Inilah Krisis Demokrasi Kita

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Direktur Eksekutif GFI

Lepas soal Jokowi dan Mega, isu soal ketua umum partai mengendalikan presiden kepala eksekutif memang perlu diluruskan. Akar masalah di kepolitikan kita sederhana saja kok. Kita ini mendua hati dalam memilih dan mengamalkan sistem demokrasi. Dibilang demokrasi parlementer, cita rasa kita malah kuat ke rasa demokrasi presidensial yang seakan presiden lah yang kuat dan mengatasi semua parpol dan golongan.

Di bilang menganut sistem demokrasi presidensial, cita rasa kita malah kuat mengamalkan demokrasi parlementer. Akibatnya, dalam berpolitik kita menyangka bertumpu pada keyakinan, padahal kita berpolitik atas dasar salah sangka.

Dalam demokrasi parlementer, isu sentral soal ketua partai mengontrol presiden atau perdana menteri, malah terlalu mendua dan tidak jelas. Ketua Partai dalam sistem ini malah diproyeksikan sebagai calon presiden atau perdana menteri kalau partainya dan partai-partai yang berkoalisi dengannya memenangi pilres.

Dalam sistem demokrasi presidensial, calon presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui partai yang mengusungnya. Tapi akar dukungannya jelas. Meski diusung lewat partai, seorang calon presiden harus memenangi konvensi yang diadakan partai. Dan konvensi partai, bukan dipilih oleh anggota DPC, DPD dan DPP partai, tapi oleh masyarakat yang diasumsikan simpatisan atau pendukung ideologis partai tersebut.

Jadi ketika seorang capres yang lolos partai lewat konvensi, otomatis dia punya akar dukungan yang kuat di masyarakat, meskipun dari elemen-elemen masyarakat pendukung partai yang mengusung si capres tersebut.

Maka, kalau kita buat bandingan di negara-negara lain, terlepas penganut sistem parlementer ataupun presidensial, seorang kepala eksekutif tidak mengalami dualisme dukungan antara partai dan masyarakat.

Seorang calon perdana menteri dalam sistem parlementer, karena dari awal yang jadi ketua partai memang diproyeksikan sebagai calon kepala pemerintahan, otomatis partai harus kerja keras membangun jaringan dukungan seluas-luasnya dan mengakar di masyarakat. Meski hanya sebatas menggalang dukungan dari elemen-elemen masyarakat yang mendukung atau bersimpati pada partai si calon perdana menteri.

Begitu juga si calon presiden dari sistem presidensial, karena toh dirinya diloloskan oleh partainya berkat dukungan terbanyak masyarakat lewat konvensi partai, maka si calon presiden sejatinya dapat dukungan mengakar dari masyarakat, meski dari masyarakat yang pro partai pengusungnya.

Lha di negeri kita, sebuah konsekwensi dalam menganut sebuah sistem yang dipilih, kita ini selalu mendua hati. Seorang capres diusung oleh partai, tapi kalaupun lewat konvensi, tetap saja dipilih oleh pengurus partai dari tingkat DPC-DPD hingga DPP. Apalagi kalau jelas-jelas diloloskan semata atas restu Ketua umum partai atau oligarki penguasa partai.

Alhasil, begitu dia menang pilres, dualisme antara rakyat dan partai tak terhindarkan lagi. Karena meski partai menggelar konvensi untuk meloloskan capres tertentu, tetap saja tidak melibatkan elemen-elemen masyarakat yang justru menjadi basis sosial atau basis budaya partai yang bersangkutan.

Sehingga dalam kasus Jokowi atau bahkan SBY sebagai presiden terdahulu, yang sama-sama produk pilpres langsung, modal dasarnya untuk jadi presiden, cuma dukungan suara dari para pemilih (voters), tanpa adanya dukungan dari barisan. Punya pendukung, tapi tidak punya barisan.

Masalah krusial bagi negeri kita, ketika seorang presiden hanya bertumpu pada dukungan suara pemilih tanpa ditopang oleh sebuah barisan, maka secara de fakto dia dikendalikan oleh sebuah barisan yang tak ada kaitannya dengan aspirasi pemilih pada pilpres.

Dalam setting politik yang mendua model begini, seorang presiden merasa bebas untuk mengumbar janji, tapi tak merasa perlu membuat komitmen. Karena dukungan yang dia peroleh lewat partai yang tanpa melalui konvensi yang mengakses akar-akar dukungan di masyarakat, maka dukungan yang diraih capres lewat para pemilih di pilres langsung, adalah dukungan lepas tanpa ikatan. Kayak kawin siri.

Inilah krisis demokrasi kita saat ini. Atau mungkin tepat dengan meminjam istilah mas M Djoko Yuwono, Nihilisme demokrasi.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com