Ada peristiwa menarik yang layak disorot di Filipina, salah satu negara tetangga dekat Indonesia, di Asia Tenggara. Pada Maret 2025 lalu, Greenpeace Filipina mengecam perjanjian nuklir antara pemerintah Filipina dengan kepentingan bisnis asing, menyusul pengumuman Valar Atomic Inc, untuk membangun reaktor nuklir berkapasitas 100 kilowatt (kw) bekerjasama dengan dengan the Philippine Nuclear Research Institute (PNRI).
Baca:
Greenpeace denounces PNRI-Valar Atomics nuclear deal: ‘Filipinos are not guinea pigs’
Apa yang krusial dari kecaman yang dilontarkan Greenpeace Filipina? Greenpeace berpendapat bahwa tenaga nuklir adalah cara paling berbahaya dan paling mahal untuk menghasilkan listrik. “Valar Atomics dan PNRI bermain api dengan mengorbankan keselamatan warga Filipina,” kata Juru Kampanye Greenpeace Khevin Yu. ”DOST harus menghentikan perjanjian bodoh ini yang mengutamakan kepentingan perusahaan AS daripada kesehatan dan kesejahteraan warga Filipina.”
Sepertinya, yang krusial bagi masyarakat Filipina, teknologi nuklir yang ditawarkan Valar Atomic tidak cukup meyakinkan, apalagi dapat diandalkan. Hal itu sudah nampak jelas lewat rekam jejak/track record Valar Atomic yang bereputasi cukup meragukan.
Betapa tidak. Valar Atomics, sebuah perusahaan rintisan, baru didirikan pada tahun 2023 tetapi berencana untuk menyebarkan ratusan reaktor nuklir mikro di seluruh dunia, dimulai dengan pembangunan prototipe eksperimental di Filipina. Valar Atomics, sebuah perusahaan rintisan, baru didirikan pada tahun 2023 tetapi berencana untuk menyebarkan ratusan reaktor nuklir mikro di seluruh dunia, dimulai dengan pembangunan prototipe eksperimental di Filipina. Selain kurangnya pengalaman, perusahaan tersebut juga tidak memiliki rekam jejak /track record berkaitan dengan dampak sosial dan masalah tata kelola di sekitar pembangkit listrik tenaga nuklir. Saat ini, Filipina tidak memiliki kerangka kerja seperti itu.
OTO FILE: Aktivis lingkungan menggelar protes diam-diam di Forum Rantai Pasokan Nuklir Internasional Filipina untuk menyuarakan penolakan mereka terhadap inisiatif energi nuklir pemerintah. Dalam pernyataan yang tegas, dua aktivis membentangkan spanduk bertuliskan “Kami menginginkan masa depan bebas nuklir,” yang menggarisbawahi seruan mereka untuk solusi iklim yang lebih aman dan nyata bagi Filipina.Dengan kata lain, teknologi nuklir yang ditawarkan Valar Atomic berbahaya dan sarat resiko dari sudut pandang lingkungan hidup dan ekologi. Bukan itu saja, menurut Greenpeace Filipina lebih lanjut. Reaktor mikro yang diusulkan Valar Atomics masih belum teruji dan masih di atas kertas. Alhasil, Perjanjian macam ini secara efektif menjadikan masyarakat kita sebagai kelinci percobaan untuk teknologi yang belum terbukti dan pastinya, sangat berisiko. Demikian menurut Juru Kampanye Greenpeace Khevin Yu.
Kecaman Greenpeace Filipina telah mengumandangkan lonceng tanda bahaya bagi masyarakat Filipina, yang saat ini selain terbebani oleh meningkatnya biaya hidup, pun juga terbebani oleh dampak iklim. Sehingga masyarakat Filipina menghadapi masa depan yang tidak pasti, selain listrik yang berbahaya dan mahal.
Menurut informasi, kesepakatan antara Valar Atomics dan PNRI melibatkan reaktor 100 kilowatt yang akan menelan biaya puluhan juta dolar. Sebagai perbandingan, pembangkit listrik tenaga surya 116 megawatt yang baru dibangun di Pampanga dibangun hanya dalam waktu satu tahun dan menghabiskan biaya kurang dari USD 48 juta.
Departemen Energi Filipina nampaknya cukup ambisius. Pada 2032 mendatang pembangkit listrik tenaga nuklir selain mampu beroperasi secara komersial negeri tersebut, dengan kapasitas awal ebesar 1.200 MW yang akan digunakan dalam campuran pembangkit listrik negara tersebut. Rencana selanjutnya bermaksud untuk meningkatkan kapasitas nuklir menjadi 2.400 MW pada tahun 2035 dan 4.800 MW pada tahun 2050.
Pertanyaan pentingnya, apakah tujuan tersebut bisa tercapai? Sayangnya Greenpeace Filipina memandang prospek tersebut sangat tidak bagus, kalau tidak mau dibilang suram. Mengapa Greenpeace meragukan proyeksi Departemen Energi Filipina? Pertama, untuk pembangkit listrik konvensional saja, catatan menunjukkan bahwa industri nuklir mengalami penundaan pembangunan selama puluhan tahun. Kedua, fakta juga menunjukkan bahwa tidak ada reaktor modular kecil yang masih beroperasi hingga saat ini. Ketiga, biaya yang sangat mahal terkait dengan energi nuklir. Keempat, kurangnya perlindungan dan peraturan yang diperlukan untuk mengurangi bahaya operasi nuklir di negara tersebut.
Menariknya, kecaman Greenpeace terhadap perjanjian nuklir antara Valar Atomich dan PNRI, menyingkap sebuah fakta penting. Bahwa Valar Atomic merupakan perusahaan dari AS, yang selama ini Perusahaan-Perusahaan Trans-nasional yang bergerak di bidang energi nuklir, digembar-gemborkan punya reputasi handal dan terpercaya.
Alhasil, masuk akal jika Greenpeace Filipina kemudian mendesak pemerintah Filipina membatalkan Perjanjian 123 dengan AS, menghentikan semua rencana nuklir, dan mengalihkan sumber daya menuju Transisi Energi yang Adil.
Bagi Indonesia, terungkapnya perjanjian antara Valar Atomic Inc dan PNRI yang bermasalah ke publik, bukan tidak mungkin akan terjadi pula di Indonesia. Maka itu para stakeholders/pemangku kepentingan bidang industri dan energi, harus hati-hati dan waspda bukan saja dalam memilih mitra bisnis yang mengikutsertakan perusahaan-perusahaan asing, apalagi kepentingan bisnis pemerintah asing, melainkankan juga skema kerja sama-nya pun harus ditelaah dan dikaji secara teliti dan mendalam. Baik kehandalan kemampuan teknologi nuklirnya, rekam jejak perusahaannya, dan yang tak kalah penting, jangan sampai teknologi nuklir yang diproyeksikan untuk membangun reaktor nuklir, kemudian berbahaya bagi kehidupan masyarakat maupun merusak lingkungan hidup negara kita.
Dengan begitu, seperti halnya harapan saudara-saudara kita dari Filipina, jangan sekali-sekali masyarakat indonesia hanya untuk jadi kelinci percobaan belaka.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)