Baharudin Pitajali, Pegiat sosial Sulawesi Utara
Nasionalisme yang katanya menjadi pemersatu dan mampu membangkitkan semangat dan kecintaan akan sebuah negara-bangsa hingga perlawanan atas dasar senasib sepenanggungan, kata yang seolah bagaikan mantera sakti dan memiliki daya mistik. Kata Nasionalisme acap kali disebutkan dalam diksi-diksi dan narasi sejarah baik tutur maupun tulis yang terkadang bermakna ganda. Muncul pertama kali di bangsa ini ternyata berasal dari usulan yang berjudul “Utang Budi” yang ditulis oleh seorang mantan pejabat peraperadilan yang juga menjadi anggota Parlemen Belanda yang bernama C.Th. Van Deventer pada tahun 1899. Pada prinsipnya “Utang Budi” sebenarnya politik balas budi kolonial Bel
Dengan usulan tersebutlah pada tahun 1901 ratu Wilhelminah dalam pidatonya menjelaskan bahwa akan terjadi zaman baru atau penanda pergeseran politik kolonial atas negara jajahan Hindia Belanda yang lazim disebut Politik etis atau politik balas budi. di mana kesempatan inipun digunakan para priyayi dan anak pribumi memperoleh pendidikan moderen ala barat, Pendidikan dalam konteks ini tidak semata mencerdaskan namun ada karena kebutuhan tenaga birokrasi kolonial. Akibat lebih jauh kondisi demikian adalah terjadinya penataan kelas sosial baru dalam strukutr sosial masyarakat Hindia Belanda (khususnya jawa) dulunya golongan sosial hanya terbagi dua kaum priyayi dan rakyat jelata. kini kehadiran kelompok profesional baru yaitu para birokrat hasil dari pendidikan moderen ala barat mampu merekonstruksi kembali sistem sosial yang kemudian hari bergeser.
Dampak lain dari politik etis (Edukasi) adalah mendorong satu pemahaman baru atas Nasionalisme atau bisa dikatakan awal Nasionalisme diperkenalkan dan didengunggkan hingga berdampak pada perubahan sosial-politik negara jajahan termasuk munculnya organisasi-organisasi akibat logis dari terbangunnya relasi pergaulan, pengetahuan, dan bahkan pendidikan moderen ala barat yang diperkenalkan dalam politik etis (Edukasi). Munculnya organisasi seperti Budi Oetomo yang didirikan oleh Dr. Sutomo dan para Mahasiswa STOVIA pada tanggal 20 mei 1908, sebagai titik awal pergerakan Nasional dan bebearapa organisasi pergerakan kepemudaan lainnya muncul hingga momentum penting Sumpah Pemudah pada 28 Oktober 1928, Akibat lain dan logis dari pembentukan Nasionalisme ini adalah munculnya perlawanan atas imperialisme kolonialieme hingga momentum penting yang tidak mungkin terlupakan kemerdekan 17 agustus 1945 di proklamirkan. sebagai bagian rangkayan peristiwa dalam pembentukan semangat Nasionalisme yang di ramuh dari hasil pendidikan modern dan wacana barat.
Melihat fakta ini sesungguhnya Nasionalisme kita sebagai sebuah negara-bangsa adalah Nasonalisme yang sebenarnya bisa kita tafsirkan sebagai Nasionalisme semu, atau Nasionalisme yang tidak dibangun dari bawah dari akar sosio-cultural negara-bangsa. sehingga Nasionalisme kita menjadi habitus atau laku dalam struktur pengetahuan dan mental yang terbangun dari hasil pembacaan yang kritis atas realitas sebagai sebuah negara-bangsa. Nasionalisme Indonesia tidak pernah utuh dibangun tidak riil dan hanya berisi mimpi. Memang pembentukan Nasionalisme Indonesia ini sesunguhnya berbeda dengan Eropa misalnya mengutip penjelasan Emanuel Subangun, “Nasionalisme Eropa dibangun dan berangkat dari individualisme yang lahir pada abad ke-16, sebelumnya pada abad ke-15 ditemukan mesin cetak yang kemudian diikuti oleh revolusi Kristen yang dipelopori oleh Martin Luther pada akhir abad ke-16. dari sinilah lahir benih pertama dari modernisme bahwa segala sesuatu bisa diterima kalau jelas dan rasional”.
