Pembangunan dan perluasan Terusan Panama kini, bukan sekedar konsep ‘jaga langganan’ terkait persaingannya dengan Kanal Brito nanti, namun lebih kepada persiapan serta kesiapan selain dalam rangka merayakan usia kanal ke-100 tahun, juga menyambut tibanya generasi kapal-kapal raksasa. Kanal Panama tengah berbenah diri. Jalurnya diperlebar, fondasi-fondasi diperdalam, dll agar para pelintas memperoleh kemudahan baik waktu, biaya, ataupun bila mereka melakukan ‘aktivitas bisnis lain’-nya. Dalam bahasa sastra, boleh diibaratkan bahwa si gadis (Terusan) Panama kini lagi berhias dan mempercantik dirinya!
Jika renovasi ini selesai, maka para pelaku bisnis dari beragam budaya, negara dan ras akan berterimakasih atas kemudahan (dan fasilitas) terusan ini. Bayangkan, pelaku bisnis dari Cina pun tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk mengekspor komoditi ke AS bagian timur. “Terusan Panama diperluas untuk memudahkan distribusi perdagangan. Nantinya, terusan ini akan menjadi salah satu rute perdagangan yang menghubungkan Timur Jauh (Asia Timur dan Asia Tenggara), Kepulauan Karibia, dan AS,” ujar Jay Brickman,Wakil Presiden Crowley Maritime Corp. Ia salah satu perusahaan jasa pengangkut barang yang melayani Kepulauan Karibia dan AS bagian timur. “Dan wajah barunya akan mengubah dinamika perdagangan dan meningkatkan laju ekonomi,” ujar Brickman.
Ditambahkan oleh Peter Gyde, Presiden AP Moller-Maersk Group’s Carribean Sea Cluster di Maersk Line, bahwa bentuk atau ujud baru kanal ini akan mampu dilewati tanker pengangkut 1 juta barel minyak, kapal kargo pembawa batu bara, serta beberapa komoditi ekspor dan impor lainnya. “Pembangunan Terusan Panama memberikan berbagai pilihan baru yang belum bisa kita dapatkan hari ini,” ujar Gyde.
Dan sebagai konsekuensi manajemen, Pemerintah Panama pun rela merogoh kocek sebesar USD 5,25 miliar atau Rp 50-an triliun demi sebuah mimpi. Kenapa demikian, karena inilah rekor biaya termahal untuk membangun (renovasi) Terusan Panama sejak tahun 1914. Bukan main!
Sejarah Berulang, Kendala Terulang
Apabila sejak muncul ide, lalu rencana perencanaan pembangunan Kanal Panama —- hingga diresmikan 1914 itu menunggu sampai empat abad, agaknya dalam renovasi pun terancam berlarut-larut pula meski konteksnya tak sama. Bila kendala abad lalu adalah malaria, tanah longsor, demam kuning, teknologi dan lainnya, maka permasalahan hari ini soal selisih biaya perluasan antara kontrak dan biaya tidak terduga. Bukannya selisih uang receh, namun sekitar USD 1,6 miliar atau Rp 19,2 triliun jika dibanding nilai kontrak 2009.
Pembicaraan antara Otoritas Terusan Panama dan konsorsium yang dipimpin oleh Sacyr, perusahaan asal Spanyol, agaknya menemui jalan buntu (5/2/2014). Pembicaraan tidak mencapai kata sepakat tentang siapa yang akan membayar selisih biaya.
Sebelum muncul sengketa —selisih harga— pada bulan Desember 2013, pekerjaan ini melibatkan 10.000-an orang. Jorge Quijano, Pengelola Terusan Panama menyatakan, bahwa proyek ini akan selesai pada 2015 dengan atau tanpa konsorsium yang dikenal sebagai Grupo Unidos Por el Canal (GUPC). Tak dijumpai solusi. GUPC meminta otoritas kanal memberi kompensasi biaya tak terduga senilai 1,6 dollar AS, tetapi otoritas setempat berdiplomasi akan mengambil langkah yang tepat untuk menyelesaikan proyek sesuai jadwal, termasuk ‘menyobek kontrak GUPS’ jika memang harus dilakukan. Belum ada jalan keluar.
Ekonom Horacio Estrivi mengatakan, bahwa secara de facto memang ada peningkatan biaya dan waktu untuk proyek itu. Masalah biaya tambahan ini kemungkinan akan menjadi pertarungan arbitrase antara pihak otoritas kanal dan GUPC. Akankah ganti kontraktor? “Penyelesaian pekerjaan dengan kontraktor baru juga akan butuh biaya lebih tinggi karena harus mulai dari awal dan menggunakan harga yang berbeda,” kata analis Ebrahim Asvat.
Walau masih terjadi sengketa dalam renovasi terusan, namun inilah salah satu langkah dan geostrategi Panama dalam rangka ‘jaga langganan’ serta upaya kontra skema guna menghadapi perang geopolitik yang digelar oleh Cina di sebelah (Brito) pekarangan rumahnya.
Tantangan Perang Geopolitik
Kita kembali ke Kanal Isthmus yang digadang-gadang bakal menjadi pesaing utama Selat Malaka bahkan dapat ‘mematikan’ jantung kehidupan Singapura, Negeri Paman Lee. Khusus bagi Indonesia yang bakal terkena dampak langsung akibat berdirinya kanal baru di Thailand kelak, pertanyaannya adalah: “Bagaimana sikap Indonesia menghadapi ‘terompet perang’ ala Naga di panggung geopolitik dengan (rencana) mendirikan Terusan Isthmus di Thailand?” Bukankah disinyalir banyak orang, keberadaan kanal tersebut justru membuat ALKI I, II, dan lainnya menjadi sepi dari lalu lalang kapal-kapal bertonase besar?
Namun sebelum membahas bagaimana menyikapi tantangan Cina dalam perang geopolitik, sebaiknya dipertanyakan dulu beberapa hal: (1) apakah lintasan kapal-kapal asing melalui ALKI selama ini telah menjadi salah satu sumber devisa bagi Indonesia; atau jangan-jangan malah free (gratis)? (2) adakah pengamanan serta pengawasan ALKI oleh TNI-Polri telah berjalan sinergi, sistematis dan efektif; atau tidak sama sekali, atau jangan-jangan malah dibiarkan? Silahkan dijawab terlebih dulu pertanyaan di atas sebelum kita meneruskan catatan tak ilmiah ini.
(Bersambung ke 5)
Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)