Indrawati Soegandi, Ikatan Cendikiawan Marhaenis
Ketika membaca Journal The Global Review edisi “Revitalisasi Dasa Sila Bandung 1955” rasanya seperti ditampar tersentak sekaligus diingatkan karena masih ada anak-anak muda yang mampu begitu dalam melihat mengamati kerangka berpikir Founding Fathers kita yang begitu maju melampaui batas umurnya.
Teman-teman muda ini mampu mengkonstruksikan dan memahami kesadaran pikir Bapak Pendiri Bangsa ini sebagai satu kesatuan sejarah bangsa. Founding Fatherskita memiliki pemahaman geopolitik negerinya jauh sebelum kita-kita yang hidup di zaman modern ini memahaminya, dimana beliau-beliau itu mampu memprediksi apa dan bagaimana yang akan dilakukan oleh negara-negara imperialis terhadap negara-negara berkembang dan bagaimana menghadapi, melawan imperialisme ketika itu dan selanjutnya.
Konferensi Asia Afrika 1955 adalah salah satu jawaban untuk menghadapi dan melawan imperialisme tersebut meskipun kala itu Indonesia baru 10 tahun merdeka tetapi telah mampu sebagai pemrakarsa untuk terselenggaranya Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung. Meskipun kala itu Indonesia masih dalam kondisi sebagai Negara berkembang, dan Sedang Membangun, namun tidak menjadikan Indonesia “Minder” di mata dunia. Terbukti setelah Konferensi Asia Afrika 1955, berlanjut dengan Gerakan Non Blok, dan membangun tatanan dunia baru yang dikenal dengan “To Build The World a New” pada tahun 1960 melalui Pidato Bung Karno dalam Sidang Umum PBB di New York Amerika Serikat yaitu suatu gagasan tatanan baru dunia bersama Negara-Negara berkembang yang baru merdeka waktu itu yang dilanjutkan dengan “Game of The New Emergencing Forces” yang diadakan tahun 1962 di Jakarta – Indonesia. Suatu Pesta Olahraga diikuti oleh Negara-negara dari Asia dan Afrika.
Enam puluh tahun setelah KAA 1955 berlalu, dari 25 Negara peserta waktu itu, setelah satu dasawarsa kemudian beberapa Negara peserta tersebut telah menjadi Negara Maju – Makmur antara lain : Republik Rakyat Cina, yang ternyata melaksanakan Trisakti Bung Karno Indonesia : Mandiri dalam politik, Ekonomi dan Budaya yang tercermin dalam lambang Negaranya sekarang yaitu Bintang Lima : yang terdiri dari 1 Bintang besar dikelilingi 4 bintang kecil-kecil, menunjukkan negara sejahtera yang terinspirasi dari Falsafah Pancasila.
Menarik sekali jika dicermati Perdana Menteri Cina waktu itu Chou Enlai, pada kehadirannya di KAA 1955 Bandung, bahwa Cina hadir dalam Konferensi KAA 1955 tidak untuk mencari musuh tetapi membangun solidaritas diantara bangsa-bangsa Asia dan Afrika dan kami ingin bekerja sama serta belajar membangun kerjasama bangsa-bangsa dari Negara-negara berkembang.
Ini membuktikan bahwa spirit Dasa Sila Bandung 1955 menjadi dorongan atau acuan bagi Cina waktu itu membangun negerinya menjadi seperti yang sekarang ini. Oleh karena itu merupakan pertanyaan yang wajar dan mendasar apakah terminologi “Negara Berkembang masih Relevan melekat kepada Negara-negara yang hadir ketika KAA 1955” itu ? Jika kenyataannya dewasa ini dua dasawarsa setelah tahun 1955 beberapa Negara peserta kala itu sudah makmur sejahtera? Padahal istilah “Negara Berkembang” adalah yang dikonsepkan oleh Negara-negara Maju / Barat kepada Negara-negara berkembang di kawasan Asia dan Afrika sejak setelah Perang Dunia Kedua dalam abad ini. Apakah pandangan demikian masih relevan sekarang ini.
Sudah waktunya dalam Peringatan 69 Tahun KAA 1955 spirit Dasa Sila Bandung 1955 menjadi landasan yang harus benar-benar diaktualisasikan sesuai dengan perkembangan dunia sekarang ini dan kedepan bagi pemecahan persoalan-persoalan (konflik global), dan memelihara Perdamaian Dunia sebagai bagian penting dari Peradaban Manusia. Hal-hal tersebut seyogyanya peran penting Pemerintah Indonesia harus memprakarsai dan mendorong aktualisasi spirit Dasa Sila Bandung 1955 yang diperluas dan dipertegas dalam bentuk “Consensus Bandung Spirit Beyond 2015”, sebagai Counter Skema melawan Imperialisme, dan Neokolonialisme yang setiap saat bisa berubah bentuk dengan gaya baru disesuaikan dengan pola kebutuhan dari Negara-negara Imperialis sekarang ini.
Adanya distorsi sejarah bangsa di tahun 1965, selama lebih dari 3 dekade menyebabkan sebagian kita “Amnesia” terhadap pokok-pokok Pakem berbangsa, bernegara sebagai warisan The Founding Fathers yaitu Undang-Undang 1945, Falsafah Dasar Negara Pancasila, Bhinneeka Tunggal Ika termasuk karya-karya besar Founding Fathers antara lain Konferensi Asia Afrika yang menghasilkan Dasa Sila Bandung 1955 dan lain-lain yang disebut sebelumnya.
Namun perjalanan sejarah kini menunjukkan bahwa warisan The Founding Fatherstersebut di atas tetap kokoh dan relevan dalam menjawab tantangan masa kini meskipun dengan melalui cobaan/konspirasi dan lain sebagainya.
Pernah dikatakan oleh Duta Besar Palestina untuk Indonesia pada akhir 1999 dalam suatu Seminar, bahwa di Palestina bukanlah Perang Agama, tetapi adalah perang memperjuangkan kemerdekaan Negara Palestina. Diakuinya pula bahwa Palestina belajar dari Falsafah Pancasila yang digali oleh Bung Karno. Tetapi sungguh tragis Falsafah Pancasila 5 tahun terakhir ini dipecah-pecah menjadi 4 pilar yang mereduksi makna Filosofis dari Pancasila sebagai Dasar Negara. Suatu hal yang penting ternyata bahwa Cina berhasil makmur sejahtera meninggalkan dan menanggalkan lambang “Palu Aritnya” justru karena terinsipirasi dan terdorong oleh gagasan TRISAKTINYA-BUNG KARNO dan Falsafah Pancasila.
Oleh karena itu sudah saatnya sekarang spirit Dasa Sila Bandung 1955 yang diperkuat dan diperluas agar menjadi acuan konkrit bagi tatanan dunia membangun Perdamaian Abadi terlepas dari Hegemoni Imperialisme, Eksploitasi dan Penghisapan dari Negara yang menamakan diri Negeri Adi Kuasa dengan menciptakan kehidupan yang berkeadilan bagi segenap bangsa-bangsa di dunia.