Hasil Survei dan Quick Count Dapat Dipercaya?

Bagikan artikel ini

Toni Sudibyo, peneliti di Forum Dialog Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI)

Menjelang Pemilu Legislatif 9 April 2014, banyak beredar atau diberitakan tentang berbagai macam hasil survei terkait prediksi hasil suara ataupun capres yang menjadi pilihan warga masyarakat. Diantara berbagai hasil survei tersebut ada kemungkinan hasilnya akurat karena dilaksanakan dengan metodologi penelitian kuantitatif yang benar, namun tidak menutup kemungkinan juga terjadi kesalahan mendasar bahkan hasil survei hanya untuk “menyenangkan yang menyuruhnya”.

Belum lama ini di Jakarta, sebuah lembaga survei mengumumkan hasil surveinya yang menyebutkan tingkat elektabilitas yang dihasilkan surveinya yaitu PDIP 21,8%, Partai Golkar 18,1%, Partai Hanura 11,3%, Partai Gerindra 11,1%, Partai Demokrat 6,7%, PKB 5,7%, PKS 3,7%, dan PPP 3,5%. Survei dilakukan 26 Februari s.d. 6 Maret 2014 secara nasional dengan wawancara dan kuisoner terhadap 1.240 responden. Masih menurut hasil survei, Partai Hanura menunjukkan perkembangan elektabilitas yang paling signifikan dibandingkan 11 partai lainnya. Partai Gerindra dalam 6 bulan terakhir juga stabil berada di elektabilitas 2 digit. Selain faktor sosialisasi yang sangat massif, trend positif Partai Hanura dan Partai Gerindra juga imbas dari merosotnya dukungan terhadap Partai Demokrat dan PKS dalam beberapa bulan terakhir. Berdasarkan temuan survei, banyak simpatisan Partai Demokrat dan PKS pada Pemilu 2009 mengaku akan hijrah ke Partai Hanura dan Partai Gerindra serta partai-partai nasionalis lainnya seperti PDIP dan Partai Golkar. Selain itu, pemilih di Indonesia cenderung berorientasi kepada sosok presiden yang berlatar belakang militer.

Sebelumnya tanggal 9 Maret 2014 di Jakarta, dua lembaga survei mengumumkan hasil surveinya tentang prediksi partai yang akan memenangi Pemilu 2014. Dalam survei yang dilakukan pada 10 s/d 12 Februari 2014 dengan jumlah responden 1.520 di 66 daerah pemilihan dengan tingkat kepercayaan sebesar 95% menunjukkan tidak ada partai yang dominan hingga meraih 25% suara. PDI Perjuangan akan bersaing ketat dengan Partai Golkar yang diprediksi mengumpulkan 15% suara. Selain itu, terdapat 8 partai yang masuk ke perlemen dan 2 partai (PBB dan PKPI) yang gagal memperoleh suara di atas ambang batas perlemen. Kampanye yang dilaksanakan dalam sepekan masih berpotensi mengubah perolehan suara. Kekuatan sosialisasi, iklan, atribut dan tim sukses akan membantu menggaet pemilih. Berdasarkan UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden, syarat menggusung calon presiden adalah 20% kursi perlemen atau 25% suara sah nasional.
Hasil Survei Dapat Dipercaya ?

Menjadi sangat wajar jika beberapa kalangan mempertanyakan apakah hasil survei dapat dipercaya, karena ada beberapa hasil survei yang sudah berani “memvonis” parpol, caleg atau capres bakal kalah dalam Pemilu 2014, walaupun pemilihan umum sendiri belum dilaksanakan.

Untuk membuktikan satu lembaga survei bisa dipercaya tingkat akurasi datanya, maka asosiasi survei menyiapkan relawan untuk meng-croschek kebenaran survei dari lembaga tersebut kepada responden bersangkutan. Dirinya berharap, KPU membentuk dewan etik survei agar jelas batasan lembaga survei dalam memprediksi hasil pemilu.

Menurut penulis, kebutuhan survei bagi semua partai politik dan calon pemimpin nasional serta permasalahannya, rentan dimanipulasi untuk kepentingan politik. Lembaga survei bisa salah, tetapi tidak boleh berbohong dalam hal hasil penelitiannya. Lembaga survei bermasalah biasanya melakukan beberapa hal, antara lain sengaja merekayasa hasil penelitian dengan tidak menggunakan metodologi random sampling kemudian digeneralisasikan, survei di 3 atau 4 kota, tetapi hasilnya nasional dan penelitinya tidak turun ke lapangan.

Diakui atau tidak oleh mereka yang terlibat dalam lembaga survei bahwa saat ini banyak lembaga survei yang dinilai tidak kredibel tetapi mempublikasikan hasilnya ke publik. Lembaga survei yang tidak kredibel biasanya, lembaga survei yang memang tidak menguasai metodologi survei standar sehingga tidak melakukan survei dengan benar. Cara mudah untuk mendeteksi hasil survei yang memenuhi metodologi atau tidak yakni antara lain, dilihat dari margin of error, level of confident dan jumlah populasi sampelnya.

Dalam kajian politik, komunikasi publik ataupun kajian strategis lainnya, hasil survei akan mempunyai dampak yang signifikan terhadap sebuah tema atau permasalahan yang sedang disurvei, bahkan hasil survei dapat dijadikan sebagai dasar propaganda politik dan tidak menutup kemungkinan sebuah survei dilakukan untuk tujuan propaganda politik, sehingga tidak mengherankan jika hasil survei tersebut menyesatkan bahkan dapat merusak negara.

Sebuah survei yang dilakukan secara amburadul dan metodologi penelitian kuantitatifnya juga dilakukan sembarangan dapat mengakibatkan hasil surveinya menimbulkan kerawanan instabilitas keamanan, karena seseorang atau parpol yang sangat diidolakan karena selalu menang dalam survei, ternyata kalah dalam pemilihan umum yang sebenarnya, sehingga pendukungnya tidak menerima hasil Pemilu dan menindaklanjutinya dengan perbuatan anarkis.

Disamping itu, juga sebenarnya tidak mudah untuk melakukan survei karena diakui atau tidak, mereka yang pernah studi di perguruan tinggi jelas merasakan bagaimana sulitnya melakukan survei, sehingga agak mengherankan jika survei dijadikan “lahan pekerjaan” baru dengan bekerjasama melalui pers melalui pemberitaan hasil survei sebuah lembaga. Tidak menutup kemungkinan jika metodologi surveinya dikaji oleh profesor survei atau penelitian yang profesional, akan ditemukan banyak lembaga survei yang sebenarnya tidak layak melakukan survei.

Demikian juga hasil quick count yang juga sering diadakan oleh lembaga-lembaga survei dapat menjadi wahana pembentukan opini yang cukup produktif dalam mempengaruhi mindset masyarakat, sehingga hasil quick count yang tidak benar, bertendensi tertentu serta tidak berdasarkan metode keilmuan yang benar juga berpotensi menimbulkan kerawanan dan gangguan instabilitas keamanan.

Terkait dengan quick count, perlu muncul kesadaran dari pengamat-pengamat politik yang berkredibel, peneliti yang profesional ataupun akademisi yang mumpuni yang mengerti masalah ini untuk “sharing ilmunya” terkait quick count kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak mudah dibodohi atau ditipu oleh hasil quick count tanpa memverifikasi dan memvalidasi keakuratan metode penelitiannya, sehingga melalui tulisan-tulisan para pakar yang berkompeten terkait dengan quick count, maka masyarakat akan semakin pandai dan bijaksana dalam menilai atau menyikapi hasil quick count dengan tidak terburu-buru mempercayainya.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com