Kepemimpinan Pasar Bebas, Quo Vadis?

Bagikan artikel ini

Jika demokrasi pilihan langsung (one man one vote) diibaratkan pasar bebas, niscaya akan lahir model-model kepemimpinan yang sesuai permintaan pasar. Hukum supplay and demand berjalan.

Pada model kepemimpinan seperti ini, popularitas jauh lebih berharga ketimbang kapabilitas. Sudah tentu, modal atau kapital menjadi alat paling utama guna mendominasi (memonopoli) pasar. Konsekuensi politisnya, pemilik modal akan mendominasi supplay produk —menentukan siapa sosok pemimpin— dan mendikte demand dengan cara membeli suara.

Perlu dipahami bersama, bahwa kuasa modal adalah ujud dari monopoli. Ini kejahatan tertua di muka bumi. Monopoli kapital/modal adalah wilayah kapitalis, sedang monopoli rakyat merupakan ranah komunis. Hasil kawin silang antara keduanya membidani apa yang disebut dengan istilah OLIGARKI. Ya, meski menurut Jeffrey A. Winters, inti oligarki ialah buah persenyawaan antara kekayaan dan kekuasaan, alias persekutuan antara pengusaha dengan penguasa.

Dalam praktik empirik, oligarki bekerja senyap merangkul partai politik (parpol) melalui dukungan dana kampenye plus lain-lain dengan konsekuensi politis, bahwa kandidat presiden (capres) yang kelak diusung parpol mutlak harus atas rekomendasi oligarki sesuai supplay and demand di atas. Dengan demikian, hakiki capres inilah yang kelak menjadi perpanjangan tangan (proxy) dari si oligarki.

Setelah deal, maka dibangunlah “branding” terhadap capres dimaksud, entah melalui pencitraan dengan berbagai kegiatan dan/atau propaganda agar “barang titipan” para oligar –setelah dipoles– terlihat mengkilat seolah tanpa cela terutama sesuai keinginan pasar yang telah “terkondisikan”.

Tahap sebelumnya, sang pemoles (ahli propaganda) biasanya melakukan survei terhadap (keinginan, bukan kebutuhan) pasar politik berbasis “antitesa”-nya Hegel, misalnya, Soeharto yang anti-komunis merupakan antitesa Soekarno yang merangkul komunis; atau Gusdur yang ceplas-ceplos, santai dan sarungan merupakan antitesa atas wibawa dan ketertutupan Soeharto; atau Jokowi yang kurus, terkesan lugu dan sederhana adalah antitesa SBY yang gagah, formal, dan “gemerlap”. Demikian basis asumsi dibangun serta dikembangkan di benak pasar politik secara sistematis.

Lantas, apa, siapa dan bagaimana kelak sosok antitesa Jokowi di 2024?

Dari perspektif oligarki, semenjak jauh hari si pemoles sibuk mencari sosok antitesa yang hendak dibranding dengan segala hyper-reality alias realitas semu melalui simbol-simbol guna menggiring keinginan (bukan kebutuhan) publik.

Alhasil, ketika musim kampanye tiba, tatkala sosok antitesa Jokowi dan pilihan pasar tampil di panggung politik, maka jangankan rakyat yang sangat awam seluk beluk politik, bahkan kelas menengah ke atas yang secara intelektual memiliki maqom lumayan, namun kurang memahami dunia propaganda dan hyper-reality dalam politik praktis, niscaya tertipu, pasti kecele.

Gilirannya sudah dapat ditebak, ketika capres titipan oligarki terpilih dalam mekanisme öne man one vote yang sarat money politics, niscaya hampir semua kebijakan cenderung melayani kepentingan oligarki, si pemilik power politik dan modal. Jelas. Inilah yang kini berlangsung secara masive dan sistematis di berbagai belahan dunia terutama negeri kaya akan emas, minyak, gas bumi dan varian tambang lain —geoekonomi— yang pada proses pemilu menggunakan model one man one vote.

Jadi, ketika ditemui para pemimpin yang secara kapabilitas rendah, misalnya, atau terdapat pemimpin yang justru menghamba kepada oligarki daripada melayani rakyatnya sendiri, itu semata-mata akibat KESALAHAN dari sistem politik itu sendiri.

Nah, jika kembali ke model kepemimpinan pasar bebas di prolog tulisan ini, kerap rakyat tertipu karena memilih “barang KW”, atau istilahnya permintaan pasar terdistorsi.

Demikian paparan materi “Kepemimpinan Pasar Bebas, Quo Vadis?” sebagai bahan renungan, kajian dan diskusi lebih lanjut tentang bagaimana mencari sosok pemimpin sesuai kebutuhan rakyat, bukan keinginan publik yang telah dimanipulasi oleh kaum oligarki.

Terima kasih

***) Pointers Diskusi di Sanyata Coffee pimpinan Romeo10: We Create the Future Leaders.

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com