutuskan belajar segala hal soal bisnis media dan dapur redaksi.

Dibantu oleh tangan kanannya di redaksi, Benjamin ‘Ben’ Bradlee, dan sepasukan reporter yang tangguh, Kay menyulap Washington Post dari koran biasa-biasa saja dan beberapa kali nyaris bangkrut menjadi koran paling berpengaruh di jantung kekuasaan Amerika bersama New York Times dan Wall Street Journal.

Sejarah politik sebuah bangsa, seringkali seiring sejalan dengan garis tangan atau takdir seseorang. Di masa kepemimpinan Kay dan pemimpin redaksi Ben Bradlee, muncul sebuah peristiwa yang kelak menjadi jalan takdir Washington Post menjadi koran yang disegani di Amerika, karena membongkar skandal Watergate.

Dua wartawan muda Washington Post, Carl Bernstein 27 tahun, dan Bob Woodward 28 tahun, melalui liputan investigasi yang panjang dan penuh ketekunan serta keberanian, berhasil menyingkap adanya tindak kecurangan pemilu yang bukan saja dirancang oleh orang-orang dekat Presiden Nixon, bahkan juga oleh sang presiden sendiri.

Akibat dari hasil liputan investigatif Washington Post, bukan saja memantik pengembangan dan pendalaman berita lebih lanjut oleh media media lainnya, bahkan memantik Kongres untuk membentuk pansus dan mengadakan penyelidikan menyeluruh termasuk orang-orang dekat Presiden Nixon di Gedung Putih.

Karena fakta-fakta yang tak bisa dielakkan lagi kebenarannya, Presiden Nixon mengundurkan diri dari kepresidenan, dan menyerahkan kepada wakil presidennnya, Gerald Ford. Setelah merasa bahwa hasil penyelidikan kongres pada akhirnya akan memaksa Nixon lengser jadi presiden.

Memang benar, bahwa jasa terbesar penyingkapan Watergate terletak pada diri dua wartawan muda tadi, Woodward dan Bernstein. Begitu juga atas dorongan, restu dan arahan strategis dari redaktur kota Barry Susman, redaktur pelaksana Howard Simon dan juga pemimpin tertinggi keredaksian, Ben Bradlee.

Pembalasan dendam Presiden Nixon ini membuat The Post berdarah-darah. Harga sahamnya terjun bebas dari semula US$ 38 terpangkas menjadi US$ 16. Kay dan manajemen The Post juga mesti merogoh kantong lumayan dalam untuk membayar tim pengacara untuk menyelamatkan izin stasiun televisi. Seorang teman, Andre Meyer, memperingatkan Kay.

“Aku serius. Kamu jangan pernah sendirian,” kata Andre. Melihat pembalasan Nixon, Kay cemas juga terhadap masa depan The Post. “Aku sudah pernah melihat kemarahan Gedung Putih sebelumnya, tapi tak pernah menyaksikan yang seperti ini,” Kay menulis dalam bukunya.

Meski terus ditekan, Kay dan wartawan Washington Post tak menyerah. Mereka terus memimpin dalam pemberitaan skandal Watergate. Kegigihan itu terbayar lunas pada 9 Agustus 1974. Menghadapi kemungkinan tak bakal lolos dari pemakzulan, Presiden Nixon memutuskan mengundurkan diri.

Namun di balik kegigihan, ketekunan dan keberanian Washington Post untuk terus berjuang mengungkap kejahatan politik di balik skandal Watergate yang semula dikira hanya kasus kriminal biasa seperti pembobolan markas Demokrat. Dan ternyata berkembang informasi bahwa ini merupakan konspirasi tingkat tinggi Gedung Putih untuk mencurangi hasil pemilu. Maka kekuatan batin dan spiritual di balik Washington Post adalah Katherine Meyer Graham.

Dialah yang tetap gigih dan bertahan di tengah badai serangan teror Gedung Putih untuk menghentikan liputan investigasi Washington Post. Dan inilah yang di luar perhitungan politis Nixon dan para kroninya. Cara pandang seorang emak emak dan ibu rumah tangga yang secara naluriah melindungi anak-anaknya dan keluarga jika menghadapi ancaman, membuat Washinton Post tetap tegar dan penuh keberanian menghadapi teror kekuasaan.

Satu ketika, Nixon dan para kroninya, memerintahkan pengadilan untuk atas nama kewenangan pengadilan, memaksa para wartawan menyerahkan semua dokumen dan hasil liputan investigasi Woodward dan Bernstein. Namun Bradlee sebagai pemimpin redaksi dengan tegas menolak menyerahkan dokumen-dokumen  tersebut.

Ketika pihak pengadilan mengancam akan memenjarakan kedua wartawan Post itu, Kay dengan gagah berani mengatakan, kalau ada yang harus masuk penjara, biar saya saja. Saya bersedia masuk penjara demi kalian (maksudnya awak redaksi Post).

Begitulah. Sejarah membuktikan Nixon yang digdaya dan penuh kuasa, akhirnya bertekuk lutut pada seorang emak-emak. Kay Meyer Graham.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com