Kenapa Harus Golput (lagi)?

Bagikan artikel ini

Pipit Apriani, S.Pd, Mahasiswa S2 Ilmu Politik Universitas Indonesia dan Research Associate GFI

Menjelang pemilu legislatif mendatang, selain tebaran baliho dan banner sebelum waktunya, juga ditemukan sejumlah ajakan untuk tidak memilih alias golput. Secara pribadi, saya cukup heran dan prihatin dengan ajakan bersikap Golput untuk pemilu maupun pemilukada.

Di zaman Soeharto, gerakan Golput jelas memiliki arti politis yaitu “pembangkangan terhadap Soeharto yang diktator”. Mereka yang bergabung dalam gerakan Golput memahami konsekuensinya yaitu dikejar aparat dan kemungkinan ditangkap.

Makna golput sekarang tidak selalu bermakna politis. Bisa karena acuh dengan pemilu, bisa karena alasan administratif yaitu tidak terdaftar dalam daftar pemilih dan lebih banyak lagi karena tidak tahu mesti memilih siapa. Apalagi dalam UU Pemilu, memilih adalah hak, dengan demikian tidak ada paksaan bagi pemilih untuk pergi ke TPS  memberikan suara. Di sisi lain, KPU kurang greget dalam memberikan sosialisasi pemilu kepada masyarakat. Tidak heran, tingkat partisipasi pemilih makin lama makin rendah dari pemilu ke pemilu.

Tidak memilih atau tidak memberikan suara pada hari pemungutan suara merupakan hak politik warga negara Indonesia. Tetapi sayang sekali, jika tidak digunakan terutama karena ketidak tahuan atau tidak mau tahu dengan calon pemimpinnya. Banyak rakyat di negara-negara lain berjuang untuk mendapatkan hak memberikan suara untuk menentukan pejabat pemerintah sampai hari ini seperti di Myanmar atau berjuang untuk bisa datang ke TPS untuk memberikan suara karena faktor keamanan seperti halnya sebagian rakyat di Afghanistan dan Pakistan. Rakyat Indonesia sendiri berjuang cukup lama agar dapat memberikan suara atas dasar keinginan sendiri, bukan paksaan dari negara.

Suka atau tidak suka, memilih atau tidak memberikan suara di TPS pada hari H, memiliki konsekuensi, kita harus menerima calon terpilih. Meski menurut versi kita pribadi, orang tersebut tidak memenuhi syarat sebagai pemimpin atau pejabat. Berdasarkan ketentuan UU Pemilu, pemimpin atau pejabat terpilih adalah mereka yang mendapatkan suara terbanyak. Jika kita tahu seorang calon tidak baik, dan kita membiarkannya dengan tidak ikut memberikan suara di TPS, berarti kita MENDUKUNG orang yang tidak baik ini menjadi pemimpin atau pejabat terpilih.

Jadi solusinya apa? Solusinya adalah menjadi pemilih cerdas, pintar dan bertanggung jawab. Anda adalah seorang warga negara yang juga punya tanggung jawab terhadap jalannya bangsa ini. Pelajari riwayat hidup caleg yang ada untuk memberikan pilihan. Tidak ada gading yang tak retak, tidak ada caleg yang sempurna. Dan kalau tidak ada calon yang pas dengan anda, kenapa tidak anda yang mencalonkan diri anda sendiri sebagai pemimpin masyarakat dan bangsa ini? Bukan dengan menyalahkan dan menunjuk-nunjuk orang lain, apalagi kemudian mengajak orang untuk golput. Reformasi berarti zaman di mana seharusnya rakyat yang memegang kendali. Setelah 3 kali pemilu nasional dan puluhan hingga ratusan pemilukada, rakyat Indonesia ternyata masih tertatih belajar demokrasi.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com