Malu-Maluin

Bagikan artikel ini

Alda Nesyia Rastiti,  peneliti muda di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia, Jakarta

Joko Widodo (Jokowi) tidak menggubris desakan Partai Gerindra agar dirinya mundur dari jabatan Gubernur DKI. Menurutnya, soal mundur atau tidak itu menjadi urusan pribadi. “Saya mau mundur mau berhenti itu nantilah. Semua masih dalam kajian hukum dan tata negara. Enggak usah ikut-ikutan,” kata Jokowi di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (7/4). Jokowi juga membantah telah meneken kontrak politik denganGerindra saat dicalonkan sebagai gubernur DKI. “Kontrak apa? Gimana sih. Udah saya bilang itu urusan gue,” tegasnya. Sebelumnya, Ketua Fraksi Gerindra DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi mengancam akan melengserkan Jokowi dari kursi gubernur DKI Jakarta. Sanusi mengatakan, jika Jokowi kalah dalam Pilpres, dia tidak boleh lagi menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta. “Pokoknya kalau kalah, jangan balik lagi ke Jakarta. Oleh sebab itu, lebih baik mundur sebagai gubernur dari sekarang. Rakyat Jakarta sudah marah karena belum tuntas lima tahun, eh sudah mau jadi presiden. Jangan sekarang buat marah rakyat lagi dengan kalah lalu jabatan gubernur tak mau lepas,” ujar Sanusi hari ini.

Sementara itu, komentar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai sosok bakal calon presiden PDI Perjuangan Joko Widodo (Jokowi) dinilai bermakna ganda. Di satu sisi, SBY dinilai menganggap Jokowi akan menjadi presiden selanjutnya. Namun di sisi lain, SBY juga memanfaatkan momentum itu untuk pembersihan namanya. “Bisa kelihatannya, dia lagi mengelus-ngelus Jokowi, terkesan SBY yakin Jokowi akan jadi Presiden. Kedua, dia (SBY) sebenarnya juga terlihat melakukan pembersihan diri selama 10 tahun ini,” ujar pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bakti, Senin (7/4/2014). Ikrar mengatakan, pernyataan SBY yang mengaku tak pernah bisa didikte oleh siapa pun selama menjadi presiden merupakan salah satu upaya SBY membersihkan namanya. SBY, kata Ikrar, menggunakan Jokowi sebagai pembanding. “SBY berusaha menghilangkan image bahwa dia boneka asing dengan mengambil contoh Jokowi ini,” ucap Ikrar. Menurutnya, SBY tengah memperbaiki citranya yang selama ini sudah diketahui umum lunak terhadap Amerika Serikat dan Singapura. SBY, sebut Ikrar, hanya berani galak terhadap Australia. Sebagai contoh, kasus penyadapan terhadap sejumlah pejabat negara Indonesia.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengakui menjadi sasaran empuk partai politik lain. Namun, serangan ini justru dipandang positif bagi partai pimpinan Megawati Soekarnoputri ini. Wasekjen PDIP Hasto Kristianto mengatakan, banyak serangan yang dilakukan melalui kampanye negatif. Akan tetapi, dia yakin rakyat mampu melihat dengan jernih terkait hal ini. “Berbagai cara yang sangat eksploitatif melalui negatif campaign pun dilakukan. Namun sikap kami sangat jelas. Kami percaya pada kekuatan hati nurani rakyat, yang tidak akan mudah goyah ketika mata hati itu sudah menyatu,” ujar Hasto dalam pesan singkat, Senin (7/4). Dia menilai baik serangan tersebut. Sebab dia yakin, amunisi yang dikeluarkan para lawan politik akan habis ketika masuk ke pertempuran sebenarnya yakni di Pilpres 9 Juli nanti. “Dengan banyaknya serangan yang disampaikan ke Pak Jokowi pada saat pemilu legislatif ini, akan menjadikan para lawan politikPDIP dan Pak Jokowi akan kehilangan amunisinya karena semua sudah ditumpahkan pada saat pilpres ini,” terang dia. Dia pun tak tergoda untuk membalas serangan yang selama ini ditujukan baik kepada Jokowi ataupun Megawati.

