Jokowi Sebagai “Common Sense” Politik

Bagikan artikel ini

Wildan Pramudya, Aktif di Indonesia Indicator, Jakarta

Andai Jokowi resmi diusung oleh PDIP sebagai capres, kemenangan Jokowi untuk menduduki kursi RI-1 tak bisa dihalangi oleh capres dari parpol manapun!

Dalam setahun terakhir data berbagai survei menunjukkan elektabilitas Jokowi terus menjulang. Meski data survei bersifat fluktuatif, sehingga perubahan kecenderungan data sangat mungkin terjadi, namun untuk kasus Jokowi ini, elektabilitasnya relatif stabil, bahkan cenderung meningkat.

Kita bisa merujuk pada pengalaman survei yang memprediksi kemenangan SBY setahun sebelum Pemilu 2004. Sekitar bulan Mei 2003, LP3ES merilis survei bahwa SBY (14%) adalah figur paling layak dipilih sebagai presiden. Elektabilitasnya mengungguli Megawati (9%), Amien Rais (7%) dan Nurcholis Madjid (5%). Temuan survei tersebut terbukti. Setahun kemudian SBY terpilih sebagai presiden yang dipilih secara langsung untuk pertama kalinya. Hasil prediksi yang sama sangat mungkin terjadi pada kasus Jokowi. Terlebih elektabilitas Jokowi jauh lebih tinggi daripada elektabilitas SBY pada saat itu.

Dukungan kepada Jokowi tidak hanya bisa kita lihat melalui survey, tetapi juga melalui ekspose media. Ini bisa dilihat dari data Indonesia Indicator (I2) yang memperlihatkan bahwa, dari 337 media di Indonesia, ternyata ekspos tentang jokowi untuk menjadi presiden mencapai 13.282 pemberitaan; dua kali lipat jauh lebih besar melebihi ekspos capres lainnya. (lihat grafik)

Popularitas dan Elektabilitas Jokowi yang fantastis bukan lagi sekadar gambaran opini publik melainkan sudah menjadi common sense politik.

Selama ini common sense dimengerti sebagai akal awam, yang dalam kajian psikologi diposisikan sebagai persepsi atau perasaaan umum yang belum teruji secara empiris, tidak ilmiah. Common sense hanyalah sebentuk pemikiran yang belum matang. Oleh karenanya common sense tidak bisa dijadikan dasar dalam memberikan penilaiaan atau pertimbangan atas kondisi tertentu.

Namun tidak demikian bagi Antonio Gramsci. Gramsci melihat common sense sebagai pandangan dunia dari massa yang terpinggirkan (the weltanschauungen of “subaltern masses”). Common sense merupakan konsepsi tentang dunia yang kompleks, terbentuk melalui proses historis tertentu. Di dalamnya tersedimentasi cerita tentang masa lalu dan harapan tentang masa depan.

Dari kacamata Gramsci, common sense bukan sekedar opini publik yang berisi ide dan sikap yang bersifat snapshot, sesaat dan gampang berubah, melainkan sebuah dorongan politik yang kuat, yang muncul karena gagasan yang berkembang di ruang publik berinterseksi dengan pandangan dan keyakinan kolektif tertentu. Keyakinan kolektif ini bisa bersumber dari ideologi, agama atau sistem keyakinan kultural lainnya – katakanlah — seperti bayangan tentang datangnya ratu adil atau satria piningit.

Pada diri Jokowi masyarakat melihat kelebat harapan hidup yang lebih baik di masa depan. Kehidupan dan kepemimpinan Jokowi yang bersahaja dipandang sebagai oposisi dari kehidupan kebanyakan pejabat negara yang wah, bergelimang fasilitas. Cara bertuturnya yang cepas-ceplos dan apa adanya dipahami masyarakat sebagai bentuk kejujuran politik dan sikap transparan yang wajib melekat pada calon pemimpin. Sedangkan hobi blusukan yang kerap dilakukannya adalah jembatan untuk menjalin kedekatan politik yang nyata dan kuat antara pemimpin dan warganya.

Common sense memiliki elemen kreatif yang secara berkelanjutan mampu mengelaborasi dan memperkaya diri dengan gagasan besar lainnya. Common sense merupakan potensi politik, lantaran common sense itu yang juga merangsang terbukanya ruang publik bagi ide Jokowi for President, yang kemudian berkembang menjelma gerakan politik. Saweran Dana untuk Jokowi Presiden yang digulirkan oleh Koalisi Masyarakat Antikorupsi (Kompak) salah satu contohnya.

Namun, sebagaimana dikatakan Gramsci, common sense juga memiliki sisi lemah, yakni keberadaannya kadang fragmentatif, tidak koheren dan tidak kritis, bahkan juga kerap kental dengan mitos.

Sisi lemah itu terlihat tatkala common sense mengenai Jokowi mulai menampakkan diri dalam bentuk keterpukauan dan fanatisme publik yang berlebihan. Setiap ada orang atau kelompok yang melancarkan kritik pada Jokowi, misalnya — baik itu di Twitter atau Facebook — kerap direspon oleh para simpatisannya dengan cibiran bahkan caci-maki, tanpa memeriksa terlebih dahulu objektivitas dari kritik tersebut. Bahkan cibiran publik sempat menyasar ke Ahok tatkala ia tetap “ngotot” menggunakan mobil dinas kendati sudah ada instruksi gubernur perihal larangan bagi PNS menggunakan kendaraan pribadi dan mobil dinas. Ahok pun dicap melawan Jokowi!

Bisa dikatakan common sense yang terbentuk sudah pada tahap: right or wrong is my Jokowi! Jokowi seolah telah menjadi totalitas tersendiri yang diisolir dari kritik. Gejala ini yang kemudian menurut Gramsci, common sense telah menapaki momen hegemonik, yakni sebuah momen di mana sekelompok masyarakat “sepakat” untuk menerima suatu gagasan, peristiwa atau realitas tertentu sebagai yang baik, wajar dan patut diterima. Padahal dalam politik, kerap kali apa yang disebut baik, wajar dan patut merupakan nilai ideologi dominan kekuasaan yang dibangun secara halus namun efektif melemahkan kesadaran kritis publik. Instrumen ideologi yang paling efektif dalam melemahkan kesadaran kritis ini yakni melalui media massa dan media sosial. Melalui media itulah common sense mengenai Jokowi disemai dan terus membiak.

Untuk itu, pada momen hegemonik ini kehadiran intelektual-intelektual yang kritis dan mencerahkan sangat diperlukan guna membangun counter hegemony agar common sense tetap lentur, tidak menggumpal menjadi fanatisme buta. Dengan kehadiran intelektual, demikian dikatakan Gramsci, common sense akan bertransformasi menjadi good sense, yakni pandangan yang lebih rasional dan kritis di mana Jokowi lebih bisa ditatap dan diapresiasi secara objektif.

Di alam demokrasi, bagaimanapun, penguasa dan kekuasaan adalah penanda yang mesti dikritisi secara terus menerus dan terbuka sehingga tidak menjadi kekuasaan yang totaliter. Tidak terkecuali kepada Jokowi. ***

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com