Satya Dewangga, peneliti masalah current affairs Indonesia. Tinggal di Karawang, Jawa Barat
Dalam selebaran tersebut ditulis bahwa tanggal 2 September 2016 telah berlangsung pertemuan negara-negara Pasifik di East West Center, Honolulu Hawai. Pertemuan negara-negara Melanesia, Polinesia dan Mikronesia bersatu untuk mendukung masalah West Papua hingga ke PBB, bersama-bersama-sama dengan Pacific Island Forum (PIF). Pertemuan itu sepakat membawa masalah West Papua ke Sidang Umum PBB di New York dalam bulan ini, yang rencananya akan dilaksanakan pada 15 September s.d 5 Oktober 2016, dimana kita bersama Solomon Islands dan Vanuatu yang akan memfasilitasi side event di PBB, juga untuk pertama kalinya perwakilan ULMWP yang akan yang akan berpidato di Sidang Umum PBB.
Selanjutnya, dalam selebaran tertulis bahwa Komite Nasional Papua Barat (KNPB) sebagai media nasional Bangsa Papua menyampaikan kepada seluruh rakyat Papua bahwa, anda adalah pemilik negeri ini, maka anda punya kewajiban memberikan dukungan doa kepada saudara-saudara kita di negara-negara Pasifik yang sedang memperjuangkan agar masalah kita dibicarakan dalam Sidang Umum PBB di New York. Oleh karena itu, KNPB berencana akan menggelar unjuk rasa pada 19 September 2016 mendatang di Kantor DPRD setempat.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi NGO Kepulauan Pasifik (PIANGO), Emele Duituturaga mengatakan, hasil komunike PIF-47 kali ini belum mencerminkan desakan masyarakat sipil, khususnya terhadap hak penentuan nasib sendiri West Papua. Tampak jelas bahwa geopolitik bermain dalam isu ini.
Pihakya menduga para pemimpin kami tidak cukup berani dan tegas di hadapan negara-negara tetangga besar seperti Australia dan Selandia Baru. Pihaknya juga menyesalkan desakan masyarakat sipil, agar PIF medorong isu penentuan nasib sendiri West Papua ke PBB, belum tercermin dalam hasil Komunike PIF-47. Namun demikian, isu pelanggaran HAM Papua, yang tidak bisa digeser dari agenda PIF, adalah capaian penting.
“Kami tahu beberapa negara anggota PIF bahkan berharap isu West Papua dihapuskan sama sekali dari agenda PIF, padahal hasil komunike tersebut adalah pertarungan politik dan pengaruh. Hasil komunike terkait isu West Papua di dalam poin 18 menyatakan, bahwa para pemimpin mengakui sensitivitas politik isu West Papua (Papua) dan bersepakat isu dugaan pelanggaran HAM di West Papua (Papua) harus tetap ada dalam agenda. Para pemimpin juga bersepakat pentingnya sebuah dialog terbuka dan konstruktif dengan Indonesia terkait masalah itu,” ujarnya.
Menurut Duituturaga, kedepan akan bekerja secara individual dengan negeri-negeri tersebut agar PBB mengintervensi isu pelanggaran HAM West Papua, sekaligus mendorong agenda penentuan nasib sendiri West Papua ke Majelis Umum PBB, Dewan HAM PBB, serta Sekretaris Jenderal PBB.
Selain itu, Perdana Menteri Samoa yang merupakan Ketua PIF selanjutnya, sudah menunjukkan sinyal bahwa pihaknya akan menggelar pertemuan 16 anggota CSO dengan keseluruhan pimpinan PIF pada pertemuan PIF tahun depan di Samoa.
Tidak akan Dibahas
Pertemuan PIF ke 47 di Negara Federasi Mikronesia (FSM) yang berakhir 11 September 2016 telah diklaim oleh kelompok pergerakan Papua merdeka bahwa isu pelanggaran HAM Papua tetap menjadi agenda dan perhatian para pemimpin negeri Pasifik, walaupun klaim mereka jelas merupakan hoax dan lelucon politik semata.
Setidaknya ada beberapa alasan antara lain sebenarnya di internal kelompok pendukung separatis Papua mengakui beratnya pertarungan pengaruh di PIF terkait isu politik West Papua, karena adanya hubungan ekonomi politik negara-negara besar seperti Australia dan Selandia Baru dengan Indonesia. Jelas, Australia dan Selandia Baru tidak berani melakukan blunder politik mendukung Papua merdeka, karena perekonomian mereka akan “lesu darah” kalau Indonesia merespons sikap mereka misalnya dengan menutup Selat Lombok.
Menurut rumors yang berkembang, ada dua level perjuangan yang akan terus akan dilakukan kelompok separatis Papua untuk memperluas dukungan terhadap hak penentuan nasib sendiri West Papua hingga ke PBB yaitu dukungan gerakan sosial dan politik di Pasifik, dan dukungan pemerintah negara-negara yang bersimpati dengan mereka, walaupun kelompok separatis Papua sangat mengharapkan dukungan gerakan sosial dan politik, yang dinilai mereka sebagai penentu.
Propaganda Separatis Berkedok Civil Society
Jika kita cermati, segelintir orang ini mengorganisir diri melalui sejumlah komite aksi yang bergerak melalui jalur diplomasi politik, baik dalam negeri maupun internasional. Mereka diikat dengan tujuan yang sama yakni menggalang dukungan untuk memisahkan diri dari NKRI dengan segala macam upaya, baik yang moderat melalui referendum dan diplomasi politik, maupun garis keras dengan gerakan separatis bersenjata. Kelompok yang bergerak dalam negeri mendomplengi isu-isu demokrasi, kebebasan, dan Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka secara intensif melakukan aksi-aksi ekstra parlementer dengan menggelar rally, unjuk rasa, forum diskusi, seminar, advokasi, propaganda dan membentuk opini untuk mendiskreditkan pemerintah dan menggalang dukungan referendum yang muaranya pemisahan diri dari Indonesia.
Propaganda dan pemutarbalikan fakta menjadi strategi untuk mendiskreditkan pemerintah. Isu pelanggaran HAM, represi atas kebebasan berserikat dan politik, stigma pemerintah Indonesia sebagai penjajah kolonial, dan integrasi Papua sebagai wilayah sah dan berdaulat NKRI merupakan bentuk aneksasi, ditebarkan untuk meraih simpati dalam negeri maupun komunitas internasional. Kelompok ini mencitrakan diri seolah civil society yang berjuang untuk kemanusiaan dan HAM, padahal di balik itu tak lebih adalah para aktivis yang menyebarluaskan kebencian terhadap NKRI dan baik langsung maupun tidak langsung dapat dikategorisasikan sebagai bentuk dukungan upaya subversif dan separatisme.
Sepak terjang kelompok seperti PRD, KNPB, ULMWP dan organ simpatisannya tentu saja harus diwaspadai sebagai bentuk ancaman terhadap kepentingan nasional Indonesia untuk menjaga kedaulatan dan eksistensi pembangunan Papua. Kelompok ini tidak lebih dari kelompok elitis yang tidak memiliki basis massa yang jelas, ahistoris terhadap persoalan Papua dan tidak memahami aspirasi masyarakat Papua secara luas. Bahkan, sangat terbuka kemungkinan bahwa kelompok ini bekerja untuk kepentingan asing dengan mengeksploitasi isu-isu Papua untuk menutupi kepentingan tersembunyi atau hidden agenda menguasai sumber daya strategis di Papua.