Menurutnya, untuk menjadi pemimpin dibutuhkan jiwa yang besar dan tidak emosional. “Menjadi pemimpin di republik ini diperlukan kebesaran jiwa, kerendahan hati dan keteguhan untuk terus menjaga etika politik,” terang dia. “Betapa bahayanya negeri ini jika pemimpinnya emosional, suka memfitnah dan menghambur-hamburkan energi untuk menghabisi lawan politiknya. Pilihan untuk tetap memegang etika politik inilah yang tetap menjadi jalan PDIP dan Pak Jokowi ,” pungkasnya.

Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal “Ical” Bakrie menilai, pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang meminta PT Lapindo menyelesaikan ganti rugi kepada korban semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, sangat normatif. Ia tak menganggapnya sebagai hal yang perlu dipermasalahkan.Ical menjelaskan, dalam kasus semburan lumpur di Sidoarjo, posisi dari PT Lapindo bukan memberikan ganti rugi, melainkan membeli semua aset milik warga yang terkena dampak semburan lumpur tersebut. Ia mengklaim proses jual beli telah mencapai 90 persen dengan harga 18 kali nilai jual objek pajak (NJOP). “Enggak ada ganti rugi dalam Lapindo, yang ada adalah jual beli. Sindiran SBY biasa saja, normatif saja,” kata Ical, di Kompleks Gedung Parlemen, Selasa (8/4/2014). Bakal calon presiden dari Partai Golkar itu mengatakan, dalam proses jual beli, masyarakat yang terkena dampak tak akan dipersulit mendapatkan haknya. Proses dilakukan hanya dengan membawa keterangan luas tanah dan bangunan dilengkapi dengan suratnya. “Bahkan yang enggak punya surat dan hanya dengan sumpah pocong saja kami bayar,” ujarnya.

Malu-Maluin

Apa yang disampaikan berbagai politisi diatas jelas esensi dan substansi sangat memalukan atau malu-maluin, karena mungkin dalam otak mereka jika tidak berkuasa maka rasanya dunia sudah kiamat. Mereka sudah termabukan dengan keenakan jabatan politik, kemudahan protokoler kenegaraan sehingga pada akhirnya tidak lagi dapat menjaga akal sehatnya. Mungkin mereka tidak pernah membaca atau tidak memahami bahwa tingkah polah mereka yang tidak terkontrol sebagai politisi telah menyebabkan maraknya kemiskinan di negeri yang sebenarnya sangat kaya ini. Akar kemiskinan itu adalah ketergantungan pada tiga hal yaitu ketergantungan pada sedekah, politik dan rentenir (Friederich Wilhelm Raifeisen yang menjadi Walikota Flammersfeld/Westerwald Jerman pada 1848).

Bagaimanapun juga, para pemilih pemula semakin menyadari bahwa tidak ada pelajaran politik yang baik diberikan oleh parpol, caleg ataupun melalui pernyataan politisi seperti pemberitaan diatas, karena sejatinya pernyataan-pernyataan mereka bukan mencerminkan sikap politisi yang cerdas, karena mengemukakan pendapat atau pernyataannya berdasarkan kepentingan sempit, vested interest dan kekurangdewasaan berpolitik, sebab jika para politisi atau mereka yang telah diwawancarai media massa terkait Pemilu seperti pemberitaan diatas, seharusnya memberikan pernyataan yang menyejukkan sebelum, selama dan pasca Pemilu karena pernyataan dan sikap mereka tercatat dalam sejarah.

Sejatinya mereka kurang menyadari bahwa media massa sangat berpengaruh terhadap kualitas demokrasi. Media massa apabila tepat digunakan akan membantu perkembangan demokrasi bukan hanya pada tataran pembentukan ide-ide dan gagasan politik atau ideologi, melainkan juga pembentukan identitas politik. Penggunaan media tidak hanya berpengaruh linier terhadap publik, tapi juga dialektika reversal dalam membentuk identitas subyek politik.

Sekali lagi, ke depan kita sebagai pemilih pemula tidak mengharapkan adanya pernyataan-pernyataan ataupun sikap politik yang malu-maluin dari politisi manapun hanya demi untuk mendapatkan tempat duduk atau mempertahankan kekuasaan dan jabatannya. Semoga.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com