Dari individualismelah Nasionalisme Eropa dibangun dan menemukan ruang ekspresi yang luas, Individu yang kemudian akhirnya brontak dan melawan gereja, Negara, dan bahkan lainya. Proses revolusi individu sebagai peletak dasar Nasionalisme Eropa dibangun. Sementara Indonesia Nasionalisme terbangun selain Politik Etis (Edukasi) yang telah diuraikan di atas, Nasionalisme dibangun lebih karena provokasi Ernest Renan dalam sebuah tulisannya yang berjudul What is a Nation? Melihat Nasionalisme semu yang melekat pada individu seperti ini rasanya apa yang dilakukan oleh Yuzril Ihza Mahendra pengacara terkenal pakar hukum tatanegara dan disanjung banyak orang namun membela proses Hukum dan menangani persoalan hukum penangkapan ikan secara ilegal atau Illegal Unreported and Unregulated (IUU) fishing yang dilakukan oleh kapal Thailend yang dimuat di salah satu media sindonews.com Jakarta (11/2/2016). Ini akan menjadi ukuran yang pas atas Nasionalisme semua yang dibangun hari ini Nasonalisme yang ternyata menjadi absurd dan hanya bersifat simbolik.
Bahwa kasus seperti ini banyak terjadi di Indonesia ada lagi yang bisa kita jadikan contoh kekaburan Nasionalisme anak bangsa lainnya, pembelaan yang berlebihan kelompok atau individu atas praktek maskapai pertambangan PT. Freeport Macmoran Papua yang menguras habis kekayaan SDA di bawah ke negara-negara Core. yang ramai di bicarakan dan di kondisikan oleh media beberapa bulan lalu, yang akhirnya menyeret nama seprti mantan ketua DPR RI Setya Novanto, hingga para broker seperti Mohamamd Riza Chalid, dan nama lain seperti Maroef Sjamsoeddin sebagai peresiden direktur Freeport Indonesia, atau Sudirman Said Menteri ESDM. Orang akhirnya lupa bahwa kita sebagai sebuh negara-bangsa sedang dijebak dan masuk perangkap sekenerio internasional, Dalam perspektif teori sisitem dunia Indonesia adalah negara yang dikategorikan sebagai Periphery atau negara pinggiran yang berfungsi sebagai penyuplai Raw matriial untuk kebutuhan negara Core dan kita tetap berada di bawah hegemoni mereka.
Atau sebuah projek ambisius reklamasi pantai yang dibangun di teluk Jakarta dan pembuatan 17 pulau baru dengan nilai projek yang sanggat fantastis 500 T, projek ini didorong oleh nafsu serakah dan hasrat bisnis para taipan dan oligarki bisnisnya kelompok ini juga berfungsi sebagau buffer zone atau zona penyangga atas kepentingan negara core dengan Periphery. Para oligarki bisnis ini akan tetap mengambil bagian dalam strutur politik dan ekomini kita, kini membenarkan apa yang dilakukan dan bahkan di bela mati-matian oleh kelompok dan orang-orang yang katanya waras. Padahal membunuh nurani dan menghilangkan akal sehatnya sendiri. ini menjelaskan bahwa apaun peristiwa itu terlepas dari polimik yang ada ramai diperdebatkan dan membuat gaduh, kita sebagai negara-bangsa secara struktur pengetahuan dan mental masih tetap Inlander dan berwatak marsose mengabdi pada kapitalis, cukong, dan para taipan. Tak tanggung-tanggung kelompok yang mengclamim diri mereka sebagai intelektualpun bangga melacurkan dirinya demi uang dan hasrat kuasa inilah pisiko-historis yang tidak hilang sampai hari ini.
Melihat penjelasan di atas semestinya kita kembali agak kebelakang melihat munculnya kelompok brown skin white heart yaitu orang-orang pribumi dan di lsekolahkan di barat, kulitnya tetap saja hitam tapi roh dan jiwanya sudah seperti orang barat, kelompok seperti ini tidak memahami dengan baik apa sesunguhnya masalah pokok bangsanya sendiri dan tidak mengerti pula apa yang terjadi di barat. Kelompok ini selalu berjalan tanpa visi idiologis dan sandaran historis hingga selalu terjebak dalam sekenario Internasional, kelompok ini tidak mengabdikan dirinya untuk kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.
Penting rasanya kita ajukan sebuah pertanyaan apakah Nasionalisme yang diilustrasikan Bennedict Anderson, dalam Imagined Communities, menyebutkan bahwa nation (bangsa) adalah suatu komunitas politik yang terbatas dan berdaulat yang dibayangkan. Komunitas ini dikatakan sebagai imagined communities sebab tidak mungkin seluruh warga dalam suatu komunitas dapat saling mengenal, saling berbicara, dan saling mendengar. Akan tetapi, mereka memiliki bayangan yang sama tentang komunitas mereka. Suatu bangsa dapat terbentuk, jika sejumlah warga dalam suatu komunitas mau menetapkan diri sebagai suatu bangsa yang mereka bayangkan. Mungkin ini menjadi pertanyaan serius dan refleksi kita bersama..(**)