Dahnil Azhar Simanjuntak, Ketua Umum Pemuda Pengurus Pusat Muhammadiyah mengatakan bahwa banyak anak muda Indonesia kehilangan harapan, mimpi dan apresiasi. “Banyak anak muda kita melihat ketidakadilan di Indonesia. Mereka hadir, namun tidak mendapatkan apresiasi. Mereka ingin berkarya, namun sulit. Inilah kemudian yang memicu mereka menempuh jalan lain untuk tadi mewujudkan harapan, mimpi dan apresiasi,” ucap Dahnil saat menjadi narasumber Seminar Nasional bertajuk Membangun Program Deradikalisasi Efektif, Upaya Menjaga Kedaulatan NKRI, Hotel Bidakara (30/5/2016).
Sementara Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute menyebut kondisi pemuda yang kehilangan harapan, mimpi dan apresiasi tersebut sebagai prakondisi munculnya ancaman teroris di Indonesia. Hendrajit menilai pemerintah tidak mempunyai kepekaan untuk melihat bagaimana prakondisi itu bisa menjadi pemantik. “Kalau ibarat rumput kering itu ada akan menjadi mudah terbakar,” ujar mantan wartawan Tabloid Detik ini.
Pra kondisi tersebut menurutnya, hanyalah satu diantara yang harus segera diupayakan langkah-langkah mengatasinya. Hendrajit menuturkan bahwa ada skema yang jauh lebih besar yang tengah mengancam umat Islam, tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia.
“Sejak perang dingin berakhir dan ketikapresiden Josh W. Bush naik kesinggasana tahun 2000, ada satu dokumen dari Rand Corporation yang entah dibocorkan atau sengaja betul-betul bocor bertajuk Civil Democratic Islam: Partners, Resources and Strategies,” ucap Hendrajit pada pemaparan materi pada Seminar Nasional yang diselenggarakan Grahana Casta.
Rand Corp adalah Pusat Penelitian dan Kajian Strategis tentang Islam di Timur Tengah atas biaya Smith Richardson Foundation, berpusat di Santa Monica-California dan Arington-Virginia, Amerika Serikat (AS). Sebelumnya ia perusahaan bidang kedirgantaraan dan persenjataan Douglas Aircraft Company di Santa Monica-California, namun entah kenapa beralih menjadi think tank (dapur pemikiran) di mana dana operasional berasal dariproyek-proyek penelitian pesanan militer.
Lebih lanjut Hendrajit menuturkan, Rand Corporation baru saja membuat dua hajatan besar, yakni memetakan kekuatan dan kelemahan dari potensi-potensi kekuatan Islam di Negara-negara berkembang. “Nah, setelah dipetakan lalu kemudian dibangun suatu strategi bagaimana melemahkan dan memecah belah kekuatan-kekuatan Islam itu sendiri,” jelas Hendrajit.
Hajatan tersebut, menurut Henrajit adalah berdasarkan asumsi pemikiran dari salah satu pakar Pentagon, Samuel Hatington dalam bukunya clash of civilization. Jadi, inti asumsinya adalah akan muncul kekuatan baru, yaitu Rusia dan Cina tidak dalam konteks kekuatan komunis, melainkan imperium kekuatan baru yang menjadi ancaman potensial bagi Amerika. Hajatan yang kedua ialah mengingat konflik dan kebutuhan Cina dan Rusia tersebut, pada perkembangannya lagi akan melibatkan negara-negara Islam yang juga mulai bangkit yang kemudian menjadi suatu objek baru menggantikan komunis sebagai ancaman. Jadi, Islam dimunculkan sebagai kekuatan baru yang melekat dengan barisan Cina dan Rusia.
Sedang dokumen lain senada, yang terbit Desember tahun 2004 dibuat oleh Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat (National Inteligent Council) atau NIC bertajuk Mapping The Global Future. Tugas NIC ialah meramal masa depan dunia. Inti laporan NIC itu ialah tentang perkiraan situasi tahun 2020-an. Rinciannya adalah (1) Dovod World: Kebangkitan ekonomi Asia, dengan Cina dan India bakal menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia; (2) Pax Americana: Dunia tetap dipimpin dan dikontrol oleh AS; (3) A New Chaliphate: Bangkitnya kembali Khilafah Islamiyah, yakni Pemerintahan Global Islam yang bakal mampu melawan dan menjadi tantangan nilai-nilai Barat; dan (4) Cycle of Fear: Muncul lingkaran ketakutan (phobia). Yaitu ancaman terorisme dihadapi dengan cara kekerasan dan akan terjadi kekacauan di dunia, kekerasan akan dibalas kekerasan.
“Hal serupa juga dilakukan dalam rangka membangun jaringan anti Islam. Kemudian membangun kredibilitas semu aktivis-aktivis liberal pro-Barat, demi tercapai tujuan utama memusuhi Islam secara total. Bahkan apabila perlu, sikap tidak setuju atas kebijakan AS sesekali diperlihatkan para aktivisnya seolah-olah independen, padahal hanya tampil pura-pura saja,” ungkap Hendrajit.
Menurutnya, AS dan sekutu sadar bahwa meraka tengah terlibat dalam suatu peperangan total baik fisik (dengan senjata) maupun ide. Mereka ingin memenangkan perang dengan cara ketika ideology kaum ekstrimis tercemar di mata penduduk tempat asal ideology itu dan di mata pendukung pasifnya.
“Ini jelas tujuan dalam rangka menjauhkan Islam dari umatnya. Muaranya adalah membuat orang Islam supaya tak berperilaku lazimnya seorang muslim,” ucap Hendrajit.
Menurut Hendrajit inilah jawaban, kenapa Indonesia sering kali dijadikan pertemuan para cendikiawan dan intelektual muslim dari berbagai negara yang disponsori AS dan negara Barat lain. Banyak produk baik tulisan maupun film diproduksi “Intelektual Islam Indonesia”, kemudian disebarkan dan diterjemahkan dalam bahasa Arab. Semua bantuan dana dan dukungan politik ini tujuannya guna memecah-belah umat Islam.
Seperti berkembangnya LSM yang memproduksi materi-materi dakwah atau fatwa namun isinya justru “menjerumuskan” Islam, termasuk munculnya banyak tokoh liberal sebagai opinion maker di tengah masyarakat, merupakan isyarat bahwa konspirasi menghancur Islam itu ada, nyata dan berada (existance). “Yang paling memprihatinkan, justru jurus pecah belah dilakukan menggunakan tangan-tangan (internal) kaum muslim itu sendiri di negara tempat mereka lahir, tumbuh dan dibesarkan, sedang mereka “tak menyadari” telah menjadi penghianat bagi bangsa, negara dan agamanya,” jelas Hendrajit. (TGR/DK)