Dari Musyawarah ke Bitingan

Bagikan artikel ini

M. Djoko Yuwono, Wartawan Senior

Dalam sebuah diskusi saya menguraikan bahwa sila ke-4 Pancasila menghendaki pemilihan pemimpin melalui musyawarah oleh orang-orang yang hikmat dan bijaksana, bukan melalui pemungutan suara, ada yang bertanya, “Kalau begitu tradisi pemilihan kepala desa selama ini tidak sesuai dengan sila ke-4 Pancasila, dong? Kan kepala desa dipilih langsung oleh penduduk desa, bukan oleh lembaga perwakilan penduduk desa?”

Begini: tradisi pemilihan kepala desa itu dulunya menggunakan sistem musyawarah mufakat. Baru setelah kedatangan Belanda, sistem itu berubah.

Awalnya, desa-desa dulu dihuni oleh puluhan keluarga yang masih memiliki keterikatan keluarga alias kerabat. Di antara 10 keluarga itu bermusyawarah dan bermufakat untuk menunjuk seorang pemimpin. Pemimpin yang terpilih disebut PANEPULUH. Kriteria pilihan didasarkan pada usia, kecakapan, pengalaman dan kesaktian, mengingat seorang Panepuluh harus bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban warga yang dipimpinnya.

Di beberapa tempat, seorang Panepuluh disebut Danyang apabila dia orang pertama yang berdomisili di desa bersangkutan. Di desa-desa lain di luar Jawa, penamaan dan sebutan kepala desa disesuaikan dengan adat, budaya, dan kearifan lokal masing-masing.

Selain Panepuluh, ada lagi yang disebut PANATUS, yakni orang yang memimpin 100 kepala keluarga. Tata cara pemilihannya juga menggunakan musyawarah untuk mencapai mufakat, diwakili oleh masing-masing kepala keluarga. Kriterianya: cukup usia, bijak dalam bertindak, memahami adat-istiadat penduduk desa yang dipimpinnya, memiliki kelebihan dalam hal kesaktian.

PANEWU, yaitu pemimpin sebuah desa yang telah dihuni oleh 1.000 kepala keluarga. Cara pemilihannya masih dengan cara musyawarah dan mufakat, dengan kriteria jauh lebih ketat daripada kriteria seorang Panepuluh dan Penatus. Sebab, seorang Panewu ketika meninggal dunia akan digantikan oleh anak tertua laki-laki untuk melanjutkan estafet kepemimpinannya.

Sejak kedatangan Belanda, tata cara itu berubah. Dengan tetap memberi otonomi kepada desa seluas-luasnya (menyangkut kelestarian hak adat, hukum adat dan adat-istiadat yang berlaku secara turun-temurun di masing-masing desa), tata cara pemilihan kepala desa tak lagi dilakukan secara musyawarah dan mufakat, melainkan secara langsung oleh seluruh penduduk desa yang telah dewasa dan dianggap cakap hukum.

Model pemilihan kepala desa yang paling sederhana pada zaman penjajahan Belanda adalah dengan cara masing-masing pemilih dan pendukung calon kepala desa membuat barisan adu panjang di lapangan, sehingga memunculkan pendukung inti yang disebut GAPIT.

Kepala desa terpilih adalah yang barisan pemilih/pendukungnya paling panjang. Model pemilihan seperti ini rawan sekali konflik horizontal secara terbuka antara pendukung calon yang satu dengan calon lainnya, sehingga dalam perkembangan selanjutnya (untuk mencegah adanya konflik terbuka antarpendukung) maka model pemilihan kepala desa dilaksanakan dengan pemilihan langsung secara tertutup.

Pemungutan suara dilaksanakan dengan menggunakan lidi (bahasa Jawa = biting). Penduduk desa yang berhak memilih dibagi-bagi biting itu, untuk dimasukkan pada bumbung yang telah diberi gambar sesuai dengan gambar calon kepala desa, misalnya gambar pisang untuk calon A, gambar kelapa untuk calon B, gambar jagung untuk calon C dan sebagainya.

Hasil pemungutan suara dihitung berdasarkan jumlah lidi pada masing-masing bumbung. Itulah awal-mula sistem pemilihan kepala desa, dari proses musyawarah hingga pemungutan suara terbanyak alias BITINGAN.

Seiring perkembangan demokrasi liberal, pemilihan kepala desa kini pun semakin terbuka, si calon menawarkan diri, mengemis-ngemis suara penduduk desa, dengan iming-iming aneka macam dengan target untuk dipilih. Tak ada kearifan di sana. Akankah ini kita teruskan? ( * )

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com